MasukSebastian tak ada hentinya tertawa ringan saat mengingat jawaban tak masuk akal di waktu mobil tadi.
Apa tadi katanya? Leon sangat mirip seperti dirinya waktu kecil? Jawaban macam apa itu?
Sangat lucu dan tidak … masuk akal.
Jika Alisha tahu bagaimana dirinya dulu, mungkin perempuan itu akan berekspresi ragu dan memandang dirinya aneh.
Sebastian merasa lucu, bukan karena jawabannya tadi, tapi karena sikapnya yang benar-benar tak ingin Alisha menganggapnya sebagai orang lain.
Keinginan terbesar ini akan dijadikan sebuah hadiah jika perempuan itu menyadarinya. Tapi … sampai kapan?
Sampai kapan Alisha akan tahu?
Dari dulu … dirinya tak pernah berani.
Dengan langkah pelan, Sebastian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meringankan segala pikiran yang berkecamuk entah sampai kapan. Beberapa menit berlalu, Sebastian keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambut basahnya meneteskan air dari sisa pancuran itu.
Sesaat, pikirannya melayang saat di mana dirinya berbincang berdua dengan kakaknya dulu.
Sebastian merasa ragu. Namun juga ada secuil harapan ketika Reygan mengatakannya. Harapan jika memang Alisha memiliki perasaan itu, Sebastian menganggapnya suatu kebahagiaan yang tak terbantahkan. Namun jika tidak … dirinya hanya bisa pasrah dan menerima segala sesuatu yang ada.
Bingung sekaligus resah di saat bersamaan. Kehadiran Alisha di rumah ini benar-benar menghancurkan tembok pertahanan yang selama ini ia bangun setinggi mungkin. Dulu, ia bahkan tidak pernah merasa memiliki harapan untuk merasakan cinta, namun sejak Alisha berada di rumah ini— semua pertahannya hancur.
Malam makin menggelap, Sebastian masih berkutat dengan beberapa berkas di hadapannya. Kecamata bening membingkai matanya yang tajam, seolah ingin melindungi retina kelam di balik cermin itu. Sebastian sesaat merasa pusing. Pekerjaan kali ini … begitu sulit dan sangat membuat kepalanya sakit. Ia mengeluh dan memijit pelipisnya.
Tok, tok.
Suara ketukan pintu memecah keheningan. Terdengar nyaring namun tidak menimbulkan kebisingan.
Sosok Haris masuk dengan langkah pelan, sorot lelahnya tersirat jelas di wajah yang sudah di penuhi beberapa kerutan itu. Haris duduk di sofa panjang tepat berada di sebelah meja kerja milik Sebastian.
“Masih belum selesai, Bas?”
Pria itu menggeleng. “Belum, Pa.” Jawab Sebastian sekenanya. “Kenapa Pa?”
Pria yang sudah hampir menua karena termakan usia itu, sesekali menghembuskan nafas lelah ketika fikirannya menerawang jauh. Entah apa yang di fikirkannya, Sebastian tahu itu. “Gak ada, Bas. Lagi pengen ngobrol bareng kamu aja.”
Ia tahu, dan menyadari itu. Sosok itu … sang Papa pasti sangat merindukan putra pertamanya, Reygan. Jika boleh mengatakan, ia juga sangat merindukan Kakaknya itu. Baru beberapa hari kan? Entah kenapa sangat lama baginya.
“Papa kangen sama Kakak kamu, Bas. Gimana kabarnya sekarang ya?”
“Pasti masuk surga. Bukannya begitu ya Pa?”
Tanpa sadar Haris tertawa pecah. Tawa yang mengandung kepedihan dan juga kehilangan.
“Kamu itu masih aja percaya sama hal yang begituan.”
“Kenapa enggak? Kak Reygan orang baik, sangat-sangat baik. Kenapa aku enggak bisa percaya hal itu? Aku percaya karena Kakak orangnya baik.”
“Tiga kali kamu nyebut Kakak kamu baik. Ya meskipun kenyataannya memang begitu. Tapi Bas … setiap kali Papa lihat Alisha sama Leon, entah kenapa Papa jadi merasa bersalah. Papa merasa jika Reygan sangat kejam karena berani ninggalin Alisha sama anaknya.”
Haris bermonolog pelan. Seolah tidak menyadari jika masih ada dirinya disini.
“Semua itu kehendak Tuhan. Kita bahkan gak tahu kapan giliran kita untuk menghadap padaNya. Kenapa Papa ngomong gitu seolah menyalahkan Tuhan atas kepergian Kak Rey?”
