Alfie yang sedari tadi memandang mereka berdua, tiba-tiba ikut bicara. “Tapi Kakek benar… Ibu Bella kan baik. Dia enggak pernah marah-marah. Ibu Bella selalu ada waktu untuk aku. Enggak kayak Mommy Jannah…”
Bella tersentak. “Alfie, jangan bicara begitu—”
“Tapi itu benar, Ibu Bella! Mommy itu selalu sakit. Kalau enggak tidur, ya minum obat terus. Aku enggak pernah bisa main lama sama dia. Kalau aku minta ditemenin, dia bilang capek. Kalau aku sakit, yang jagain aku Ibu Bella, bukan dia.”
Ucapan polos itu membuat Bella menelan ludah. Ia tahu kata-kata anak kecil bisa menusuk lebih dalam dari pisau, apalagi jika sampai terdengar oleh telinga yang salah. Namun kakek Robert justru mengangguk pelan, matanya menatap Bella penuh arti.
"Ibu Bella bahkan menyelamatkan nyawa Alfie, bukan?"
“Alfie benar,” kata kakek itu mantap. “Kamu sudah membuktikan dirimu lebih dari sekadar pengasuh.
Kata-kata itu membuat Naila menutup mata sejenak. Ia tahu, sejak awal, Deon bukan pria yang mudah dihadapi. Namun ia juga tahu, ada kebenaran dalam ucapan Afgan. Jannah terlalu rapuh untuk terus berada di bawah tekanan seperti ini. Wanita itu akan dipaksa sehingga meninggal lebih cepat daripada perkiraan dunia medis.Naila membuka mata, menatap Afgan kembali. “Baiklah. Tapi kita harus hati-hati. Sangat hati-hati.”Sekilas, senyum tipis muncul di bibir Afgan, meski sorot matanya masih penuh kekhawatiran. “Terima kasih, Naila. Kita akan mulai rencananya segera. Aku mendapatkan high-five?"Afgan menaikkan sebelah tangannya dan Naila menyambut dengan senyum kecut, menempelkan telapak tangannya ke tangan Afgan tanda perjanjian kerjasama telah disepakati bersama.Tidak ada yang menyadari bahwa ponsel yang dipegang Dokter Amalia tetap menyala. Merekam dengan detaik setiap detik. Semua isi pembicaraan walau sebagian mungkin hilang karena k
Di luar, langkah Deon bergema di lorong sempit rumah singgah. Nafas Jannah semakin tak beraturan, bukan hanya karena digendong begitu saja, tapi juga karena rasa sakit yang datang dari perut dan punggungnya.“Deon… ini membuatku nyeri… turunkan aku,” desisnya, namun Deon tak menjawab.Dia membuka pintu depan rumah dengan kaki, keluar menuju mobil yang diparkir di halaman.Dengan gerakan cepat, Deon membuka pintu penumpang dan menurunkan Jannah dengan hati-hati ke kursi. Namun nada suaranya tetap keras saat berkata, “Kau pikir aku akan membiarkanmu di tempat ini? Dengan orang-orang itu? Apalagi dengan pria yang memelukmu seperti itu?” Deon menghentikan kalimatnya, giginya terkatup rapat, jelas menahan kata-kata yang lebih kasar.Jannah menghela napas panjang, mencoba meraih sabuk pengaman. “Afgan hanya membantuku karena aku kesakitan. Tidak lebih. Kau salah paham, Deon”Deon memandangnya lama, sorot
Namun Deon tak mengindahkannya. Tatapannya membara, terfokus penuh pada Afgan yang kini berhasil memukul dagunya sehingga bibirnya robek.Deon berdesis, menahan nyeri."Afgan, Deon! Berhenti!" pekik Jannah namun tidak didengar oleh kedua pria yang sudah diselimuti amarah itu."Jauhkan tanganmu dari istriku!" Suara Deon meninggi tapi penuh ancaman."Deon! Jangan kau pukuli lagi Dokter Afgan!""Kau membelanya?" geram Deon seraya menghapus tetesan darah dari bibirnya yang sobek.Jannah menatapnya dengan shock, wajahnya pucat, matanya bergetar antara marah, malu, dan… entah, ada sedikit rasa bersalah."Deon, hentikan! Dia tidak melakukan apa-apa!" seru Jannah, mencoba bangkit, namun terapis menahannya agar tidak memaksakan diri.Naila berhasil meleraikan mereka dengan berdiri di antara keduanya sebagai benteng pemisah."Kalian, diam dan tenangkan dirimu dulu!"Afgan menarik napas panjang, mencoba
Afgan membawa Jannah menuju kamar. Setiap langkahnya mantap, seolah berat tubuh perempuan itu bukanlah beban. Jannah berusaha memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap mata pria itu terlalu lama, juga tidak berani menatap Naila maupun Dokter Amalia. Namun, ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri mulai tak beraturan.Sesampainya di kamar, Afgan menurunkan Jannah perlahan di tepi ranjang, memastikan punggungnya bersandar nyaman. "Duduklah yang tenang," ucapnya, suaranya kembali tenang dan profesional, meski tadi ada nada berbeda saat di ruang tamu."Silakan dimulai, Dokter," perintah Afgan kepada Dokter Amalia.Dokter Amalia mengangguk kecil lalu duduk di tepi ranjang, membuka ranselnya dan mengeluarkan beberapa peralatan terapi sederhana, bola pijat, matras kecil, dan beberapa botol minyak herbal."Kita akan mulai dari terapi pernapasan dan peregangan ringan. Tujuannya untuk mengurangi ketegangan otot yang berhubungan dengan kondisi fibromyalgiamu," jel
Afgan menggeleng lalu melepaskan tangan Deon yang masih mencengkram kerah kemejanya tadi."Lagipula... Kalau pun aku tahu, itu bukan hakku untuk memberitahu. Kalau dia ingin kamu tahu, dia sendiri yang akan menghubungimu. Kalian sudah selesai, paham?!”Afgan berbalik dan melangkah pergi usai mengatakan yang dia rasa perlu didengar Deon.Deon menatapnya tajam punggung Afgan, lalu berbalik dan berjalan pergi. Tangannya meremas ponsel di saku. Ia mencoba menelepon Jannah, tapi hanya nada sambung tanpa jawaban. Pesan yang ia kirim pun hanya centang satu.Di parkiran, ia berdiri di samping mobil, menatap terik matahari yang menyilaukan matanya. Suara Alfie yang tertawa bersama Bella di restoran tadi berputar di kepalanya. Disusul suara kakeknya yang memerintah. Dan kini… Jannah hilang dari genggamannya. Perutnya kosong dan rasa haus mulai mengerogoti kesadarannya."Jannah, kau ke mana lagi?" gumamnya dengan kesadaran yang mulai terganggu ak
Apakah dia akan menganggap dirinya terjebak? Bella ingin mendapatkan hati pria itu sebelum benar-benar menikah. Dia tidak ingin menikah dengan pria yang dipaksa untuk memenuhi perintah sang kakek karena dia tahu, Deon bukan tipe pria yang bisa dikendalikan begitu saja.“Begini saja, Kek…” Bella menarik napas, memberi jawaban yang terdengar ambigu. “Kita lihat saja nanti… ya, Kek? Semua butuh waktu.”"Aku, lebih memilih mendapatkan perasaan sesungguhnya dari Deon dulu, sebelum kita benar-benar melanjutkannya ke jenjang pernikahan."Kakek Robert mengangguk puas, lalu tertawa kecil, seolah jawaban samar itu sudah cukup menjadi tanda persetujuan."Cinta? Bagus. Kakek setuju, buat dia jatuh cinta kepadamu terlebih dahulu, jadi kamu bisa dengan mudah mengendalikan semuanya!"Makanan tiba di atas meja mereka dan mereka segera melahapnya.Tatapannya sesekali melirik ke arah pintu yang tadi dibanting Deon saat pe