Dengan langkah cepat, aku memasuki pekarangan rumah. Tidak ada ampun lagi untuk Mas Riko. Sudah cukup semuanya. Aku tahu, ini masih suasana berkabung. Namun, aku tidak akan pernah memaafkan Mas Riko. Sudah cukup semuanya. Batas dia sudah terlalu jauh. "Mana Mas Riko, Bi?" Aku bertanya pada Bi Sari. Di rumah justru sepi. Tidak ada Andre. "Pergi sebentar kata Pak Riko, Bu. Bibi juga gak tahu ada dimana."Ah, aku menggigit bibir. Berusaha mencari jalan keluar. "Bareng sama Andre, Bi?" Bi Sari mengangguk. Tumben sekali Mas Riko pergi mengajak Andre. Tidak biasanya. Ada satu tempat lagi. Aku meletakkan tas ke atas meja, kemudian berlari kecil keluar rumah. "Kana! Buka pintunya!" Aku menggedor-gedor rumah Kana. Hampir sepuluh menit. Tidak ada yang membukakan pintu. Jangan-jangan, Mas Riko sedang pergi bersama Kana. Aku mengusap wajah. Ini sudah benar-benar di luar batas. "Bu Diah kenapa gedor-gedor rumah tetangga? Sampai ke rumah saya suaranya." Mendengar perkataan itu, aku men
Sebelum keluar dari rumah makan, seorang pria dengan jas hitam menghadangku. Aku mengernyit. Menatap Adnan yang tersenyum tipis. Ada apa dengannya? Kenapa pria ini kembali lagi?"Saya mau pulang. Kamu ngapain lagi?" tanyaku sambil membenarkan posisi tas di tangan."Ikut duduk dulu, Mbak. Ada yang perlu saya bicarakan."Tanpa bicara apa pun lagi, Adnan kembali duduk di kursi kami tadi. Sebenarnya, ada urusan apa lagi? Sampai Adnan harus kembali kesini?Baiklah. Daripada urusan yang dimaksud Adnan tidak selesai-selesai, aku mengangguk, mengikutinya duduk. "Kenapa?" tanyaku sambil menatap pria itu. Adnan diam sejenak. "Sekalian saja saya mengurus berkas pembalikan nama aset, Mbak. Saya bakalan berusaha untuk anak Mbak."Eh? Aku menelan ludah. Sejak kapan Adnan jadi peduli dengan Andre?"Maaf, Mbak. Saya sempat lihat video di flash disk tadi. Saya rasa, anak Mbak yang berhak mendapatkan harta itu."Aku menggigit bibir. Jadi, Adnan sush melihat video itu?"Mbak tenang saja. Video-video
"Dimana kamu menyimpan barang bukti itu, Diah?!"Ah, tidak. Aku sepertinya baru menyadari kesalahan yang akan aku perbuat. Aku menggelengkan kepala. Tidak. Belum saatnya Mas Riko tahu, kalau aku sudah tahu semuanya. Tadi, aku hanya membayangkan apa yang terjadi, ketika aku melabrak Mas Riko dan Kana langsung. Ternyata, itu berbahaya sekali. Justru, Mas Riko yang sekarang sudah gila harta, akan berbuat nekat. Apalagi, dia itu tidak pernah memikirkan dosa yang didapatkannya. Baiklah. Aku mengangguk-angguk, kemudian kembali menatap ke dalam rumah Kana. Mereka berdua masih ada di sana. Mengobrol.Aku mematikan perekam suara. Sepertinya, aku akan membongkar semuanya, saat surat dari pengadilan agama keluar. Juga aset yang sudah dibalik namanya. Ya. Itu pilihan yang tepat, dibandingkan bayangku tadi. Memang, barang bukti sudah aku salin semuanya ke flashdisk, juga laptop. Nur juga punya salinannya.Bicara soal Nur, aku akan ke rumah sakit setelah ini. Untuk menemui Mama.Aku punya ren
"Gak ada tapi-tapian lagi, Diah. Riko udah gak pantas milikin kamu."Sejak tadi, aku hendak menjelaskan, tapi Mama terus memotong percakapan. "Ma, kok malah agak ribut sama Diah?"Aku menoleh, menatap Mas Riko yang sekarang berdiri di depan pintu. Aduh, bagaimana ini? Bisa berantakan semua rencanaku, kalau Mama mengatakan yang sebenarnya. Ini bahaya. "Saya langsung pamit sekarang, ya, Ma. Ada yang ngajak ketemuan. Penting banget."Mas Riko pindah menatapku. "Kamu mau ikut, gak, Di? Atau masih mau disini?" "Ikut aja, deh, Mas."Akhirnya, aku bisa menghela napas lega. Tidak ada waktu untuk Mama menjelaskan apa yang terjadi pada Mas Riko. Setidaknya, tidak untuk sekarang. "Benar-benar gak ad waktu? Mama cuma mau bicara sebentar. Lima menit aja." Aku menatap Mas Riko yang terdiam sebentar, tapi kemudian menggeleng. "Ini udah mendesak banget, Ma."Setelah menyalimi Mama, aku mengikuti Mas Riko dari belakang. Bisa dipastikan, Mas Riko akan lama untuk menemui Mama lagi. Baguslah, set
"Kenapa, Mbak?" Aku diam sejenak. Memperhatikan foto ini. Ada keanehan di dalamnya. Entah kenapa, aku merasa foto ini diedit. "Di sini tertera tanggal lima belas juli tahun dua ribu enam." Kali ini, Nur yang terdiam. Dia pasti tahu alasan aku diam tadi. "Lama banget, ya, Mbak."Ya. Aku menikah dengan Mas Riko berselisih lima tahun dari tanggal ini. Foto yang masih sangat bagus. Dua orang saling tertawa. Tampak muda sekali. Mas Riko dan Kana. Ponsel rumah berdering. Aku berdiri, mengangkat telepon di ruang keluarga. "Halo.""Halo, Sayang. Ponsel kamu kok sibuk? Lagi teleponan sama siapa?"Mas Riko rupanya. Aku menimang ponsel. Masih terhubung dengan Nur. "Teleponan sama Nur, Mas. Ada apa?""Mas udah jalan pulang. Kamu mau nitip apa? Siapa tahu ada yang mau dibeliin." Mampus. Aku menepuk dahi pelan. Menggigit bibir. Berusaha berpikir, agar Mas Riko kembali berputar arah. Aku berdeham pelan. "Titip nasi goreng, ya, Mas.""Oke. Tapi ini Mas harus mutar balik. Agak lama gak papa,
Di perjalanan, ponselku berdering. Aku menatap layar. Dari Nur."Halo, Mbak. Mbak dimana?" "Di jalan Nur. Kenapa?"Diam sejenak. Aku menatap keluar mobil. Menunggu Nur berbicara. Dia biasanya berpikir dulu. "Ini, Mama nyuruh Nur nganterin makanan. Eh, Mbak gak ada di rumah."Punggungku langsung menegak. "Kamu gak jagain Mama di rumah sakit? Kok malah ke rumah Mbak, sih." Ah, harusnya Nur menelepon sejak tadi. Jangan sampai dia meninggalkan Mama di rumah sakit. Kacau. Ini benar-benar kacau. Nur tertawa di seberang sana. "Mama udah keluar dari rumah sakit, Mbak. Baru aja tadi subuh. Gak sempat kasih tau Mbak. Repot banget tadi." "Mama udah sehat?" "Udah, Mbak. Udah bisa jalan-jalan. Di rumah banyak yang jagain Mama. Apalagi satpam ada banyak. CCTV dimana-mana. Mbak tenang aja."Aku menghela napas lega. Itu kabar yang benar-benar bagus. "Mbak lagi perjalanan ke rumah Ibunya Mas Riko, Nur. Kamu pulang aja, Mbak masih lama pulangnya.""Oh, ya?" Nur diam sejenak. "Nur ikut, deh, Mba
"Apa itu, Mbak?" tanya Nur sambil melongokkan kepalanya. Dia ingin sekali melihat buku yang baru saja aku ambil. Belum sempat berbicara, pintu kamar diketuk. Pasti itu Ibu Mas Riko. Aku buru-buru mengambil tas, kemudian memasukkan buku ke dalamnya. Nur menoleh ke aku. Dia meminta izin untuk membuka pintu. Baiklah. Aku sudah siap. Yang penting, buku itu sudah ketemu. "Lho, kok belum mandi?" Pandangan Ibu mertuaku mengarah ke dalam ruangan. Aku menghela napas pelan, untung saja tadi sudah dibereskan. "Ngapain aja hampir berapa jam di dalam, tapi belum mandi?" Aku tersenyum, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Tadi Mama telepon, Bu. Agak lama jadinya."Ibu Mas Riko terdiam sejenak, kemudian mengangguk-angguk. "Cepetan mandi, ya. Kali ini, gak ada alasan lagi. Ibu tunggu di ruang makan."Buru-buru aku mengangguk. Kemudian menutup pintu kembali. "Sekarang, waktunya mandi, Nur. Gak ada lagi yang mau kita cari. Bendanya udah ketemu."Nur mengacungkan jempolnya. Aku tersenyum
"Mau ngapain ke rumah Nenek Kana? Toh, gak ada apa-apa disana. Riko juga udah gak temenan lagi sama Kana. Masa kamu gak percaya sama Ibu." Sepertinya, Ibu mertuaku mulai curiga. Ah, aku salah strategi tadi. Buru-buru aku memasang senyum. "Siapa tahu saya dan Mas Riko bisa silaturahmi disana, Bu." Tetap saja tidak dikasih. Itu bisa dipikirkan nanti. Aku menganggukkan kepala. Awalnya, sebelum datang ke rumah Ibu Mas Riko, aku kira mertuaku itu akan memihak ke aku. Ternyata salah. Jauh sekali dari perkiraan. Ibu Mas Riko memang baik. Namun, itu hanya topeng. Aku menghela napas pelan. "Mbak, pulang, yuk. Udah sore."Aku menoleh ke Nur yang baru saja datang. Wajahnya terlihat biasa saja. Sepertinya, dia tidak mendapatkan apa pun. "Ah, iya. Udah sore banget. Nanti kemalaman sampai di rumah." Buru-buru aku berdiri, mengambil beberapa lembar uang berwarna merah di dalam tas. "Ini untuk Ibu. Makasih udah dijamu disini."Ibu Mas Riko langsung mengambil uang yang aku sodorkan. "Makasih