Share

Samaran

"Sebentar kenapa? Ini masih belum beres!" Aku yang tengah berbenah jilbab menurun kaca mobil. 

Dia tersenyum kembali, tapi kali ini senyumnya seperti tulus. Apa dia tengah terpesona dengan aku yang pakai hijab?

"Sudah!" Aku membuka pintu dan turun. 

Ia langsung menengok dan melihat aku dari atas sampai bawah. Gamis putih tulang yang aku pakai menjuntai sampai kebawah bahkan sampai menyentuh tanah.

"Nah kan lebih cantik!" Pujinya. 

Aku hanya tersenyum. Sekarang juga ditutup, nanti dikamar pasti suruh dibuka bahkan tak boleh ada sehelai benangpun yang menghalangi. Munafik!

"Kamu harus yakin ya, aku boking kamu malam ini dan kamu harus menurut dan melayani aku sepenuh hati tanpa bosan ataupun mengeluh." Dia berceramah seolah aku akan mengecewakannya.

Aku Kiara, sudah biasa membuat laki-laki hidung belang tak berdaya. Kenapa dia masih meragukan?

"Baik, Ayuk!" Ajakku, tanganku akan melingkar di lengannya tapi seketika ia menjauh. Menghindar entah sengaja atau tidak, karena sikap dia halus dan tak mencurigakan penolakan.

"Jika didalam banyak orang, kamu merasa percaya diri atau tidak? Jika takut ada yang mengenali kamu, bolehlah pakai nibar!" Ia kembali masuk kedalam mobil dan menyerahkan cadar berwarna senada dengan gamisnya.

"Ini pakainya bagaimana?" Aku membolak balikan kain dengan tali panjang itu. Dia mengeleng dan kemudian mendekat.

Langsung memasangkan cadar itu dengan gerak cepat. Dari dalam pesantren aku melihat beberapa orang berlari.

"Ustadz, sudah tiba?" Beberapa orang yang datang langsung menunduk dan mencium tangan ustadz gadungan itu.

Dengan senyum yang tipu-tipu dia tak risih tangannya di cium sampai dibolak-balik.

"Ah! Mereka tak tahu jika orang yang dia puja tangannya penuh dosa, bahkan rela berzina dan membooking seorang pe la cur." Aku terus bermonolog dalam hati. Tersenyum mengejek padanya dibalik cadarku.

Setelah mereka menyalami ustadz gadungan itu, kini mereka menatapku aneh. Seolah mata mereka tengah menghakimi diriku ini.

"Maaf, Ustadz, dia calon istri ...?" Seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian Koko batik dan berpeci hitam menatap aku dan laki-laki itu bergantian. Dia malah tersenyum lebar.

"Woyy sini, Uhty! Ustadz Abu bawa calon istri!" Teriak laki-laki itu membuat aku kaget.

Tak lama beberapa wanita bergamis dan berkerudung lebar langsung mendekat padaku.

"Wah benar ini calon istri Ustadz Abu?" tanya wanita yang langsung meraih tanganku. Menciumi tanganku bolak balik, bahkan aku merasa risih dibuatnya. Apa mereka tak mencium tanganku yang bau gorengan? Tadi belum sempat cuci tangan.

Aku ingin sekali menarik tanganku, tentu merasa jika tak pantas diperlukan demikian. Apalagi disini aku hanya dibooking dia untuk melayani malam ini.

"Ustadz bikin kita patah hati berjamaah!" Cicit seorang wanita yang kemudian dianggukan oleh yang lain.

"Iya, Mana cantik banget lagi! Lihat itu matanya saja seindah rembulan saat bulan purnama. Kelas Ustadz Abu memang bukan kaleng-kaleng!" 

"Sudah, sudah! Biarkan ustadz dan ustadzah masuk. Acara segera di mulai!" Seorang laki-laki membubarkan kerumunan.

Apa maksud acara di mulai? Atau jangan-jangan dia mau melakukan semua itu didepan banyak orang?

Aku bergidik ngeri, membayangkan bagaimana kita berhubungan di khalayak umum. Aku berfikir jika ini pasti pesantren sesat. Seperti yang ada di TV-TV tentang mengaku agama Islam hanya untuk kedok saja, didalamnya justru melanggar semua aturan Islam dengan dalih Islam reformasi. Menentang ajaran yang sudah ada dan membuat sunah-sunah baru yang tak ada dalilnya.

Aku memang beragama Islam, walau kenyataannya cuma Islam KTP, tapi setidaknya aku tak sesat.

"Ayo masuk, Uhty!" tanganku ditarik paksa oleh para wanita tadi. Sebenarnya takut dan ingin kabur saja, tapi sepertinya tak mungkin karena semakin kedalam justru semakin banyak orang dan mereka terus saja mengalami tanganku yang berminyak dan bau gorengan.

"Uhty, kamu beruntung banget bisa jadi calon istri seorang ustadz Abu," bisik wanita bertubuh sedikit berlemak saat aku sudah duduk di lesehan yang terhidang beberapa makanan lezat.

Aku menelan saliva, perut yang baru ku isi lontong dua biji tentu langsung berontak saat melihat makanan.

Apa aku disuruh makan dulu sebelum berbagi peluh dengan ustadz gadungan?

Tunggu dulu! Aku melihat kedepan, dari dalam rumah yang memang terletak didepan pesantren, aku dapat melihat cahaya terang dari sana dan sebuah panggung.

"Apa jangan-jangan?" 

"Uhty, di mohon makan dulu sebelum tampil di atas panggung!" tawar seorang gadis. Setelah menawarkan aku, dia melihat ke arah laki-laki itu, mencuri pandang dan ... Aku melihat dia seperti sangat mengagumi Ustadz yang tadi di panggil dengan sebutan ustadz Abu.

Aku termenung, perutku keroncongan tapi bingung bagaimana mau makan? Sedangkan cadar ini menghalangi aku. Kalau dilepas, rasanya aku tak percaya diri setelah melihat banyaknya orang disini.

Dia melirikku saat tengah mengambil makanan, tak lama mendekat padaku dan memberikan piring berisi aneka makanan itu padaku.

"Makanlah! Uhty, antar dia ke tempat privasi!" Dia menyuruh gadis yang tadi mencuri pandang untuk mengantar. Tanpa penolakan dia langsung mengangguk dan mengantarkan aku kedalam ruangan kecil.

"Silahkan dinikmati, Ustadzah, saya keluar dulu!" Dia berjalan dengan dengkul dan posisi mundur. Aku hanya melihatnya dengan heran, apa ngga susah dia begitu. Padahal tinggal berdiri dan berjalan biasa saja sudah, tak perlu dibuat-buat.

Segera aku melepas cadar, memakan makanan itu dengan nikmat. Rasanya enak dan lezat, bahkan sepertinya aku baru merasakan nasi coklat dengan butiran besar yang gurih khas bumbu. Dipadu dengan ayam bakar, rendang sapi dan acar. 

'Kayanya di desa aku ngga ada beras sebesar ini. Gede-gede!" Aku mengangkat satu suap nasi itu dan memerhatikan bentuk nasinya yang tak biasa.

"Uh, Nikmat!" Aku bersendawa. Rasanya kenyang sekali. Aku sampai lupa jika malam ini masih harus melayani si abal-abal itu.

"Apa sudah selesai?" tanyanya yang masuk kedalam ruangan ku.

Aku celingukan, apa dia mau melakukan semua itu diruangan ini? Pantas tadi dia meminta pada gadis itu untuk mengantar kesini.

"Sudah, Mas. Ini malah kenyang banget. Nasinya enak, seumur-umur baru mencicipi." Aku tersenyum. Biarlah dia katakan aku ndeso, emang aku dari desa dan belum pernah memakan makanan yang demikian.

"Itu namanya nasi kebuli, Mbak." Dia menjelaskan. Aku hanya manggut-manggut.

"Apa kamu sudah siap?" tanyanya kemudian. Aku yang merasa perutnya masih begah ingin sedikit bernegosiasi.

"Sebentar ya, Mas. Ini perutku masih penuh. Takutnya kalau lagi goyang nanti malah ke kocok dan membuat dia ingin keluar kembali. Sia-sia dong tadi nasi kebul-kebul, eh apa tadi? Lupa namanya. Kasih waktu lima menitan ya. Sabar dulu, tahan hasratmu!" Aku mencoba memberi pengertian. 

Dia bukannya mengiyakan justru menepuk jidat dan menggelengkan kepala.

"Apa aku terlalu berlebihan?" 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Syamsiah
hemmm.. ceritanya bagusss thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status