"Mau kemana anda Tuan?" Jon siap menembak kepala Tuan Pedro yang ingin melarikan diri setelah dia menculik Amanda.
"Ampun! Ampuni aku!" "Berdirilah!" Minta Jon kepada Pedro. Pria tua itu akhirnya berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Kancing kemeja yang digunakannya sudah terlepas karena dia ingin menyentuh tubuh Amanda. "Jalan!" Dorong Jon pada bahu Pedro untuk berjalan keluar dari dalam rumah. Seluruh anak buah Pedro berhasil dibunuh Jon ketika adu tembak tadi. "Angkat tanganmu tinggi-tinggi!" Minta Jon kepada Pedro. Pedro terpaksa menurut perintah Jon karena dia tidak mau mati ditembak oleh pria yang wajahnya tidak terlihat. "Jangan tembak Tuan. Ampuni saya!" "Aku akan mengampunimu dengan saty syarat. Apa kamu mau mengikuti syarat yang aku buat?" "Apa itu Tuan?" jawab Pedro dengan gugup. "Jangan pernah memaksa menikah dengan Amanda. Batalkan pernikahan itu dan jauhi keluarganya. Jika sampai kamu masih memaksakan niatmu menikahi wanita itu aku akan melubangi kepalamu dengan senjata ini. Apa kamu paham?" Bentak Jon kepada Pedro. "Ba.. baik Tuan. Aku akan membatalkan niatku menikahinya. Aku akan menemui Ayahnya dan mengatakan kalau semuanya dibatalkan." "Sekalian lupakan hutang keluarga itu. Apa kamu bisa melupakannya?" "Hutang? Tapi jumlahnya sangat besar." Jon menarik pelatuk dan bersiap ingin menembak. "Baiklah! Aku akan melupakan semua hutangnya dan pergi menjauh dari keluarga itu. Tapi anda ada hubungan apa dengan mereka?" "Bukan urusanmu. Sekarang lepaskan semua baju dan celanamu." "Melepaskannya? Apa yang akan kamu lakukan?" "Ikuti saja perintahku dan jangan banyak tanya lagi." Pedro dengan ragu melepas semua pakaiannya, hanya menyisakan celana dalam yang besar melilit pinggangnya. Jon tersenyum sinis, menunjuk pohon besar yang berdiri kokoh di halaman rumah milik Pedro. "Berdiri di sana!" perintah Jon dengan suara keras. Pedro berjalan perlahan menuju pohon itu, berharap Jon akan mengubah pikirannya. "Tolong, Tuan... jangan lakukan ini," pinta Pedro dengan suara parau. Namun, Jon tidak peduli, malah mengejek, "Lebih baik begini daripada aku tembak kau, Pedro!" Dengan perasaan pasrah, Pedro menunggu Jon mengikat tubuhnya ke pohon hanya menggunakan celana dalamnya, tubuhnya diikat dengan tali. Mulutnya ditutup rapat-rapat dengan kaos kaki yang baru saja dilepas dari kakinya, membuatnya sulit bernapas. Setelah memastikan ikatan kuat, Jon meninggalkan Pedro yang terikat tanpa belas kasihan. Jon berjalan menjauhi pohon itu, matanya menangkap sosok Amanda yang sedang menatap mereka dari jauh. Wajahnya memerah, tidak tahan melihat adegan penghinaan yang baru saja terjadi. Kaki Amanda masih terikat kuat, Jon langsung melepaskan ikatan pada kakinya. "Siapa kamu? Kenapa kamu membantuku?" Tanya Amanda yang tidak tahu siapa pria dibalik penutup wajah itu. Jon sedikit menurunkan kain yang menutupi area hidung dan mulutnya. "Jon!" Amanda terkejut ketika dia mengetahui kalau pria yang membantunya adalah pria yang juga dia tolong. "Bagaimana kamu bisa tahu aku disini?" "Jangan banyak tanya lagi, sebaiknya kita segera pergi sebelum ada yang datang." Ikatan Amanda sudah terlepas, kini Jon menggenggam tangan Amanda untuk segera berlari. Amanda memperhatikan tangannya yang digenggam oleh Jon. Ada perasaan lain yang dirasakan oleh Amanda. John dan Amanda berlari sekuat tenaga, tangan mereka saling menggenggam erat, berusaha secepat mungkin untuk meninggalkan rumah Pedro yang penuh misteri. Mereka berharap tidak ada orang lain yang melihat keberadaan mereka di sana. Setiap langkah yang diambil Jon semakin cepat, seolah ingin menjauhkan Amanda dari bahaya yang mengancam mereka.Sesampai di tempat yang mereka anggap aman, Jon akhirnya menghentikan langkahnya. Ia melepas topi dan penutup mulut yang selama ini menutupi wajahnya, memperlihatkan wajah tampan dan berkeringat yang membuat Amanda terpesona. Amanda memandang Jon dengan tatapan takjub, lalu memukul dada John dengan lembut."Kenapa kamu bisa membantuku seperti tadi, Jon? Bagaimana kamu bisa melakukannya?" tanya Amanda, rasa penasaran dan