Share

Bab 3

"Wah, pacar baru nih!" goda seorang pria yang kini menahan pintu mobil David agar sang pemilik tidak menutupnya.

"Minggir, Joe!" usir David kesal dengan bahasa Inggris.

Ia tahu benar kalau sahabatnya itu juga datang ke kampus karena mengantar kekasihnya juga yang kuliah di sana. Hanya saja, David tak yakin sahabatnya yang playboy itu bisa setia pada satu wanita.

Alih-alih, menuruti ucapan David. Joe justru menatap ke arah Laura yang saat ini sedang tersenyum ramah menyapanya–mengira pria itu adalah teman David.

Bukankah sesama teman terkadang suka menjahili satu sama lain?

"Siapa namamu, Nona manis?" tanya Joe sembari mengulurkan tangan pada Laura.

"Laura," jawabnya sambil membalas uluran tangan pria itu.

David langsung menghentikan jabatan tangan keduanya. “Enyahlah!”

"Apaan sih? Belum juga kenalan," jawab Joe kesal, "Oh, iya. Namaku Joe, sahabat baik calon suamimu ini."

Mendengar Joe mengiranya sebagai calon istri David, mata Laura seketika membulat penuh.

“Hah?” ucapnya tanpa sadar.

Joe sontak tertawa. "Bercanda, kok! Tapi, kalau beneran nikah dengan si David ini, juga tidak apa-apa," ucap pria itu, “kasihan sahabatku ini … senjatanya sudah karatan!”

David pun tak tinggal diam setelah mendengar candaan Joe.

Dia benar-benar sekuat tenaga mendorong tubuh temannya itu sampai Joe oleng ke belakang.

Dengan cepat, David memastikan mobil tertutup, lalu melajukan mobilnya menjauhi area kampus.

David melirik dari spion dan melihat Joe yang tampak berteriak kesal, lalu tersenyum pada Laura.

Pria itu tak menyadari tindakannya telah membuat keponakannya itu membeku beberapa saat.

"Kita makan langsung ke Mall dulu ya," ucap David membelah keheningan.

"Baik, Om," jawab Laura.

"Oh, iya! Jangan dipikirin omongannya si Joe. Dia memang seperti itu, tapi pada dasarnya dia baik banget. Dia yang selalu menemaniku saat mulai berjuang membangun perusahaanku." Tanpa sadar, David bercerita tentang sahabatnya itu.

Laura hanya membalas dengan senyuman.

Tak lama, mereka pun berhenti di salah satu Mall terbaik dan terlengkap di New Capitol.

David membelikan kebutuhan Laura.

Saking baiknya pria itu, Laura rasanya tidak akan pernah tega memberitahu David bagaimana kelakuan Monica kepadanya bila dirinya tidak ada di rumah.

Anggap saja kesabarannya menghadapi wanita paruh baya itu adalah balasan atas kebaikan David terhadapnya.

Toh, dia harusnya fokus untuk kuliah agar bisa lulus menjadi sarjana. Dengan begitu, kedua orang tuanya pasti ikut merasakan kebahagiaan yang Laura rasakan di dunia ini.

Untungnya, begitu keduanya kembali ke rumah, Monica sedang ada kegiatan di luar.

Andai sang nyonya rumah melihat barang-barang yang dibelikan David untuknya, sudah pasti Monica akan semakin menyiksa Laura nanti.

Dengan cepat, David memerintahkan para pengawal untuk memasukkan semua barang-barang milik Laura.

Dalam diam, Laura memperhatikan ponsel dan laptop barunya.

"Apa kamu menyukai semuanya?" tanya David tiba-tiba.

"Sangat suka," jawab Laura penuh semangat.

David pun tersenyum. "Beristirahatlah! Aku akan kembali ke kantor," ucapnya.

"Baik Om. Terima kasih atas semuanya."

"Sama-sama," balas David, “semangat untuk pendidikanmu.”

Setelahnya, pria itu segera keluar dari rumahnya untuk menuju ke kantor.

Hampir setengah hari ini, dirinya bolos demi mengantarkan Laura menuju masa depannya. Tapi, tak mengapa, asalkan gadis itu bisa memiliki masa depan lebih baik.

Tak terasa, dua bulan telah berlalu.

Selama ada David, Monica hanya mengabaikan Laura tanpa menyiksa gadis itu.

Intensitas marahnya juga berkurang.

Diam-diam, Laura tersenyum lega, terlebih kala sang nyonya rumah berpamitan pada sang David untuk melakukan liburan bersama teman prianya.

Uncle Edward, begitu David biasa memanggilnya, adalah manajer sang mama di butik.

David tahu pria itu adalah calon Ayahnya dan pria itu sama sekali tidak keberatan dengan pilihan sang mama asalkan ia bahagia.

"Apa hanya ini perlengkapan yang Mama bawa?" tanya David memastikan.

Mereka sedang ada di ruang tamu. Edward baru saja menjemput Monica ke rumahnya.

"Iya, Sayang. Hanya ini yang Mama bawa. Buat apa punya banyak uang kalau tiap liburan harus banyak bawaan? Toh, nanti Mama bisa membelinya di sana," ucap Monica santai.

David mengangguk."Benar juga. Kalau begitu, selamat menikmati liburannya, Ma," ucapnya sembari memeluk Monica.

"Baik, Sayang. Mama pergi dulu ya nak."

"Uncle jalan dulu ya David," timpal Edward–pamit pada calon anak tirinya.

