Share

Pakaian Bayi di Mobil Suamiku
Pakaian Bayi di Mobil Suamiku
Penulis: Rahma La

Menyelidiki yang Sebenarnya

"Kamu gak buka pintu mobil belakang, 'kan?" 

Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah, langsung menoleh. Menatap Mas Riko yang berjalan mendekatiku. 

"Enggak." 

"Oke, bagus. Eh, Mas pergi sebentar, ya. Mau kasih seblak pesanan teman. Sebentar aja." 

Pandanganku tak lepas menatap Mas Riko yang mengambil seblak dengan santai. Dia langsung keluar rumah. 

Ingin sekali aku mengikutinya sekarang, tetapi anakku—Andre, tidak bisa ditinggal sekarang. Apalagi ini sudah lumayan malam. 

"Andre! Makan, Sayang!" 

Terdengar langkah kaki mendekat. Aku tersenyum, menyuruh Andre mendekat. 

"Wih, seblak, ya, Ma?" 

Aku tersenyum, sambil mengangguk. "Kamu udah selesai belajar?" 

"Udah." 

Saat kami makan berdua, Andre tidak berhenti melirik ke arahku. Ada apa dengannya? 

"Kenapa? Kok dari tadi lihat ke Mama terus?" 

Andre terlihat salah tingkah. Aku tertawa pelan, menuangkan air minum ke dalam gelas. 

"Ma." 

Anakku akhirnya memanggil. Sepertinya, sejak tadi dia ingin berbicara padaku, tapi momennya belum tepat. 

"Kenapa?" 

"Tadi, pas selesai belajar, Andre mau ambil minum, terus Andre lihat Papa lagi Video call sama tante-tante." 

Mendengar perkataan Andre, aku langsung menoleh ke arahnya. Benar dugaanku selama beberapa hari terakhir ini. 

Mas Riko memang terlihat berubah. Dia tampak berbeda, tidak aku kenali. 

"Pakai sayang-sayangan gitu."

Andre baru kelas enam SD. Dia mungkin sudah mulai paham dengan arti cinta, tapi dia tidak paham dengan apa yang terjadi. 

Aku tersenyum, mengusap punggung tangan Andre. "Itu teman kerja Papa. Jangan tanya apa-apa ke Papa, ya. Nanti Papa malah marah." 

Anakku itu mengangguk ragu. 

"Tapi Mama gak kenapa-napa, 'kan? Maksudnya, nanti kalau Mama sama Papa berantem gimana?" 

Ah, pemikirannya sudah mulai beranak dewasa. Aku mengusap kepalanya, kemudian menggeleng. 

"Percaya sama Mama, ya, Nak."

***

Besok paginya, aku yang sedang mempersiapkan makanan untuk Mas Riko, berkali-kali masuk ke dalam kamar. Tidak aku dapati ponselnya dimana-mana. 

Padahal, aku mau menyalin nomor telepon wanita yang tadi malam mengirimkan pesan. 

Aku yakin sekali. Mas Riko pasti melakukan sesuatu. Sudah hampir tiga bulan, sikapnya berubah. 

Mas Riko sering sekali tertawa sendirian dengan ponselnya. Malam-malam tidak ada di kamar. 

"Ma, ngapain bengong?"

Eh? Aku menoleh ke Andre. 

"Gak papa. Ayo cepet habisin sarapannya, biar berangkat sama teman yang lain." 

Andre mengangguk, bertepatan dengan Mas Riko yang turun dari lantai dua. Dia membawa jas kerja, menyapa Andre. 

Belum juga duduk, telepon Mas Riko berdering. Suamiku itu berdiri, berjalan menjauhi meja makan. 

Ini gelagat yang paling mencurigakan. Kenapa dia harus menjauhi meja makan? Padahal, kalau tidak ada apa-apa Mas Riko pasti menelepon di sini. 

Aku ikut berdiri, berjalan pelan mendekati Mas Riko yang sedang menelepon. 

"Iya. Nanti aku beliin. Kamu tenang aja, Sayang." 

Telingaku sedang tidak salah mendengar, 'kan? Mas Riko baru saja memanggil seseorang disana dengan panggilan sayang. Panggilan yang selalu untukku. 

"Yaudah. Kamu sabar, ya. Nanti sebelum berangkat ke kantor, aku antar." 

Buru-buru aku kembali duduk di meja makan. Mas Riko seperti biasa, dia seperti tidak merasa bersalah. 

Pasti tebakanku benar. Mas Riko bermain di belakangku. 

***

Mas Riko pamit. Setelah mobilnya menghilang di ujung jalan, aku langsung mengambil tas, naik ke taksi yang sudah menunggu sejak tadi. 

"Cepat, ya, Pak."

Mobil Mas Riko berhenti di minimarket. Taksi kami berhenti di depan butik samping supermarket, menjaga jarak. 

Hampir sepuluh menit menunggu, Mas Riko akhirnya keluar dari minimarket, membawa kresek berwarna putih. 

Aku mengambil ponsel, menelepon Mas Riko. 

"Halo, Sayang." 

"Halo, Mas. Kamu udah sampai di kantor?"

Mas Riko diam sejenak di seberang sana. "Udah. Kenapa memangnya?"

Mendengar perkataan Mas Riko, aku membuang pandangan. Dia berbohong. 

"Mau minta tolong beliin teh. Tapi kamu udah sampai ternyata. Yaudah, deh. Aku tutup, ya, teleponnya."

Aku mengembuskan napas pelan, sabil meletakkan ponsel kembali ke dalam tas. Pandanganku tidak terlepas dari mobil di depan. 

Taksi ikut berhenti, ketika mobil Mas Riko berhenti tepat di depan rumah. Rumahnya cukup besar. Aku mengusap dahi, menyipitkan mata. 

Wanita itu membawa bayi. Dari wajahnya, tampak senyuman. Aku buru-buru mengambil ponsel. 

Saat Mas Riko berpelukan dengan wanita itu, aku menahan napas, sambil memotret mereka bertiga. 

"Beraninya kamu, Mas." Gemetar aku meremas jemari. 

Mereka berdua tampak bahagia sekali. Sesekali tertawa. 

Lima belas menit mereka mengobrol. Mas Riko akhirnya pergi juga. Aku menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, menatap foto yang ada di tangan. 

"Siapa wanita dan bayi ini, Mas?" 

Tidak sengaja, aku menggeser foto, menatap fotoku dan Andre. 

Tidak perlu banyak bukti lagi. Aku sudah mendapatkan satu kesimpulan. Mas Riko berselingkuh. 

"Sejak dulu, aku tidak pernah sekalipun membatasimu untuk berteman dengan wanita lain, Mas."

Aku menengadahkan wajah, jantungku sejak tadi berdetak kencang, berusaha menahan sesak. 

"Ini sudah melewati batas wajar, Mas." Aku mencengkeram tempat duduk. 

"Sebagai seorang wanita, aku tidak terima. Dan sebagai seorang istri, aku tidak rela, Mas."

Mataku sudah berkaca-kaca. Namun, aku tidak akan menangis untuk ini. Air mataku terlalu berharga. 

Aku mencengkeram jemari. "Tunggu semuanya, Mas. Kamu akan menyesal dengan pengkhianatanmu ini."

***

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status