“Aku harus kembali!”
Maya, mantan asisten yang sekarang menjadi tangan kanan Aileen, terkejut. Enam tahun sudah berlalu. Selama ini, tidak pernah sekalipun kata-kata itu terucap dari mulut Aileen.
“Kenapa? Bukankah kita sepakat untuk menutup masa lalu?” Maya mendekati Aileen.
Aileen terisak ketika membaca surel dari pamannya. Satu-satunya keluarga yang mengetahui kondisinya.
“Ternyata mereka penyebab mamaku meninggal. Ayahku dan selingkuhannya.” Tangan Aileen mendekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Hatinya terasa sakit.
Maya kaget. Ia ikut membaca dan tercengang. Waktu itu Rosalina dianggap meninggal karena kecelakaan.
Aileen juga menceritakan kejadian malam itu kecuali tentang sosok pria yang bersamanya. Maya tidak tahu karena seminggu sebelumnya, ia difitnah dan dipecat.
“Mereka memang brengsek! Ma–maaf, saya gak bermaksud menghina keluarga Nyonya.” Maya menutup mulutnya dengan wajah meringis. Ia ikut sakit hati.
“Tidak apa-apa, mereka memang brengsek! Kalau sudah kayak gini, aku gak bisa tinggal diam.” Tangan Aileen menghapus air mata di pipinya. Matanya sekarang terlihat membara.
“Dua Bulan lagi tepat 9 tahun kematian mamaku, kita kembali sebelum itu. Orang-orang itu harus bertanggung jawab.”
Aileen mematikan layar laptopnya. Ia menoleh ke pintu karena seperti mendengar ada langkah kaki. Tapi tidak ada orang.
Sementara itu, di sebuah ruangan lain tidak jauh dari tempat Aileen, terdengar suara musik mengalun lembut.
“Papa masih hidup!”
Seruan Lianzo membuat Kaein dan Rosa langsung menatap saudara kembarnya dengan bingung. Tapi hanya sesaat karena menganggap seruan itu seperti angin lalu.
Lianzo Smith, biasa dipanggil Lian, bermata sipit dengan pipinya yang tembem dan berambut coklat terkenal dengan gaya candaannya yang aneh tapi menghibur.
Lianzo sudah bisa membaca pada umur 2 tahun. Buku favoritnya adalah buku pengobatan terutama tentang ramuan herbal.
“Ayolah! Kali ini aku serius.” Lianzo berusaha menarik perhatian kedua saudara kembarnya. Ia sangat bersemangat.
Kaein Smith, biasa dipanggil Kae, berambut hitam dengan bola mata yang lebih besar dari pada Lianzo mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Ia mendengus kesal.
Waktu berumur 1 tahun, Kaein sudah mahir bermain dengan komputer. Ia senang sekali membongkar barang-barang dan merakitnya kembali.
“Ceritakan cepat! Programku sudah ditunggu Mama.” Pria kecil berkacamata ini lebih pendiam dan tenang dibanding Lianzo.
“Aku mendengar dari sini. Imajinasiku tidak bisa menunggumu yang suka mengulur waktu.” Nada lembut terdengar dari mulut Rosaline Smith yang sedang melukis. Ia biasa dipanggil Rosa.
“Tadi aku mendengar Mama sedang bicara tentang keluarganya.” Lianzo mengatur napasnya. Ia selalu terburu-buru ketika sedang bersemangat.
“Apa kamu nguping? Kalau ketahuan pasti akan kena marah Mama lagi.” sindir Kaein. Ia langsung menghampiri Lianzo diikuti oleh Rosa.
Cerita tentang masa lalu mamanya adalah hal yang paling ingin mereka dengar lebih dari apapun.
“Nguping itu caranya, yang penting isi beritanya.” Lianzo menyeringai.
“Sudah, ceritakan apa yang kamu dengar?” Rosa menatap Lianzo dengan bola mata besarnya.
Gadis kecil ini seperti peri dengan rambut coklat dan iris mata berwarna kehijauan. Ia mempunyai galeri lukisan dan album musik sendiri.
Suara lembut dan tatapan matanya seperti sihir yang bisa membuat orang tenang dan bicara lebih banyak daripada seharusnya.
“Papa kita mungkin masih hidup. Mama kabur dari keluarganya 6 tahun yang lalu, lebih tepatnya diusir.” Suara Lianzo terdengar kesal. Ia bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh mamanya.
“Kita harus cari tahu. Mendengar Mama diusir saja sudah bikin aku marah.” Kaein merengut.
“Kita bagi tugas saja. Kae cari tahu lewat komputer. Rosa coba dekati Mama dan Tante Maya. Aku sendiri seperti biasa, akan mengembangkan bakat baruku yaitu, menguping.”
Lianzo tersenyum kecil, disambut gelengan kepala Kaein, tanda tidak setuju.
“Aku hampir lupa, ada satu lagi. Aku mendengar nama Aileen Wang disebut. Entah siapa, mungkin Kaein bisa cari tahu.”
