"Bagaimana, Mbak?" tanyanya lagi. Pembawaannya tenang tapi matanya memang terlihat tajam, namun cukup menawan.
"I-ini bukan prank kan? Mas ngga sedang bercanda mau booking aku?" Aku seperti orang bodoh, masih saja menanyakan tentang kebenaran. Pasalnya penampilan dia benar-benar seorang layaknya ahli ibadah, bahkan jidatnya saja tercetak jelas bekas seringnya sujud. Ngapal.
Dia kembali tersenyum, aku justru makin dibuat heran. Jika pelanggan lain akan tergesa-gesa untuk main sikat, dia malah terlihat main-main. Itulah yang membuat aku yakin dia ngga serius. Dia itu sedang bikin konten atau apa? Aku celingukan takut dia memegang kamera dan aku kecolongan. Bisa berabe kalau pada tahu aku di kota jual diri.
Pasalnya teman dan tetangga aku tahunya jika di kota aku bekerja di kantor dengan gaji besar. Namun, semua tak seperti yang mereka bayangkan. Kota itu keras gais!
"Berapa yang harus aku bayar untuk booking kamu sampai malam nanti?" tanyanya jelas.
Aku berfikir sejenak, untuk menentukan harga yang pantas bagi seorang yang berdiri di depanku ini, pasti duitnya tebal dan kalau aku tarif murah rugi aku ngga bisa memanfaatkan keadaan dengan baik.
"Kira-kira sampai jam berapa? Atau mau sampai pagi?" Aku mengedipkan mataku genit.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, aku makin gemas dibuatnya. Kalau saja ini ditempat sedikit tertutup dan ngga ada sang sopir ngga mengantar laki-laki itu, sudah aku terkam dan kubuat dia melayang sebelum menentukan harga yang pantas.
"Kira-kira sampai jam dua, Mba. Nanti aku antar kamu ke sini lagi atau kalau mau langsung aku antar pulang juga boleh." Dia berkata kembali, tetap tenang, bahkan terkesan menantang.
"Apa kita akan berkencan jauh dari sini? Kamu mau bawa aku ke hotel mana?" tanyaku penasaran. Tentu takut dia bawa aku jauh-jauh ditinggal ditengah jalan tanpa diberi imbalan bisa gawat.
"Ngga jauh kok, Mbak. Cuma paling sekitar lima kilo dari sini!" Dia menjawabnya, kemudian si sopir mengintip.
"Bagaimana, Tadz?" Sopir itu sepertinya ngga sabar banget. Dia bahkan memandang aku dengan tatapan tak suka. Aku kan kesal! Lagi bernego malah.
Dia menggerakkan tangan memberi tanda agar sedikit bersabar.
"Bagaimana, Mbak? Sebutkan saja berapa?"
"Biasanya sih satu juta, Mas. Kalau mau ngasih lebih juga boleh!" Aku sengaja meninggikan harga, biasanya hanya dua ratus ribu untuk waktu dua sampai tiga jam diluar sewa kamar. Siapa tahu ini rejeki, benar dia ngasih satu juta, kan lumayan bisa bayar kontrakan lunas.
"Baiklah, Mbak. Ayuk masuk!" Dia langsung membukakan pintu. Ragu tapi sepertinya tak dapat aku menolak, karena nyatanya tak ada pelanggan lain.
Aku duduk dibelakang sopir, aku pikir dia akan duduk di sebelahku seperti pelanggan lain yang akan pemanasan sebelum bertempur.
"Butuh obat kuat atau tissu magic?" tanyaku dengan membuka tas. Dia menatapku langsung menengok kebelakang. Berbeda dengan si sopir yang tersenyum mengejek dan mengelengkan kepala.
"Tak perlu, Mbak. Aku masih kuat tanpa itu semua." Dia berkata dengan tersenyum. Aku memilih memasukan obat yang biasanya dicari pelanggan itu.
Aku hanya mengangguk dan memilih duduk dengan menumpuk kaki, memperlihatkan paha mulus yang sengaja untuk memancingnya.