“Ya … gimana ya? Habisnya, Papa masih belum bisa ngelupain Kakak kamu begitu aja. Papa merasa kosong dan hampa, Bas. Kakak kamu aja bisa pergi ninggalin Papa sama Mama, bisa aja kamu selanjutnya kan?”
Sebastian tahu arah pembicaraan Papanya ini. Orang tua ini … bisa tidak sih untuk tak membicarakan hal buruk seperti ini? Lagipula … kematian sudah ada di tangan Tuhan, jika dirinya masih diberi kesempatan untuk menghirup udara
“Papa terlalu berfikiran negatif. Kenapa Papa gak mikirin gimana bahagiain Leon? Dia juga masih butuh kasih sayang seorang Ayah, daripada mikirin hal yang gak berguna.”
“Iya ya? Kok Papa gak kepikiran kesana ya?”
“Papa sempet mikir kalau misalnya Alisha nikah lagi … gimana ya Bas? Papa ngomong gini juga demi kebaikan Alisha. Dia juga butuh seorang suami kan?”
“Masih basah Pa.”
“Apanya yang masih basah Bas?”
Sebastian menoleh, dengan sorot datar tak terbantahkan. “Luka yang ada di hati Alisha … masih basah. Dia masih belum bisa menerima seseorang untuk mengisi hatinya yang sudah kosong. Butuh waktu yang lama untuk dirinya … bisa terbiasa dengan kekosongan itu. Jika luka itu sudah sembuh, mungkin waktunya bagi dia untuk mencari pengganti Kak Rey.”
Sebastian benar.
“Papa mau tidur ya, Bas? Inget, jangan terlalu begadang. Pekerjaan bisa di dikerjakan besok, masih ada waktu untuk itu. Dan juga … terima kasih karena kamu udah ngingetin Papa untuk gak bertindak gegabah terhadap Alisha.”
Yuuna mengompres kedua matanya dengan es batu yang sempat ia ambil didalam kulkas, saat ingin makan. Ternyata, efek dari perkataan itu sangat menguras seluruh energi dan juga batinnya. Siapa sangka, kedua matanya akan membengkak seperti ini layaknya disengat lebah? Maka dari itu Yuuna malu untuk turun, takut dianggap cengeng dan menyedihkan. Lagipula, ini tempat bukanlah rumahnya. Ia tidak ingin banyak tingkah dan memilih patuh. Saat melihat dicermin, kedua matanya tidak terlalu membengkak lagi. Tapi masih bisa dibilang masih meninggalkan jejak. Ketika es batu ditangannya mulai mencair, suara ketukan pintu mengejutkannya. Siapa lagi malam-malam begini yang mengetuk pintu kamarnya? Batin Yuuna. Tidak ingin membuatnya menunggu, Yuuna berdiri untuk membuka pintu. Sesaat tubuhnya terpaku dengan kedua mata sedikit dingin dan basah. Sosok didepan nya begitu menjulang tinggi seperti tiang listrik. “Abang?” Eh? Tanpa sadar Yuuna menutup mulutnya. Entah panggilannya yang terdengar salah,
Alisha mengetuk beberapa kali pintu kamar itu. Berharap sang pemilik membukanya dan turun untuk ikut makan malam. Tapi sepertinya, Yuuna tidak dengar atau mungkin … ada hal lain? Alisha berniat untuk masuk dan memeriksa. Saat pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, ternyata gadis itu meringkuk didalam selimut, mungkin sedang tidur. Ia melangkah pelan penuh kehati-hatian. Takut jika kedatangannya membangunkan gadis itu yang sedang terbuai kedalam mimpi. Saat Alisha sudah sampai di samping ranjang, hendak menyentuh kepala itu, suara Yuuna mengejutkannya. Sedikit serak dan bergetar. “Kakak, aku malam ini gak ikut makan malam.”“Loh, kenapa? Gak lapar?”Sebuah gelengan lemah membuatnya sedikit terkesiap. “Enggak. Cuma males aja mau makan. Kakak duluan aja, nanti kalau aku laper, aku turun makan.”Helaan nafas terdengar dan Alisha tidak memaksa. Jika itu kemauan Yuuna, ia pun tidak ingin bertindak lebih jauh lagi. Dari tadi pagi dirinya memang sudah berangkat untuk melihat keadaan toko.
