Pagi harinya, ketika Alexa baru saja keluar dari gerbang apartemen, ia dikejutkan dengan suara klakson mobil yang sudah setia menantinya di tepi jalan. Mobil hitam mengilap dengan plat nomor yang tidak asing. Dari balik kaca, tampak sosok lelaki berjas abu dan kacamata hitam tengah tersenyum tipis ke arahnya. Lelaki itu tak lain adalah Alvano. Rasanya saat itu juga, Alexa ingin menenggelamkan diri ke sungai Seine. “Om!” seru Alexa, matanya melebar. “Pagi, Nona manis,” sahut Alvano dengan nada datar tapi tajam. “Ayo naik. Aku antar ke kampus.” Alexa melongo. “Ngapain sih, Om? Aku bisa naik metro. Lagi pula, Om kan lagi sibuk? Jadi tidak usah repot-repot antar aku ke kampus." “Ya, walaupun sibuk, aku selalu ada waktu buat nganter istri sendiri. Sekalian biar semua orang tahu kamu itu sudah menikah." Nada terakhirnya terdengar menekan. Beberapa orang di sekitar mulai memperhatikan, terutama dua mahasiswi yang bisik-bisik sambil menatap Alvano dari ujung kepala sampai kaki. Alexa
Pintu apartemen terbuka perlahan. Alexa melangkah masuk, meletakkan tasnya asal. Banyak hal yang menguras pikirannya akhir-akhir ini. Ditambah lagi sekarang, Alvano memutuskan untuk satu apartemen dengannya. Itu semua membuat pikiran dan fokus Alexa menjadi kacau. Alexa terkejut, saat melihat Alvano duduk di sofa ruang tengah. Kedua lengannya menyilang, ekspresi wajahnya … penuh amarah. Alexa memutar ulang memorinya dari berangkat kuliah sampai tiba di rumah. Sepertinya dia tidak sedang melakukan kesalahan, tetapi kenapa wajah lelaki di hadapannya itu seperti monster yang siap melahapnya? "Akhirnya pulang juga, Nona. Sarapan yang romantis dan penuh tawa," sindir Alvano, suaranya dingin menusuk. Alexa menghela napas. “Om mulai lagi. Aku cuma—” Belum sempat menyelesaikan kalimat, Alvano melempar selembar foto ke atas meja. Foto cetak dari kamera pengintai. Alexa dan Dion tertawa bersama di kantin kampus. “Kamu
"Tidak bisa! Kita harus tetap tinggal dalam satu apartemen yang sama. Untuk apa kita menikah, kalau pada akhirnya harus pisah tempat tinggal."Alexa berdecak kesal. "Bukankah dari awal, Om yang bilang kalau pernikahan kita hanya sementara saja? Ayolah, Om. Jangan jadi plin-plan seperti ini. Aku lebih baik menjanda daripada harus terikat pernikahan karena keterpaksaan seperti ini!""Kamu tidak ingin terikat pernikahan karena keterpaksaan, kan? Kalau begitu, mari kita belajar saling mencintai satu sama lain. Agar pernikahan kita murni berdasarkan cinta. Gimana?""Wah, Om semakin gila! Tentu saja aku tidak mau. Gadis mana yang ingin menjalani pernikahan dengan Om-om tua sepertimu. Masa depanku masih panjang. Aku tidak ingin menyia-nyiakan masa mudaku.""Walaupun usia kita terpaut lima belas tahun, aku bisa menjamin kalau wajah kita seperti seumur. Tidak percaya? Coba saja bercermin. Malah yang ada, lebih muda aku dibandingkan dirimu. Jangan lupa, umur hanyalah angka. Tua di umur tidak ma
"Apa? Mas cemburu?" tanya Alexa seraya terkekeh. Wanita itu tak sedikit pun memercayai ucapan lelaki di sampingnya."Memangnya kenapa kalau aku cemburu? Aku berhak cemburu kok! Walau bagaimanapun, kamu itu istri sahku. Tidak ada satu lelaki pun yang boleh mendekati, apalagi sampai menyentuhmu. Camkan itu!" jawab Alvano tegas.Alexa mencabik kesal. "Ingat, ya, Mas Alvano. Pernikahan kita hanya di atas kertas putih. Kapan saatnya, Mas harus menceraikan aku.""Kalau aku tidak mau!""Ya, sesuai perjanjian yang Mas ucapkan dulu. Mas sendiri yang akan menggugat cerai aku. Ingat, lelaki itu yang dipegang omongannya. Jadi, kalau memang Mas tidak ingin di bilang pengecut, konsisten dong dengan apa yang sudah diucapkannya dulu."Alvano berdecak kesal. Ia sendiri belum mengerti dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya. Apakah rasa itu benar-benar ada di hatinya untuk sang istri? Jika benar, maka sampai kapanpun ia tak akan pernah melepaskan Alexa. Bila perlu, ia akan menanam benih di rahim wan
Setengah jam kemudian Alexa sudah siap berangkat ke kampus. Gadis itu keluar dari apartemen tanpa memedulikan Alvano yang sedari tadi setia menunggu di samping mobilnya.Alvano berdecak kesal. "Kamu tidak menganggap keberadaanku di sini!"Alexa hanya menoleh singkat, lalu melanjutkan kembali langkahnya menuju jalan utama. Sesekali gadis itu melirik arloginya. Waktu berputar dengan sangat cepat, tetapi belum ada satu taksi pun yang lewat di depannya."Ayo naik! Pagi ini aku yang akan mengantarmu ke kampus.""Tidak perlu! Aku bisa sendiri," jawab Alexa ketus."Bodoh! Hari ini tidak akan ada taksi yang lewat ke sini. Aku sudah membayar mereka!" ucap Alvano seraya tersenyum penuh kemenangan.Alexa mendelik tak percaya. Dia tidak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Alvano. Mentang-mentang dia orang kaya seenaknya saja membayar mereka untuk tidak menarik penumpang hari ini. Berapa orang yang hari ini akan kesiangan bekerja, sekolah, dan kuliah hanya karena tidak mendapatkan taksi? "
Alexa berjalan tergesa-gesa memasuki apartemen. Alasannya hanya satu, ingin segera merebahkan tubuhnya di ranjang. Beberapa tugas yang diberikan dosennya hari ini, cukup membuatnya kewalahan dan juga merasa lelah. Tanpa menyalakan sakelar lampu terlebih dulu, gadis itu langsung melangkah ke kamar mandi. Berendam di bathtub untuk membersihkan tubuh seraya merilekskan pikiran.Lima belas menit kemudian, Alexa baru keluar dari kamar mandi dan langsung memilih pakaian yang akan dipakainya. Gadis itu memilih kaos pendek dan celana di atas lutut. Pikirnya ia hanya seorang diri di sana, jadi lebih enak tidur dengan memakai pakaian berbahan tipis dan pendek.Tanpa Alexa sadari, ada seseorang yang sedari tadi memerhatikan gerak-geriknya. Bahkan matanya tak berkedip sedikit pun, saat melihat Alexa memakai pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya."Ganti pakaianmu!"Alexa terkejut, saat mendengar perintah dari seseorang untuk mengganti pakaiannya. Alexa baru sadar, dia tidak sendiri di kamar.