Lianzo melirik Kaien yang keningnya langsung berkerut, merasa pernah mendengar tentang nama yang sama. Tepatnya membaca nama itu di suatu tempat.
Terdengar langkah kaki mendekat. Serempak kembar tiga langsung beranjak ke tempat masing-masing. Seraut wajah mengintip dari pintu yang terbuka lebar.
“Apa kalian sudah makan?”
Aileen masuk ke dalam ruangan yang tadinya adalah kamar bermain tapi sekarang sudah beralih fungsi.
Pojok milik Kaein berisi komputer dan barang-barang elektronik. MIlik Lianzo penuh dengan buku serta gelas-gelas eksperimen. Satu pojok nuansa pink penuh dengan lukisan dan sebuah piano milik Rosa.
Batasan area mereka disatukan oleh satu set kursi di tengahnya.
“Sebentar lagi, Ma! Versi baru aplikasi Mama hampir selesai, ada fitur-fitur baru. Tepatnya ada 10 fitur baru. Nanti Kae kirim ke Mama.” Kaein dengan wajah tanpa ekspresi langsung menjawab dengan cepat.
“Rosa juga sudah selesai dengan logo produk barunya. Rosa sudah kirim ke Tante Maya. Nanti Mama cek lagi aja ya!” Rosa memberikan senyum polosnya.
Lianzo juga tidak mau kalah. “Aku lagi dapet ide bikin ramuan herbal untuk obat kurus. Mama tunggu saja kabarnya.”
Aileen menatap anak kembar tiganya dengan takjub. “Mama hanya ngajak makan, bukan nanya tentang kerjaan.”
Jika ia melihat anak-anaknya sekarang, kejadian 6 tahun yang lalu tidak bisa disebut sebuah musibah.
“Sebaiknya kalian berhenti dulu, bermainlah di luar, mumpung cuaca sedang cerah.” Ada kalanya ia berharap kembar 3 bisa tumbuh seperti anak-anak lain. Kembar tiga menggelengkan kepalanya.
Kota Myria tempat tinggal mereka adalah kota kecil di negara Majesta. Letaknya di kaki gunung, tidak jauh dari pelabuhan yang menjadi akses untuk bepergian selain sebuah bandara yang hanya bisa menampung pesawat kecil.
Tiga hari berlalu. Kembar tiga sedang duduk di kursi. menatap sebuah foto di atas meja yang sengaja dicetak oleh Kaein.
“Benarkah ini Papa kita?” tanya Rosa penuh dengan kerinduan.
“Iya, dan Aileen Wang adalah nama Mama kita yang sebenarnya.”
“Undangan sudah saya sampaikan, tapi beliau tidak bisa.”Jack memandang tajam staf yang barusan masuk dengan wajah canggung. Tangannya memegang sebuah map coklat.“Tidak bisa atau tidak mau?”Staf itu menelan ludah, terlihat gugup menghadapi tatapan dingin Jack. “Beliau… menolak, Tuan. Katanya tidak ada urgensi untuk ketemu langsung. Semua urusan diwakilkan dengan Tuan Mike.”Lengkung tipis muncul di sudut bibir Jack, senyum yang terlihat sinis. Ia mengetukkan jarinya berulang kali di atas meja.“Menolak?” Suaranya rendah, tapi menusuk. Staf itu menunduk, tak berani menatap. “I-iya, Tuan. Itu yang beliau sampaikan lewat asistennya.”Jack bersandar di kursi, matanya menyipit penuh perhitungan. “Baiklah. Kalau dia ingin bermain seperti itu.”“Sampaikan pada Tuan Mike, kalau perusahaan akan menambah jumlah saham lagi. Kita lihat apa wanita itu masih tidak mau bertemu.” Suara tawa Jack penuh ejekan.Ia benar-benar penasaran dengan Allisa, mirip tapi tidak sama.Aileen, adik tirinya sudah
“Apa tujuan anda?”Aileen sudah tidak tahan lagi. Ia meletakkan gelasnya perlahan, menatap David dengan sorot mata tajam namun tetap terkendali.Piringnya yang tadi berisi makanan sudah bersih. Ia sengaja makan sedikit agar tidak membuang waktu. David menghentikan gerakan tangan yang semula sedang memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. Ia mengangkat wajahnya, menatap Aileen. “Tujuan apa?” David meneruskan gerakan tangannya sambil menatap lekat. “Apalagi? Tentu saja semuanya.” Aileen mendengus pelan, lalu bersandar ke kursinya dengan gerakan tiba-tiba. Kursi kulit itu mengeluarkan bunyi gesekan dan bergeser sedikit ke belakang, membuat atmosfer hening seketika.“Tentang apartemen itu, info tentang properti milik Jack, pembelian saham, dan terakhir tentu saja tentang pesta yang anda siapkan untuk anak-anakku. Rasanya terlalu berlebihan.” Tatapan Aileen tidak lepas dari David, matanya menyipit penuh tanya.“Kamu sudah tahu jawabannya, kenapa masih bertanya?” David mengunyah d