"Sudah lama bekerja seperti ini, Mbak?" tanyanya kembali tapi kali ini tanpa menatapku.
"Lumayan, hampir satu tahun ini." Aku menjawab dengan cuek. Dia manggut-manggut.
"Punya suami atau single parents?" tanyanya lagi. Entah sebenarnya malas menjawab, apalagi ini menyangkut privasi, walau bukan kali ini saja pelanggan menanyakan hal demikian.
Tapi kali ini sepertinya boleh aku bercerita, bagaimana pahitnya hidupku sampai akhirnya terdampar di negeri penuh kenistaan ini.
Bukan tak ingin menjadi baik, tapi sepertinya jalan itu belum terlihat dan Allah belum tunjukan. Semoga disisa umurku Allah berikan aku kesempatan untuk bertobat. Itu doa yang kupinta setiap malam.
"Aku punya suami, tapi ... Aku kabur darinya. Entah statusku kali ini bagaimana, aku sudah tak peduli." Aku mulai bercerita.
"Kenapa? Bukankah harusnya kalau bersuami itu ada yang mencari nafkah, Kok malah kabur?" tanyanya lagi.
"Siapa yang mau punya suami yang hanya bisa menyiksa istrinya. Menjadikan istri samsak tiap hari. Hanya karena aku menjadi istrinya karena untuk menebus hutang ayahku."
"Maksudnya bagaimana? Kamu dijual ayahmu?"
Aku mengangguk lemah. Ya, begitulah keadaanku, aku dipaksa menikah dengan seorang juragan sapi hanya demi menutupi hutang ayahku yang suka berjudi, tapi sayangnya laki-laki yang menikahi aku itu bukan laki-laki penyayang. Andai dia baik, tentu aku berusaha menerima walau harus jadi istri ke tiga.
Malangnya Juragan Komar itu manusia yang kejam. Jika salah sedikit saja, cambuk sapinya melayang pada badan istri anak dan anak buahnya.
Tampangnya yang seram berkumis tebal dan bermata nyalang. Siapapun akan takut saat melihatnya. Entah kenapa istri pertama dan keduanya kuat menghadapi laki-laki bringas yang kejam walau nafsunya besar.
"Ayahku seorang penjudi, bahkan sampai sekarang pun masih. Aku begini juga demi menutupi hutang dia yang tak pernah lunas. Hanya demi ibuku, aku siap begini karena dia bagiku orang yang sangat aku cintai." Aku berkata dengan sedikit serak. Tentu jika mengigat bagaimana jalan hidupku, rasanya ingin menangis sepanjang hari.
"Pak, berhenti di toko depan ya!" Laki-laki itu memerintahkan. Ah, bahkan aku sampai lupa tanya namanya.
"Baik, Tadz." jawab sang sopir.
Dia turun saat sopir berhenti di depan toko. Toko baju yang cukup besar. Aku memilih menunggu dengan bermain ponsel. Kulihat dari kaca spion sopir itu curi pandang terhadapku, tapi tentunya aku enggan untuk meladeni, biar aku pancing kakapnya dulu, dia mah cuma kecebong saja!
Tak lama, laki-laki itu kembali masuk dengan membawa paperbag. Tak mengatakan apapun dia menyuruh sopir kembali menjalankan mobilnya.
Sepuluh menit kemudian sopir kembali menghentikan mobilnya lagi atas perintah majikannya. Aku masih melihat sekitar, belum ada tanda-tanda hotel terlihat.
"Pakailah ini! Aku dan pak sopir akan keluar dulu. Segera ya karena sebentar lagi kita sampai tujuan." Paperbag tadi ia serahkan padaku. Aku tentu bingung, sedangkan kini sepertinya sudah masuk gang desa, bukan lagi di kota. Mana ada hotel di pinggir desa begini.
Aku melihat kedepan, plang sebuah pondok pesantren terlihat jelas.
'Apa dia bawa aku ke Pesantren? Ah! Sepertinya dia sudah kurang waras! Mau nge lon te malah di pesantren.' aku bermonolog. Kubuka paperbag itu yang ternyata isinya ....
"Gamis?" Aku mengeleng kepala. "Dasar laki-laki pintar berdrama, dia menyuruh aku untuk menyamar?"
Lebih baik aku turuti saja demi satu juta didepan mata, toh dia bilang hanya sampai jam dua dan akan mengantarkan aku kembali lagi?
"Sudah belum!" Dia mengetuk pintu tanpa melihat kedalam. Aku yang masih sedikit kesusahan karena berganti baju di dalam mobil berteriak belum.
"Sepertinya dia sudah ngga sabar!" Aku terkekeh sendiri. Dasar laki-laki buaya!
"Sebentar kenapa? Ini masih belum beres!" Aku yang tengah berbenah jilbab menurun kaca mobil. Dia tersenyum kembali, tapi kali ini senyumnya seperti tulus. Apa dia tengah terpesona dengan aku yang pakai hijab?"Sudah!" Aku membuka pintu dan turun. Ia langsung menengok dan melihat aku dari atas sampai bawah. Gamis putih tulang yang aku pakai menjuntai sampai kebawah bahkan sampai menyentuh tanah."Nah kan lebih cantik!" Pujinya. Aku hanya tersenyum. Sekarang juga ditutup, nanti dikamar pasti suruh dibuka bahkan tak boleh ada sehelai benangpun yang menghalangi. Munafik!"Kamu harus yakin ya, aku boking kamu malam ini dan kamu harus menurut dan melayani aku sepenuh hati tanpa bosan ataupun mengeluh." Dia berceramah seolah aku akan mengecewakannya.Aku Kiara, sudah biasa membuat laki-laki hidung belang tak berdaya. Kenapa dia masih meragukan?"Baik, Ayuk!" Ajakku, tanganku akan melingkar di lengannya tapi seketika ia menjauh. Menghindar entah sengaja atau tidak, karena sikap dia halus
"Permisi, Ustadz! Semua telah siap dan ustadz sudah ditunggu." Dari luar terdengar suara seseorang memanggilnya."Ayo, Mbak, ikut aku!" Ajaknya. "Sebentar, Mas, aku mau benerin lipstik dulu sama bedakan, kayanya udah ilang ini kena keringat!" Aku merogoh tas yang tergeletak tak jauh dari aku duduk.Dapat kudengar dia menghela nafas berlahan. Kemudian keluar dan berbicara pada orang yang tadi mengundang, namun tak lama ia kembali."Sudah?" tanyanya lagi. "Belum, Mas, bentar ini! Masih belum selesai." Aku masih sibuk berkutat pada cermin. "Duluan saja ngga papa, nanti aku nyusul!" Aku yang gemas melihat ia tak sabar memilih jalan alternatif."Bukan aku tak mau pergi dulu, tapi disana nanti itu ramai sekali, aku ngga mungkin biarkan kamu sendiri. Mana ngga ada yang kenal lagi, bagaimana aku mencari kamu di ribuan manusia!" Cicitnya.Aku yang tengah memakai lipstik sampai mencoret kebawah karenan kaget jika katanya ada ribuan orang."Duh kan!" Aku ngedumel. Ia masih saja kelakuannya cum
Aku hampir dibuat terlena oleh suaranya. Seperti menghipnotis, adem, tenang dan juga nyaman. Bahkan yang mendengar seolah ikut larut dalam kekhusuannya.Aku tertunduk lesu, bagaimana pun aku merasa tak pantas disini, menjadi bagian dari orang-orang yang mengagungkan nama Allah, sedangkan diri ini?Ah, aku memang manusia hina, tapi bukan berarti aku tak punya do'a yang selalu aku panjatkan. Menjadi manusia lebih baik tentunya itu do'a utama tapi entah kapan itu terjadi. Jalan itu belum terlihat.Andai Ayah berhenti berjudi, bekerja layaknya suami yang tangung jawab pada istri dan anak-anaknya. Mungkin, aku lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang halal.Sayangnya, ayahku yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu, tak jua insaf. Justru makin menjadi-jadi. Ibu harus banting tulang untuk sehari-hari dan akulah yang harus memberikannya uang untuk judinya. Jika tidak begitu, uang Ibu akan diminta dan aku kasihan pada adik-adikku yang masih harus sekolah.Aku anak pertama dari tiga b
Aku memilih diam, setelah merasa malu karena minimnya ilmu. Tentu aku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan ahli agama, tentu tak tahu menahu tentang panggilan khusus itu."Duh, malunya jika nanti aku ketemu Ning Sukma lagi," aku membatin, tapi kemudian sadar kalau Ning Sukma tak mengenali wajahku. Jadi buat apa aku malu?Aku memilih diam, bermain ponsel adalah jalan ninjaku agar tak terasa boring. "Mbak mau turun dimana?" tanyanya membuyarkan konsentrasiku."Ditempat tadi juga ngga papa, Mas Abu gosok!" ujarku."Ini ngga ke hotel dulu, Tadz. Mubasir loh udah di booking ngga dipakai. Aku juga mau," celoteh si supir."Hust, ngga boleh, Pak! Aku tak akan mengizinkan itu. Kalau bisa do'akan dia agar segera berhenti dari pekerjaannya. Mencari pekerjaan yang lebih halal." Kali ini Abu gosok menimpali.Aku cuek dan pura-pura tak mendengar. Takut lama-lama dia malah tauziah, kan males jadinya."Mbak, kapan mau taubat dan berhenti menjadi Kupu-Kupu malam?" tanyanya kemudian padaku.
Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit."Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta."Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah
Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosaku! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.Aku membuka mata, merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku memeganginya dan mendapati sudah diperban.Kutatap sekeliling dan baju yang aku gunakan. Aku sudah berada di rumah sakit."Dok, dia sudah sadar!" Seorang suster berkata pada laki-laki yang berjas putih dengan stetoskop di lehernya."Sudah sadar, Mbak? Apa yang anda rasakan?" Dia mulai menempelkan stetoskop pada dada bagian atas ku."Ini sakit banget, Dok." Aku menjawab dengan jujur."Iya, Mbak. Itu luka cukup lebar, bahkan sampai sepuluh jahitan. Apa pusing atau mual?" tanya dokter lagi."Sedikit, Dok.""Ya sudah, kita lihat perkembangannya lagi. Istirahat ya!" Setelah dokter selesai memeriksa, ia pun keluar. Tak lama muncul seorang gadis masuk."Mbak sudah sadar? Siapa yang bisa saya hubungi, Mbak. Takutnya keluarga khawatir." gadis itu terlihat panik. Aku menyempitkan mata."Ngga papa, Dek. Aku sendiri
"Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati
"Apa aku terlalu percaya diri? Atau kamu yang terlalu serius menanggapi sampai expresinya begitu!" Kelakarku. Melihat dia yang kaget seperti itu membuat aku kasihan padanya.Lagian jika aku yang dinikahi dia, bagaimana dia akan menyembunyikan wajahnya. Dia itu ustadz terkenal, masa nikah sama pe la cur seperti aku.Walau aku tahu, Allah maha pemurah, tapi jelas aku dan dia tetaplah berbeda. Dia rajin ibadah dan berpendidikan tentu akan mencari yang sepadan. Mana mau dia sama aku yang sekolah pun hanya SD dan ngaji cuma sampai jilid dua. Bisa di ketawain jamaah kalau pas manggung. "Ah, sepertinya kamu memang terlalu percaya diri. Kalau dilihat dari prinsip kamu, aku suka. Kamu itu pekerja keras dan optimis, bahkan sangat profesional." Pujinya membuat wajahku memerah.Tentu semua itu dari pengalaman masa lalu. Semua yang terbentuk dari diri seseorang sebagian besar adalah dari pengalaman masa lalu.Aku yang memiliki keluarga utuh namun tak harmonis, tentu tetap berefek pada aku yang me