David pun mengangguk. "Iya Uncle. Titip Mama, ya," jawabnya yang dibalas acungan jempol oleh kekasih sang mama.

Pasangan itu tampak bucin dan David menyukainya.

"Semoga Mama dan Uncle Edward selalu bahagia dan segera menikah," gumamnya sambil menatap punggung pasangan itu yang semakin menjauh.

Setelah itu, David menuju ke ruang kerjanya.

Seketika, ia teringat bahwa ada hal yang perlu dikerjakan di ruangan itu.

Sementara itu, Laura pun keluar dari dalam kamarnya setelah merasa keadaan rumah sudah sepi. Ia pun menuju ke dapur.

"Non," sapa pelayan lain yang usianya lebih muda dari sang kepala pelayan.

Ia tersenyum dan mendekati Laura. “Nyonya udah pergi liburan. Anda aman selama satu minggu tak mendengar ocehannya," bisiknya.

Tanpa sadar, mereka tergelak bersama.

"Pasti lagi ngomongin bibik?" tuduh sang kepala pelayan yang baru saja tiba di dapur.

Melihat wanita tua itu, Laura langsung memeluk sang kepala pelayan.

"Kata mbak, telinga Laura akan hening selama satu minggu ke depan," jawab Laura.

Sang kepala pelayan pun ikut tersenyum.

Jujur, dia kasihan dengan Laura yang hampir tiap hari dibentak oleh Monica.

Tapi, para pelayan di rumah itu tetap memilih bungkam sesuai permintaan Monica dan juga Laura.

"Manfaatkan momen langka ini dengan baik, ya."

Laura pun mengangguk. “Baik.”

"Baiklah, Bibi mau membuat teh dulu untuk Tuan David. Kalian lanjutkan saja ngobrolnya."

Mendengar itu, Laura tiba-tiba mendapat ide. Selama ini, David sudah baik padanya. Tidak ada salahnya dia membuatkan teh untuk omnya itu bukan?

"Bi, Laura saja yang membuatkannya. Kalau boleh tahu, Om David di mana, ya?"

“Baiklah kalau begitu.” Sang kepala pelayan tersenyum. "Beliau ada di ruang kerjanya."

Laura tersenyum.

Ia pun segera membuatkan minuman untuk David. Setelahnya, gadis itu menuju ke ruang kerja David.

Tok tok tok!

Laura mengetuk pintu ruang kerja mewah itu.

“Masuk!” Suara bariton dari dalam terdengar mengizinkan.

Mendengar itu, Laura bergegas masuk lebih jauh ke dalam ruang kerja tersebut.

David pun tersenyum kala menyadari anak kakak angkatnya itu yang mengantar teh ke ruangannya.

Entah kenapa, ada perasaan asing menyelinap di dalam hati setiap kali melihat Laura.

Bahkan, setelah 3 bulan kebersamaan mereka, semakin hari David semakin sulit menghilangkan Laura dari pikirannya. Terkadang, pria itu ingin pulang cepat ke rumah demi melihatnya.

David belum pernah merasakan hal seperti ini terhadap wanita lain.

Hanya saja, pria itu tak yakin kalau ini cinta. David lebih yakin ini perasaan kasihan padan sang keponakan angkat.

"Om ini minumannya," ucap Laura menyadarkan pria itu dari lamunannya.

Mendadak, David teringat sesuatu yang direncanakannya."Terima kasih, Laura. Duduklah dulu. Ada yang mau Om bicarakan padamu."

Laura pun duduk di depan meja kerja David. "Ada apa Om?" tanyanya.

"Laura apa kamu mau pergi liburan denganku?" tanya David.

"Liburan?" Laura membeo.

"Benar, mumpung satu minggu ke depan hari libur musim panas, bagaimana kalau kita berlibur sejenak."

"Mau-mau Om," jawab Laura antusias.

David tersenyum. "Kamu mau liburan ke mana? Ada negara yang ingin kamu kunjungi Laura?"

"Victoire…” jawab gadis itu ragu, “Laura ingin sekali liburan di sana, Om. Tapi, ke mana pun Om mengajak liburan, Laura mau kok."

Senyuman tercetak jelas di wajah Laura membuat David ingin sekali memeluk gemas keponakannya itu.

"Baiklah! Kalau begitu, kamu harus segera siap-siap. Besok pagi, kita berangkat ke London.”

“Oh iya, jangan membawa banyak barang! Nanti, kita bisa shopping di sana,” tambah pria tampan itu.

Laura kaget. " Secepat itu? Om tidak sedang bercanda, kan?"

"Tidak. Kapan aku pernah bercanda," sahut David.

Laura pun berdiri lalu berjingkrang girang karena kota itu mereupakan impiannya sejak lama.

Laura mengecup punggung tangan David. "Terima kasih, Om. Kalau begitu, Laura siap-siap dulu," pamitnya.

Sementara itu, David begitu terkejut dengan gerakan mendadak gadis itu.

Namun, ia mencoba tersenyum menatap Laura yang berlalu dari hadapannya.

Setelah pintu tertutup, David menyugar rambutnya kasar. Entah mengapa, ia mulai ragu akan perasaannya.

"Sadarkan dirimu," gumamnya, “Laura itu anak kakakmu!”

Sayangnya, sisi hati lain pria itu seolah dipengaruhi iblis. “Hanya anak kakak angkat. Tidak ada yang salah dengan itu.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Chy Doang
sehat selalu.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status