Share

Paman CEO itu Suamiku
Paman CEO itu Suamiku
Author: Elaina Dandelion

Menikah karena Perjodohan

"Hei, apa yang kamu lakukan pada kemeja mahalku, Gadis bodoh? Makanya punya mata itu dipakai, jangan disimpan di dengkul."

"M-maaf, Mas ... eh, Om. Aku tidak sengaja melakukannya!" ucap Alexa dengan penuh ketakutan. Ia merutuki kebodohannya yang berjalan kurang hati-hati sehingga jus yang tengah dipegangnya tumpah mengenai kemeja pria tersebut.

"Maaf? Kamu pikir hanya dengan kata maaf saja, kemejaku bisa kembali bersih, hah? Apalagi aku akan menghadiri meeting penting di sini! Aku tidak mau tahu, kamu harus mengganti rugi semua!"

"Hah, harus ganti rugi, Om? Sayangnya sekarang aku sedang tidak punya uang. Aku ngutang dulu, ya. Bye, Oom ganteng!" ucap Alexa seraya berlari menjauh dari sana. Hanya itu jalan satu-satunya untuk melepaskan diri. Kalau tidak, jatah uang jajannya akan habis untuk mengganti rugi jas kotor milik pria angkuh itu.

****

Alexa menatap pantulan wajah di cermin. Besok adalah hari di mana pernikahannya akan berlangsung. Menikah muda bukanlah impiannya, apalagi dengan lelaki yang sama sekali belum dikenal.

Jangankan untuk mengenal, bertatap muka saja ia tidak pernah. Baginya perjodohan ini terlalu cepat, karena impian untuk menjadi penulis terkenal masih jauh dari jangkauan.

Gadis itu mengembuskan napas kasar. Mengapa perjodohan ini harus terjadi di hidupnya? Di saat banyak impian dan cita-cita yang belum ia raih.

Alexa melangkah menuju meja kecil di samping tempat tidur. Menyalakan laptop, lalu membuka galeri yang ada di sana. Gadis itu tersenyum, kala melihat kota impian yang selama ini ingin ia kunjungi. Paris, menjadi kota satu-satunya yang ingin Alexa kunjungi. Kota yang terkenal sebagai kota yang paling romantis di dunia, berkat Menara Eiffel-nya.

Selain itu, tujuannya pergi ke sana untuk kuliah di Universitas Sorbonne, Paris. Alexa berkeinginan mengambil Jurusan Sastra, untuk memperdalam ilmu kepenulisan. Akan tetapi, semua impian itu kandas, saat sang papa menjodohkannya dengan seorang pengusaha yang usianya lebih tua lima belas tahun darinya.

Kedua orang tuanya tidak pernah setuju, jika ia menjadi seorang penulis. Bahkan, ia tidak diizinkan kuliah, jika hanya ingin mengambil jurusan sastra. Bagi mereka, menulis itu hanya membuang-buang waktu saja dan tidak akan pernah menghasilkan rupiah.

"Alexa, dari tadi pagi kamu belum makan, Sayang." Tiba-tiba sang mama masuk ke kamarnya.

"Tidak lapar, Ma."

"Apakah kamu masih marah, karena perjodohan itu?"

"Tidak, Ma!"

"Maafkan Mama tidak bisa bantu membujuk papamu, tetapi percayalah apa yang dilakukan papa, demi kebaikanmu juga!"

"Termasuk menikah dengan lelaki yang tidak Alexa kenal?"

"Tapi bibit, bebet, dan bobot lelaki itu jelas, Xa."

Alexa memejamkan mata sejenak, mencoba untuk meredam emosi yang bergejolak dalam dada. Ingin rasanya ia minggat dari rumah, tetapi takut dicap sebagai anak durhaka. Tak terbayang olehnya, jika hal itu sampai terjadi, mungkin kedua orang tuanya akan menanggung malu yang teramat besar, karena undangan pernikahan telah tersebar luas.