kagum bercampur menjadi satu dalam benaknya.John tersenyum, menatap Amanda dengan penuh kelembutan. "Karena aku tak bisa membiarkan kamu dalam bahaya, Amanda. Aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu karena kamu juga pernah membantuku. Jadi saat ini kita impas, aku tidak punya hutang budi lagi kepadamu" jawabnya dengan tegas, membuat hati Amanda berdebar kencang. "Ish! Aku kira kamu tulus menyelamatkanku tapi nyatanya ada niat lain agar tidaj berhutang budi."Amanda merasa sangat beruntung dibantu oleh Jon tepat waktu sebelum kehormatannya sebagai perempuan direbut oleh Pedro yang sudah tua itu. "Terima kasih!" Ucap Amanda pelan yang membuat Jon mengerutkan keningnya. "Kamu mengatakan apa? Aku tidak mendengarnya. "Tidak ada!" Amanda meninggalkan Jon dan berjalan karena dia malu untuk mengatakan terima kasih kepada Jon. "Hei! Tunggu aku!" Jon menyusun Amanda sambil merangkulnya. "Apa yang kamu katakan? Apa kamu mengucapkan terima kasih kepadaku?" Goda Jon kepada Amanda. *** "Apa kalian belum menemukan Tuan Gabriel? Ini sudah lebih dua minggu, Tuan Gabriel hilang. Kita tidak bisa membiarkan Tuan Gabriel sendirian diluar sana. Itu sangat berbahaya, tambahkan pasukan untuk mencarinya." "Baik Tuan Nathan." Nathan tampak gelisah dan juga bingung harus mencari kemana lagi Bos sekaligus sahabatnya. Selama ditinggal oleh Gabriel dalam sebuah insiden penyerangan pada mobilnya, Gabriel jatuh ke dalam laut bersama dengan mobil yang dikendarainya. "Aku yakin kamu masih hidup Gabriel. Kami sudah menemukan siapa yang telah menusukmu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana situasimu ketika kamu terluka dan harus melarikan diri mengendarai mobil. Tapi....." Tok! Tok! "Tuan Nathan! Ada klien dari Qatar ingin bertemu dengan Tuan Gabriel." "Bukankah aku sudah mengatakan jika batalkan semua pertemuan yang ingin bertemu Tuan Gabriel." Marah Nathan kepada sekretaris Gabriel dikantor. "Maaf Tuan Nathan! Tapi dia mengatakan kalau, dia sudah membuat janji langsung dengan Tuan Gabriel sebulan yang lalu." "Shit! Apa lagi yang tidak aku ketahui Gabriel?" Nathan keluar dari ruangan Gabriel untuk mencari petunjuk soal kemungkinan Gabriel menghilang "Suruh klien itu bertemu denganku di ruang meeting." Nathan berjalan menuju ruang meeting. Selama Gabriel tidak ada, Nathanlah yang menggantikan posisinya. Nathan besar bersama Gabriel dan dia sudah seperti saudara bagi Gabriel. Tok! "Selamat siang!" "Selamat siang." Jawab Nathan dengan senyuman. "Dimana Gabriel? Aku ingin bertemu dengannya. Kami sudah sepakat akan bertemu dihari ini." "Duduklah lebih dulu Tuan. Aku akan menjelaskannya." Pengusaha dari Qatar itu langsung duduk dan menunggu penjelasan Nathan yang ada didepannya. "Jelaskan kepadaku! Kenapa bukan Gabriel yang menemuiku? Apa dia ingin mempermainkanku?" "Oh tidak! Tidak seperti itu, Tuan. Anda jangan salah sangka dengan Gabriel. Gabriel memang tidak bisa hadir karena ada sesuatu yang mendesak yang tidak bisa di tinggalkannya. Untul itu dia memintaku untuk menemuimu." "Apakah urusannya begitu penting sampai dia harus mengabaikanku? Ini tidak masuk akal. Aku jauh-jauh hari sudah membuat janji dan mencari waktu untuk datang dari Qatar hanya ingin menjalin kerja sama dengannya tapi ...." Pria itu bangun dari sofa dan berjalan meninggalkan Nathan dengan wajah kecewa. Dia menganggap perusahaan dan Gabriel sendiri tidak profesional dan membuatnya merasa kecewa. "Tuan! Tuan! Jangan salah paham. Tuan Gabriel memang dalam urusan mendesak. Aku janji akan membuatkan jadwal bertemu dengan anda setelah dia kembali." "Lupakan saja! Aku harap dia kembali dengan cepat." Nathan tidak busa menahannya lagi karena dia tidak tahu sampai kapan akan menunggu kedatangan Gabriel. Apalagi soal keberadaan Gabriel belum didapatkannya dari anak buah. "Ayolah Gabriel! Ayo kembali! Aku tidak tahu lagi harus meyakinkan rekan kerjamu. Belum lagi masalah bisnismu yang lain." Nathan sangat kesusahan untuk mengurus perusahaan sebesar itu apalagi bisnis Gabriel yang lainnya.Mobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc