LOGINDi jam istirahat, meja kerja Ellena berubah jadi ruang kecil yang lebih personal. Gadis itu membuka kotak bekal sederhana yang dibawanya dari rumah sakit.
Meski hidup Ellena susah, dia masih bersyukur dianugerahi tetangga kontrakan yang begitu baik. Bu Tari dengan senang hati menjaga nenek Ellena kalau gadis itu sibuk, lalu di awal pagi tadi, Bu Tari menyiapkan bekal untuk Ellena.Makanan yang saat ini Ellena suap pelan-pelan secara bergantian. Ada beberapa potong sosis berlapis saus kecokelatan tersusun sejajar di atas alas daun selada hijau segar, telur dadar gulung berisi daun bawang dipotong tebal dan kepalan nasi putih kecil-kecil dibentuk bulat.Di sekeliling Ellena sunyi, hanya dengung halus gedung pencakar langit dan cahaya siang yang jatuh miring dari jendela besar. Rekan-rekan kerja yang satu ruangan dengannya tidak di meja mereka. Laura si sekretaris pertama sedang makan bersama analis senior dan manajer bagian keuangan, sedangkan Vino asistenEllena berdiri di depan mesin minuman built-in dalam pantry. Gadis itu menuang bubuk cokelat ke dalam cangkir porselen putih. Air panas mengalir perlahan, uap tipis naik bersama aroma manis yang memenangkan. Tangan Ellena mengaduk pelan dengan sendok kecil yang beradu halus dengan dinding cangkir. Saat dia hendak menambahkan marshmallow kecil, telinganya menangkap sebuah langkah sepatu yang mendekat. Ternyata Vino, asisten pribadi Reon. Lelaki itu berhenti di ambang pantry. Seperti biasa penampilannya rapi dengan jas biru yang terpasang sempurna di tubuh tegaknya. "Kak Ellena," kata Vino dengan suara rendah, "saya mau menyampaikan pesan pak bos soal Graciella." Dia meraih cangkir porselen putih. Ellena menoleh, lalu mengangguk. "Iya, Vino, tadi malam Pak Reon juga sampaikan ke saya." Tangannya tetap memegang cangkir yang hangatnya merambat ke telapak tangan. "Pak bos akan mengatakan pada Nona Graciella kalau pak bos putus dengan Kak Ellena mulai minggu depan, alasannya k
Terlihat tiga wanita mendekat dengan langkah tenang, gaun mereka berkilau lembut di bawah cahaya ruangan. Salah satu bernama Indry segera menyahut. "Gracy, dia siapa?""Ouhhh," Graciella menoleh tipis sambil menjaga senyum manisnya, "teman baru aku, namanya Ellena.""Nama yang cantik, perkenalkan aku Indryana, putri bungsu keluarga Manantara, panggil Indry aja," ucap Indry mengulurkan tangan. "Saya Ellena, senang berkenalan dengan Anda, Nona Indry," timpal Ellena sambil menerima ukuran tangan itu dengan lembut. "Gak perlu terlalu kaku, Ellena, teman Gracy juga teman kami juga," ujar Indry, tersenyum. Dua perempuan lainnya bernama Kesya dan Liora memperkenalkan diri juga sambil menyebut latar belakang keluarga mereka. Liora kemudian memiringkan kepala, senyumnya tipis dengan penuh rasa ingin tahu. "Aah, aku ingat sekarang, kamu perempuan yang Reon cium di gala yang diadakan papa Graciella, kan?"Tangan Graciella terangkat merangkul Ellena lembut. "Ellena ini memang tunangannya Reo
Setelah mengabari Reon kalau Graciella mengajaknya bertemu, Ellena langsung menerima telepon dari bosnya itu. "Kamu sudah paham pola pendekatan Graciella, jadi saya serahkan urusan malam ini sepenuhnya ke kamu, Elle," ujar Reon di seberang sana. Suaranya sedikit tersengal-sengal, tapi tetap penuh tekanan dan dominasi. "Baik, Pak Reon, saya mengerti," sahut Ellena dengan nada sopan. "Kamu sekarang di mana?" tanya Reon. Ellena memandangi pantulan dirinya di cermin dengan bingkai retak dalam kamar. "Di kontrakan saya, Pak." "Oke, orang saya akan antar jemput kamu." "Umm… gak perlu, Pak." "Itu bukan permintaan, Elle, tapi perintah." "B-baik, Pak." Telepon itu ditutup sepihak oleh Reon. Ellena menurunkan ponsel dari telinganya. Dia lalu menatap layar. Sedikit lama. Nama kontak lama Reon masih belum diubah. Masih Reonnya Elle. Ellena dilema. Haruskah dia mengganti nama kontak Reon? Meski dia yang mencampakkan Reon enam tahun lalu, bukan berarti Ellena tidak mencintai lel
"Kamu keluar sekarang, saya sudah suruh Laura cari kamu," ujar Reon datar. "Baik, Pak." Ellena mengerti maksud Reon. Gadis itu harus keluar dari suite CEO sebelum Laura kembali. Begitu tiba di mejanya, Ellena langsung duduk, kemudian meraih lip balm dalam tasnya. Dengan gerakan singkat, dia memoles bibirnya agar kembali berkilau. Dia tidak boleh sampai ketahuan oleh Laura. Ellena mengatur napas dan punggungnya ditegakkan. Jemari lentik gadis itu menari di atas keyboard, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. Dia kembali tenggelam dalam rutinitasnya. Tak lama, ketukan heels mendekat cepat. Siapa lagi kalau bukan Laura. Perempuan itu berhenti di samping meja Ellena dengan tatapan yang terlalu teliti untuk sekadar menyapa. "Ellena?" sahut Laura. Ellena mendongak sedikit. "Kak Laura belum pulang, yah.""Belum, memangnya kenapa?" Laura melipat tangan di perut. Tatapannya terlihat menilai, memindai Ellena atas bawah. "Gak apa-apa, Kak," jawab Ellena pelan. "Kamu dari ma
Tubuh Ellena seakan tak berdaya lagi, kedua tangannya menumpu lemas di bahu lebar Reon. Jemari lelaki itu semakin cepat menggosok di inti tubuh Ellena. Reon juga sangat bersemangat karena desahan Ellena yang membuat api nafsunya membara. Tidak cuma memainkan jari di milik Ellena, bibir Reon juga mengerjai bibir, leher dan payudara gadis itu secara bergantian. "Mhmm… Elle…""Sebut nama aku lagi, sayang," kata Reon di sela gerakan tertahannya. "Engh… Reon…" wajah Ellena memerah. Tubuhnya berguncang-guncang karena tekanan yang diberikan Reon di inti tubuhnya.Jauh di lantai lobi, Laura berbalik arah setelah menjauh dari kafe lounge, perempuan berambut gelombang itu berjalan kembali menuju lift. "Astaga, tablet aku ketinggalan lagi," gerutunya kesal, senada dengan ketukan heelsnya yang keras. Begitu tiba di ruangannya yang ada di salah satu lantai teratas, Laura bergegas meraih tabletnya. Tapi, langkah Laura terhenti ketika manik mata perempuan itu tertuju pada meja Ellena. PC sekre
Satu per satu bulir-bulir kancing Ellena terlepas. Tidak butuh waktu lama, tangan Reon menyingkap blus gadis itu. Sambil terus menautkan bibir, Reon memijat salah satu aset kembar yang masih dilapisi kain penyangga lembut. Sementara itu, Ellena mengalungkan lengan di tengkuk bosnya, jemarinya sesekali meremas rambut Reon. "Emmphh…" "Mmhmm…" Pagutan mereka mengalir penuh gairah dan semakin dalam. Reon mengisap bibir Ellena kuat hingga menyerap segala rona merahnya. Ellena pun sama, lumatannya yang rakus membuat bibir mereka sama-sama bengkak. Suara AC mulai melebur karena kecupan dan desahan mereka yang mendominasi udara di sekitar mereka. "Cpp… mmhmm… Elle…" Satu tangan Reon menahan pinggang Ellena sambil mengelusnya pelan, Ellena menggeliat tipis karena sentuhan itu. Sejenak Ellena dan Reon memisahkan tautan bibir, berjarak sejengkal dan dahi mereka bersentuhan. Mata sayu keduanya bertemu dengan napas hangat yang bercampur terputus-putus. Reon bisa menyaksikan wajah Ell







