Jon mencari petunjuk untuk mengetahui dimana Amanda saat ini. Dia berjalan di sekitar sepeda yang di temukannya. Tapi Jon melihat beberapa orang yang dikenalnya berkeliaran mencari keberadaannya disana.
Jon bersembunyi sebelum mereka mengetahui kalau Jon ada didesa itu. "Aku harus sembunyi. Aku tidak bisa tertangkap oleh mereka, aku harus mencari Amanda lebih dulu." Jon menyelinap melarikan diri ke arah berlawanan. Dia mencari petunjuk dimulai dari rumah Amanda. Jon tahu kalau desa itu sangat kecil sehingga akan mudah menemukan dimana rumah Amanda. "Nyonya, maaf boleh aku bertanya?" "Iya." "Apakah Nyonya tahu di mana rumah Amanda?" "Amanda? Amanda yang mana?" Jon kebingungan karena dia tidak tahu nama panjang Amanda. "Dia berusia sekitar 22 atau 23 tahun, rambutnya panjang warna coklat terus dia putih. Oh satu lagi, dia hanya punya seorang Ayah." "Oh Amanda itu. Rumahnya ada didepan sana. Nanti kamu lurus saja hingga pertigaan jalan lalu belok kanan. Rumahnya sebelah kanan warna putih." "Baik Nyonya, terima kasih." Jon segera berjalan menuju rumah Amanda untuk mencari tahu apakah Amanda ada dirumah atau menemukan petunjuk lainnya. Dengan berjalan menunduk, Jon terus melirik ke kiri dan kekanan memastikan kalau tidak ada yang memperhatikannya. Jon sampai di rumah yang dikatakan Nyonya tadi. Saat Jon tiba, dia melihat Ayah Amanda sedang bicara dengan seseorang. "Apa ini?" "Ambillah. Tuan Pedro mengirimnya untuk mempercepat pernikahan putrimu dengan Tuan. Besok siang pernikahan antara putrimu dan Tuan Pedro segera dilakukan." "Besok?" Ayah Amanda tercengang karena begitu cepat pernikahannya. "Tapi aku belum bertemu dengan putriku untuk mengatakannya. Tapi tenang saja, aku akan mencarinya dan mengurungnya agar tidak kabur lagi." Ayah Amanda langsung mengambil tas berisikan uang untuk menyiapkan pernikahan putrinya dengan Pedro. "Tidak perlu mencarinya. Putrimu sudah aman dan dia besok tidak akan kabur lagi." "Aman?" Ayah Amanda menatap ke arah anak buah Pedro. Melihat tatapan mereka, Ayah Amanda tahu jika putrinya kini bersama Pedro. "Baiklah! Aku percayakan putriku kepada Tuan Pedro. Besok pernikahannya akan segera dilakukan." Anak buah Pedro meninggalkan rumah Amanda setelah memberikan uang yang dijanjikan kepada Ayah Amanda jika pernikahan merek akan dilakukan. Mendengar jelas apa yang dikatakan oleh Ayah Amanda dan anak buah Pedro, Jon sangat yakin jika wanita itu ada bersama Pedro. Jon mengikutinya menggunakan sepeda Amanda yang dibawanya. Mengayuh sepeda dengan kencang agar tidak kehilangan jejak untuk mengikuti mobil anak buah Pedro. Jon akhirnya melihat kemana mereka berhenti, Jon menyembunyikan sepeda dan mengintip apa yang ada didalam rumah itu. "Cantik! Jangan melawan lagi, aku sudah tidak tahan ingin membuka lebar kakimu dan menjil4ti isi didalam balik celanamu itu." "Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku, tua bangka. Ingat usiamu! Kamu pantasnya menjadi Ayahku bukan suamiku." Hahahaha! "Untuk sebuah kepuasan tidak mengenal umur, cantik. Jadi pasrahkan saja tubuhmu untuk aku nikmati." Amanda terus berontak bahkan berteriak keras. Jon yang ada diluar bisa mendengar teriakan itu. "Amanda!" Kaki Jon melangkah ingin berlari ke arah Amanda tapi segera dihentikannya setelah melihat banyaknya anak buah Pedro yang berjaga. "Aku akan mencari cara lain untuk menyelamatkan Amanda." Jon mencari sisi lain rumah itu yang bisa dia masuki. Jon berjalan tanpa menyimbulkan suara untuk mencari tahu ada berapa pengawal yang menjaga rumah dimana Amanda disekap. Jon bangkan sampai membungkukkan badannya ketika seorang anak buah Pedro melihat ke arah Jon. Jon kembali berjalan hingga dia melihat seorang anak buah Pedro. Berjalan pelan dari arah belakang dan.. Krek! Jon berhasil mematahkan lehernya hingga tewas. Jon menyeretnya dan menyembunyikan tubuh pria itu agar tidak ketahuan. Jon mengambil senjata, topi bahkan mengambil ponsel milik pria itu. Jon terus melangkah ke arah belakang rumah dan melihat ada dua orang disana. Jon mencari akal untuk busa mendekati dan melukainya. Jon melihat sebuah kaleng bekas yang bisa digunakannya untuk menarik perhatian salah satu musuh yang berjaga disana. Jon melemparnya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup menarik perhatian. "Apa itu?" "Biar aku yang melihatnya. Kamu tetap disini." Salah satu anak buah Pedri berjalan ke arah bunyi tadi. Saat itu juga Jon keluar dan memukul kepala pria yang berjaga di pintu belakang rumah. Jon kembali menyeretnya tapi rekan pria itu kembali dengan cepat. "Hei!" Jon melepaskan musuh yang ingin di sembunyikannya dan berbalik arah karena sudah ketahuan. "Angkat tanganmu!" Jon mengikuti perkataan pria itu, dia mengangkat kedua tangannya sambil berbalik badan. Pria itu mendekati Jon untuk mengikatnya tapi dengan cepat Jon memutar tangan pria itu hingga terdengar suara patahan tulang. Jon langsung menutup mulut pria itu agar tidak menimbulkan suara. Jon memukul kepalanya hingga pingsan. Setelah kedua penjaga pintu itu berhasil dilumpuhkannya. Jon masuk ke dalam rumah, dia melihat Amanda yang berontak minta dilepaskan. "Lepaskan! Jangan menyentuhku!" "Pegang kedua tangan dan ke dua kakinya." perintah Pedro kepada anak buahnya. Mereka langsung menahan ke dua tangan Amanda diatas kepalanya dan membuka ke dua kaki Amanda dengan lebar sambil mengikatnya. "Lepaskan aku!" Amanda menangis dengan nasibnya yang sebentar lagi akan berubah karena Pedro mengambil paksa. Pedro yang tua bangka itu langsung melepask kemeja yang dipakainya dan mulai membuka ikat pinggang. Amanda menangis sambil menggelengkan kepalanya berharap ini tidak akan terjadi. "Tolong! Tolong aku!" Teriak Amanda yang meminta bantuan. Berharap siapapun yang mendengarnya bisa membantu Amanda. Mendengar Amanda yang sudah menangis dan pasrah dengan keadaannya, Jon sudah tidak tahan lagi. Dia mengambil sebuah kain yang ditemukan di dapur untuk menutup setengah wajahnya. Pedro membuka celana yang digunakan dan bersiap untuk menikmati tubuh Amanda yang masih per4wan. "Aku sudah tidak sabar menanti moment kenikmatan ini. Aku akan membuatmu mendes4h nikmat saat milikku masuk ke dalam milikmu." Pedro mulai menyentuh celana Amanda, Amanda berusaha untuk menggerakkan kakinya agar dapat menendang Pedro tapi tidak bisa karena diikat. Jon yang melihat air mata Amanda yang semakin deras membuatnya langsung berdiri dan menembak ke arah anak buah yang memegang kedua tangan Amanda. Dor! Dor! Keduanya tewas saat itu juga, Pedro kaget melihat seseorang tiba dari arah belakang dan menembak ke arah anak buahnya. Tangan Amanda yang terlepas langsung menarik rambut Pedro yang dekat dengannya. Pedro menaikkan kembali celana dan berteriak memanggil anak buahnya. "Pengawal!" Anak buah Pedro mulai masuk, mereka melindungi Pedro dari pria itu. suara tembakan terdengar jelas dimana Amanda masih terikat dibagian kakinya. "Sial! Siapa pria itu? Kenapa dia bisa masuk ke dalam rumahku?" Maki Pedro ketika menunduk melindungi dirinya dari tembakan Jon dan anak buahnya. Amanda berusaha membuka ikatan pada kakinya tapi tidak berhasil sama sekali. Kemampuan menembak Jon jangan diragukan lagi. Dia sangat jago dalam menembak apalagi menembak jarak jauh Dor! Jon kembali berhasil membidik ke arah anak buah Pedro. Jumlah pengawalnya yang semakin sedikit membuat Pedro ketakutan. "Cepat maju! Habisi pria itu!" Jon malah melangkah dan berguling mencari posisi menembak yang nyaman hingga satu persatu anak buah Pedro tewas. "Sial! Anak buahku kalah dengannya. Siapa pria itu?" Pedro berusaha keluar dari rumah itu dengan diam-diam, tapi Jon mendekat dan menodongkan senjatanya diatas kepala Pedro. "Mau kemana anda Tuan?" tanya Jon yang bersiap menembak kepala Pedro.Mobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc