Share

Meminta Bantuan Papa

"Bangun, Mas. Udah siang."

 

Mas Riko menggeliat. Dia mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke jam dinding. Dia langsung berdiri. 

 

"Kok gak bangunin dari tadi? Ini udah siang banget, Diah." 

 

"Baru jam tujuh, Mas." Buru-buru aku mengambil bantal dan selimut, membawanya ke ruang kamar. 

 

"Masalahnya di kantor masuk jam tujuh. Kamu gimana, sih." 

 

Aku mengangkat bahu, menatap Mas Riko yang sibuk sendiri. Dia terlihat kesal sekali. 

 

Siapa suruh dia susah dibangunkan. Mimpi indah banget kayaknya, mimpiin bayinya kali. 

 

Sebenarnya, aku sudah selesai masak. Bahkan, Andre sudah berangkat sekolah. Ini memang sudah siang sekali. 

 

Baru kali ini Mas Riko bangun kesiangan. Biar saja dia kena marah. Masa tidak bisa bangun sendiri. 

 

"Pagi, Bu Diah." Bu Yanti yang lewat menyapaku sambil tersenyum. 

 

Aku balas tersenyum, sambil mengambil selang air. Menyiram tanaman. 

 

"Pak Riko belum berangkat, Bu? Memangnya gak kena marah gitu, ya?"

 

Mendengar pertanyaan Bu Yanti, aku mengernyit. Kenapa tetanggaku ini jadi penasaran sekali?

 

"Kemarin malam, saya lihat Bu Kana, berdiri terus di depan rumah Ibu, lho. Kayak maling gitu." 

 

Aku terdiam sejenak. Ngapain Kana malam-malam berdiri di depan rumah?

 

Ah, aku tahu. Kana pasti menunggu Mas Riko. Dia menunggu janji Mas Riko untuk datang ke rumahnya. 

 

Enak saja. Itu tidak akan pernah terjadi. Memangnya, dengan dia tinggal disana, kemudian tinggal tepat di depan rumahku, bisa menang begitu?

 

"Bu? Kok malah bengong. Saya lagi cerita lho, ini." 

 

Aku tersenyum. Mengangguk-angguk saja mendengar celotehan Bu Yanti. 

 

"Yaudah, saya pulang, deh, Bu. Cuma penasaran aja sama si Bu Kana. Mungkin, ada sesuatu sama keluarga Ibu begitu." 

 

Bu Yanti langsung pulang ke rumahnya. Belum apa-apa, sikap Kana yang mencurigakan sudah terendus oleh Bu Yanti. Aku harus segera menyelesaikan ini semua. 

 

"Mas berangkat, Di." 

 

Mendengar perkataan Mas Riko, aku menoleh. Menatapnya yang terburu-buru. Pandanganku terhenti ke satu titik.

 

Mas Riko memakai celana terbalik. Padahal, tadi sudah aku siapkan. Dia melambaikan tangan, mobilnya meninggalkan halaman rumah. 

 

"Biarin ajalah. Paling, malu di kantor."

 

Aku kembali menyirami tanaman. Namun, terhenti kembali ketika melihat Kana yang sedang menyuapi bayinya. 

 

Wanita itu menatap ke arah rumahku. Terlihat jelas sekali. Terang-terangan. 

 

Wah, dia mau mengibarkan bendera perang. Aku memutar keran, mengeringkan tangan. 

 

Belum juga keluar gerbang rumah. Ponselku berdering. Aku menatap layar. Dari Papa ternyata.

 

"Halo, Pa." 

 

"Halo, Sayang. Kapan mau ke rumah? Sekalian ajak cucu Papa, dong." 

 

Aku terdiam sejenak. Di rumahku sedang banyak masalah. Tidak mungkin aku bisa bebas jalan-jalan, tanpa memikirkan masalah itu. 

 

"Diah?" 

 

"Eh, iya, Pa."

 

Ah, aku akan meminta bantuan Papa, untuk memindahkan semua aset. Itu adalah hak Andre, bukan Mas Riko. Ya, ini adalah jalan terbaik. 

 

"Hari ini, Pa. Setelah Andre pulang sekolah, Diah langsung ke rumah Papa, ya."

 

Setelah mengobrol beberapa menit lagi, aku mematikan telepon. Menoleh ke seberang rumah. 

 

Kana masih menoleh ke rumahku. Mungkin, dia mencari-cari Mas Riko yang tadi malam tidak jadi datang ke rumahnya. 

 

Aku mengambil selang kembali. Memutar keran, kemudian berjalan maju ke depan beberapa langkah. 

 

"Aduh!" 

 

"Yah, maaf, Bu. Gak sengaja." 

 

Wanita itu mengibas-ngibaskan pakaiannya dengan satu tangan. Dia menatapku kesal. 

 

"Kalau lagi nyiram tanaman, lihat-lihat, dong, Bu. Masa bisa nyiram ke sini."

 

"Salah siapa Ibu berdiri disitu."

 

Kana bersungut-sungut. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku tertawa dalam hati. Memangnya enak dikerjain. 

 

***

 

"Kita mau ke rumah Kakek, Ma?" 

 

Aku mengangguk, membantu Andre mengganti pakaian. 

 

"Asik. Bisa main sama Nenek, dong." 

 

Kami langsung naik taksi. Sebelum pergi, aku sudah bilang pada Bi Sari untuk memanaskan makanan Mas Riko. 

 

Ini sudah masuk siang hari. Aku mengusap peluh di kening. Lumayan panas. 

 

Ponselku berdering beberapa kali. Ada pesan masuk. Dari Lea. 

 

Sahabatku itu mengirimkan beberapa foto. Aku mengunduhnya. Menunggu sebentar. 

 

Mataku memanas melihat foto-foto itu. Ternyata, Mas Riko tidak makan di rumah. Dia makan di restoran dekat kantor. 

 

Tidak makan sendirian, tapi makan bersama Kana. Semakin hari, kelakuannya semakin menjadi. Aku mengalihkan pandangan sejenak dari ponsel. 

 

Sebenarnya, rasa cinta itu masih ada. Masih tertanam kuat di hatiku. Ah, kenangan kami berdua masih sering berputar di pikiranku. 

 

Aku menoleh ke Andre. Menciumi kepalanya. Tidak. Aku tidak akan menyerah atas nama cinta. Aku akan berjuang untuk hak Andre. 

 

***

 

Sampai di rumah, aku membayar ongkos taksi, kemudian membantu Andre keluar dari taksi. 

 

"Assalammualaikum, Ma, Pa." 

 

"Waalaikumsalam. Akhirnya, udah dari bulan lalu gak datang kesini." 

 

Aku menyalimi Mama, kemudian Papa. Begitu juga Andre. 

 

"Andre main sama Tante Nur dulu, ya." Aku menyuruh Andre untuk main bersama Nur—adikku satu-satunya. 

 

Ini adalah masalah besar. Harus dibicarakan serius. Aku mengajak Mama dan Papa duduk di ruang tamu setelah menyuruh Nur dan Andre ke ruang keluarga. 

 

"Ada apa, Di?" 

 

Aku menahan napas, menatap Mama dan Papa bergantian. Jujur saja, ini sulit. 

 

"Ma—Mas Riko punya istri lagi, Ma, Pa." 

 

"Apa?!" 

 

***

 

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status