"Mama tenang saja, ya. Alexa sudah menyetujui perjodohan ini, jadi percayalah semua baik-baik saja!" ucap Alexa, seraya memaksakan untuk tetap tersenyum semanis mungkin di depan sang mama.

Tantri tersenyum, lalu pamit untuk kembali ke dapur, ia sedikit lega mendengar ucapan Alexa. Walaupun ia tahu, putri bungsunya itu tak pernah menyukai perjodohan ini. Hanya saja dari kecil, Alexa tidak pernah bisa menolak apa pun permintaan papanya. Entah takut atau memang tanda baktinya kepada orang tua. Ia selalu mengalah, tak pernah berani melawan apa pun perintahnya.

Sepeninggal sang mama, Alexa langsung membaringkan tubuhnya di kasur, seraya menatap langit-langit kamar. Perjalanan hidupnya tidaklah mudah. Ia tidak seberuntung gadis-gadis lain yang senantiasa diberikan kebebasan dan dukungan untuk mengejar cita-cita dan memilih pendamping hidup sendiri.

Namun, satu hal yang selama ini mampu membuatnya tetap tegar, apa yang terjadi dalam kehidupan ini bukan kehendak manusia, melainkan takdir dari Yang Maha Kuasa. Jadi, seberapa besar kita mengelak dan menjauh, kita tidak akan pernah bisa lari dari kenyataan. Begitu pun dengan Alexa, ia selalu mencoba untuk mengerti sang papa, tidak ada satu pun orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya ke lembah kehinaan, apa pun keputusannya itu sudah pasti yang terbaik untuk dirinya.

*****

Keesokan harinya, gaun pengantin cantik telah membalut indah tubuh Alexa. Ia duduk di depan cermin, seraya menunggu mamanya datang menjemput. Penampilannya pagi ini tak hanya cantik, tetapi juga sangat menarik. Alexa bak bidadari tak bersayap yang baru turun dari kahyangan.

Selama ini ia tidak pernah memakai bedak dan lipstik, kecantikan wajahnya natural. Tentu saja saat dipoles sedikit make up, penampilannya terlihat lebih sempurna dan bikin takjub siapa pun yang memandang.

"Ayo turun, Sayang. Ijab kabul sudah selesai, mempelai pria dan tamu undangan sudah menunggumu!"

"Bisa tidak, jika make up-nya dihapus sedikit? Ini ketebalan, Ma!"

"Tidak, kamu terlihat cantik dan anggun dengan dandanan seperti ini."

"Mama ...."

"Alexa, jangan mencari alasan lagi. Mereka sudah menunggu kita!"

"Tapi ...."

Tantri menggeleng, putri bungsunya itu tampak gugup dan tak percaya diri. Bukannya ia tidak mengerti dengan kegugupan yang dialami Alexa, hanya saja baginya itu adalah hal wajar yang akan dialami setiap pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan.

"Pejamkan mata, lalu yakinkan hati dan pikiranmu, kalau pilihan papamu itu pilihan yang terbaik."

Gadis itu menuruti ucapan sang mama. Memejamkan mata, lalu mulai menuruni tiap-tiap anak tangga dengan pikiran yang membuncah. Matanya hampir saja terlepas, saat bertatap wajah dengan lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya itu.

"Bagaimana? Tampan, 'kan? Papamu tidak salah memilih, suamimu tak kalah tampan dari Thaeyung dan juga Jungkook." Tantri mencoba menggoda putrinya.

Alexa akui, lelaki yang telah berstatus sebagai suaminya itu tampan, bahkan tak dipungkiri ketampanannya itu tak jauh berbeda dengan aktor-aktor Korea yang sering muncul di televisi. Namun, bukan alasan itu yang membuat gadis itu terkejut, melainkan karena pria yang berstatus suami Alexa tersebut mirip dengan orang yang pernah Alexa tumpahi jus di kafe.