Eh? Adik? Dia?Sontak dengan kepala ditengokan sedikit cepat, Reksa mulai mengamati gadis itu dari atas sampai bawah. Yuuna yang merasa diperhatikan, merasa risih dan canggung. “Lo bercanda?”“Enggak. Minggir,” Sebastian menyenggol bahu pria itu dan melewatinya. Masuk terlebih dahulu tanpa mempersilakan Reksa masuk. “Galak amat. Beberapa bulan gak ketemu, malah lihat cewek baru disini.” Reksa mengerling genit. Yuuna kaget lalu mendengus dan pergi begitu saja. Merasa tidak dihargai, Reksa melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Ivana sudah terlebih dahulu berada diruang tamu, menyambut kedatangan Sebastian dan juga Reksa. “Eh? Ada Nak Reksa. Baru dateng apa dari tadi?”“Baru aja nyampek dari Jepang.” Reksa menyalami wanita itu dan tersenyum ramah. Sebastian yang duduk di sofa, tampak melonggarkan dasinya. Dari arah pintu belakang, sosok bertubuh mungil berlari mendatangi Reksa. “Eh ada Leon? Wah … Om kangen berat nih.”“Om Reksa kangen Leon? Kalau kangen oleh-olehnya mana?”
Karena Yuuna masih belum masuk sekolah, ditambah hari ini adalah hari minggu, jadi jadi dirinya harus ikut menjaga Leon bermain di halaman belakang. Bersama dengan Ivana lebih tepatnya. Yuuna berdeham pelan, saat Ivana sampai dan meletakan secangkir teh hangat diatas meja. Mereka sedang bersantai sesekali memperhatikan sekecil bermain layang-layang yang Sebastian beli waktu perjalanan pulang ke rumah. “Terima kasih.” Yuuna berucap sopan. Ia teguk teh hangat itu sedikit, merasakan hawa panas yang menjalar dari mulut hingga kedalam tubuh. “Kamu pasti terkejut saat tahu Alisha membelamu.” Ivana tiba-tiba berucap. Perihal itu, memang dirinya sangat terkejut. Tapi tidak ada yang bisa ia katakan saat itu. “Alisha … perempuan baik yang pernah saya temui.” Perempuan … baik? Jika diingat-ingat, saat pertemuannya dimalam itu, dan bagaimana dia memperlakukannya layaknya seorang adik, Yuuna tidak akan menyangkal perkataan Ivana. “Dia menantu saya yang paling saya hargai. Saya mengh
Yuuna berdiri didepan cermin.Dengan rasa gugup yang menyerang, gadis itu menatap dirinya dari atas sampai bawah tanpa sedikitpun melewatinya. Hari ini dirinya hanya ikut sarapan pagi, tapi entah kenapa seolah sedang menunggu antrean untuk interogasi selanjutnya. Dengan keyakinan yang kuat, Yuuna mulai melangkahkan kakinya keluar. Menapaki lantai marmer berwarna putih, ia mendengar suara bising dari bawah. Terutama saat suara bocah itu meramaikan suasana di meja makan. Saat hendak turun, dirinya termangu tepat di ujung anak tangga. Dapat ia lihat betapa harmonisnya keluarga itu, dan dirinya masuk begitu saja sebagai perusak suasana. Yuuna merasa demikian. Namun, ketika dirinya hendak berbalik untuk menuju kamar, suara lembut yang menyapanya terlebih dahulu, memanggilnya.Yuuna terkesiap. “Yuuna?” Gadis itu tak jadi pergi. Dengan gerakan pelan ia memutar tubuh, dan melihat bahwa Alusha sedang melambaikan tangan kearahnya. Reflek Yuuna membalas lambaian itu. Tidak peduli jika ada tata
Karena kalimat sudah terlanjur diucapkan, dan keputusan sudah terlanjur dibuat, dirinya tidak akan mundur. Dengan tekad yang kuat, Alisha mengucapkan kata yang hampir seluruh penghuni rumah terperangah tak percaya. Apalagi saat melihat ekspresi terkejut Ivana disebelahnya, antara menyesal dan juga terkejut.Haris sudah pergi dan menuju kamar, diruang tamu itu hanya ada mereka berempat. Leon masih duduk anteng namun matanya bergerak seolah ingin tahu siapa gadis didepannya itu.“Sayang, kamu yakin?” Beberapa kali Sebastian bertanya dan mengucapkan kata “yakin” dari bibirnya takut jika keputusan sang istri salah dan hanya sebatas kasihan semata. “Aku yakin.” Gadis didepan nya itu masih membutuhkan sekolah dan pendidikan. Mungkin dia juga ingin mengejar mimpinya. Meskipun keluarganya hancur akibat ulah sang Ayah, dapat ia lihat jika tekad pada diri gadis itu sangatlah besar. “Aku gak mungkin salah sama keputusan dan penilaianku sendiri.”Sebastian nampak menghela nafas, mungkin juga sed