“Nyonya yakin?”Alis Maya berkerut, matanya fokus ke arah Aileen yang berdiri di dekat jendela.Sinar mata Aileen masih memancarkan kekesalan. Bibirnya cemberut dengan tangan terlipat di dada.Aileen menarik napas dalam, berusaha tenang.“Iya! Bikinkan janji, aku ingin bertemu dengan orang itu, secepatnya!” Maya terdiam dan berjalan mendekat, ikut melihat pemandangan pantai di sore hari lewat jendela. “Apa tidak sebaiknya ditunda dulu? Nyonya masih kelihatan marah sama Tuan David.”Aileen menoleh. “Aku memang marah, dan itu tidak hilang begitu saja,” ujarnya pelan tapi tegas. “Ada hal yang harus segera dibicarakan. Aku tidak bisa terus menghindar.”“Baiklah, aku coba hubungi asistennya.” Maya berbalik dan melangkah pergi tapi langsung berhenti ketika mendengar namanya kembali dipanggil.“Kalau bisa, malam ini juga. Aku ingin urusan ini cepat selesai.” Maya masih sempat melihat Aileen merangkul lengan dan mengusapnya. Ada sisi yang rapuh di balik sikap tegasnya, sisi yang jarang dip
“Sesuai dengan rencana.”Hans tersenyum sombong, bahunya tegak seperti merak yang sedang memamerkan bulunya. David hanya melirik sebentar, tidak peduli. Seperti dugaannya, tawaran yang ia berikan terlalu menggiurkan untuk ditolak. Investor pintar akan dengan mudah menentukan pilihan seperti Tuan Xavier. Perusahaan baru seperti Golden Spoon Co. bukan tandingannya, walaupun sangat menjanjikan kedepannya.“Apakah Tuan sudah dapat informasi, kalau Tuan Jack ingin membeli saham itu juga? Tapi tentu saja langsung ditolak Tuan Xavier.” Hans tertawa geli ketika teringat apa yang diceritakan Tuan Xavier tadi.Mereka baru saja menandatangani pertukaran saham, sehingga saham 2% milik Good Health sudah menjadi milik David.“Katanya Tuan Jack marah tapi tetap sombong karena posisinya masih aman. Tadi Tuan Xavier titip salam, ingin bertemu dengan anda. Apa saya bikinkan janji? Makan malam?” Hans menunggu sambil melirik David yang sibuk dengan ponselnya.“Tidak perlu bertemu,” Jawab David singkat.
“Kamu dari mana?”Terdengar suara Jack yang sedang duduk di sofa. Winona yang baru masuk tidak memperhatikan karena suasana rumah yang remang. Hari sudah menjelang sore.Winona melepaskan jaketnya dengan perlahan. Matanya menatap balik tanpa gentar. Sesaat tadi wajahnya kaget tapi berusaha tetap tenang.“Aku dari rumah keluargaku. Kenapa kamu sudah pulang? Biasanya juga larut malam baru pulang.” Winona melangkah ke kamar.Ia ingin mengambil pakaian yang masih ada. Niatnya untuk bercerai dengan Jack sudah bulat. Rahang Jack menegang. "Kau tinggalkan rumah berhari-hari tanpa izin. Kau pikir aku tidak berhak tahu?"Winona tertawa kecil. “Kenapa kamu baru tanya? Apa baru sekarang ingat punya istri?”Persis di depan pintu kamar, Winona berbalik. “Jack, sejak kapan aku perlu ijin untuk keluar? Aku bukan tahanan, aku punya kaki sendiri dan bisa melangkah kemana pun aku mau."Jack berdiri, suaranya meninggi. "Jangan tantang aku, Winona! Atau …!”“Atau apa?” Winona memotong. Sorot matanya ta
“Tidak akan aku ijinkan!”Bahu David tegang, ia berjalan mondar-mandir lalu tiba-tiba menghentak meja dengan telapak tangan. Cangkir kopi di atasnya terguncang, hampir terguling.Ia baru mendapat pesan dari Rosa lewati Hans karena tidak bisa menghubungi dirinya.“Kalau dia memaksa, akan aku rebut anak-anak!” Suaranya rendah, nyaris bergetar. Matanya menyala penuh amarah. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan emosi yang hampir meledak lagi.“Tenang Tuan!” Hans yang sejak tadi hanya diam, berjalan mendekat. Suaranya pelan.David menoleh tajam, napasnya tersengal. “Tenang? Dia mau membawa anak-anakku pergi! Kau pikir aku bisa tenang mendengar itu?”Baru kali ini Hans melihat tuannya meluapkan emosi, ia sempat tertegun. Tepatnya terkejut. Ternyata di balik wajah dinginnya ada karakter yang tersimpan rapi.“Pakai strategi Tuan, jangan secara langsung. Seperti yang sering Tuan lakukan dalam bisnis.” Bujukan Hans sepertinya langsung mengenai sasaran.Tampak raut wajah David sudah mulai t