Alexa masih ingat betul bagaimana murkanya lelaki itu, ketika tak sengaja menabrak hingga membuat jusnya tumpah mengenai kemeja putihnya. Beruntung, waktu itu berhasil kabur. Namun, Alexa merasa bahwa lelaki itu pasti masih mengingat kejadian tersebut.

"Kita bertemu lagi, Nona! Tentu saja kau masih mengingatku, 'kan!" bisik lelaki itu, seraya menatap tajam ke arahnya.

Deg!

Rasa gugup, kini berganti dengan perasaan takut yang membuncah. Walaupun senyum lelaki itu terus mengembang, tetapi dari sorot matanya jelas menunjukkan, kalau dirinya tengah dalam ancaman besar. Alexa bergidik ngeri, membayangkan dirinya bersama lelaki itu di dalam satu kamar yang sama.

"Tidaak ...!"

Semua tamu undangan menoleh pada Alexa, termasuk orang tua, mertua dan suaminya. Mereka merasa heran dengan pengantin wanita yang tiba-tiba berteriak seperti itu.

"Kenapa denganmu, Sayang? Apakah Alvano mengganggumu?" tanya mama mertuanya.

"Hm, itu tadi ada kecoa, Ma!" balas Lexa berbohong.

"Lexa, sama kecoa saja kok takut." Papanya ikut menimpali.

"Mungkin Lexa kelelahan. Saya akan mengantarnya beristirahat ke kamar. Ayo, Sayang!" ajak Alvano seraya tersenyum licik.

Mendengar panggilan sayang dari mulut Alvano membuat wajah Alexa memanas. Semburat merah menghiasi pipi, walaupun ia tahu bahwa panggilan itu bukan benar-benar tulus dari hatinya.

Kedua orang tua mereka tersenyum lega, saat melihat kedekatan Alexa dan Alvano. Ternyata tidak sulit membuat Alexa mau menerima Alvano, begitu pun sebaliknya. Mereka langsung bisa beradaptasi dengan baik sebagai suami-istri yang baru saja sah menikah.

Sesampainya di kamar, Alvano langsung mencengkeram erat lengan Alexa. Lelaki itu tersenyum licik. "Hari ini kau tidak akan bisa lepas lagi dariku, Nona Alexa. Kau tahu apa yang membuatku membencimu?"

Alexa menggeleng singkat. "Apa?"

"Tentu saja karena jus durianmu itu yang tumpah mengenai kemejaku! Meeting penting dengan beberapa relasi bisnis dari Paris gagal, dan satu hal yang harus kamu tahu, aku alergi dengan bau durian!"

Alexa mencoba menahan tawa, tetapi pada akhirnya tawa itu meledak juga, membuat Alvano semakin geram kepadanya.

"Apa yang lucu, huh?"

"Lelaki tampan sepertimu alergi bau durian, apakah aku tidak salah mendengar? Dengar, ya, waktu itu aku sudah meminta maaf padamu, jadi tidak seharusnya Om masih menyimpan dendam seperti itu kepadaku!"

"Shittt! OM? Memangnya aku sudah tua?"

Alexa mengangguk. "Tentu saja, Om sudah tua. Usia Om lima belas tahun lebih tua dariku. Seharusnya aku tidak menikah dengan Om-om tua sepertimu!"

"Apa kau bilang? Kau pikir, aku juga mau menikah dengan gadis bau kencur sepertimu? Tak hanya itu kau juga hobi menghalu, pekerjaan tak penting yang tidak akan pernah menghasilkan."

Alexa mendesis tak suka, lalu menatap tajam pada lelaki di depannya. Tak hanya dirinya yang dihina, tetapi hobi dan impiannya selama ini pun turut dihina juga.

"Om boleh menghina saya, tetapi saya tidak akan membiarkan siapa pun menghina impian yang selama ini ingin saya raih. Bukankah Om itu seorang yang terhormat, jadi bijaklah dalam berbicara. Mungkin bagi Om, menjadi seorang novelis itu hina, tetapi untukku itu adalah impian yang sangat berharga."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status