Home / Romansa / Paman Untuk Ibuku / 5. Membicarakannya

Share

5. Membicarakannya

Author: Mee Author
last update Last Updated: 2025-09-05 23:30:10

Semua pasang mata melihat ke arah ruangan yang pintunya sengaja di buka lebar. Bosnya itu memang sengaja membukanya atau karena ada anak kecil di dalam sana?

Leon sedang asyik bermain dengan mainan yang sempat Sebastian belikan beberapa menit yang lalu. Mulai sekarang Leon mungkin akan ia bawa setiap hari, daripada diam di rumah, lebih baik bocah itu dia bawa ke kantornya. Yang penting anak itu anteng dan tidak berbuat apa-apa.

Supaya Alisha juga datang kesini menjemput langsung putranya.

Ruangan itu sudah di penuhi oleh mainan anak-anak. Tapi Leon bukanlah tipikal anak yang begitu susah di atur saat bermain. Lihatlah sekarang, jika dia sudah mulai bosan dengan mainan yang satunya, maka dia dengan telaten mengembalikan mainan itu ke tempat asalnya lalu mengambil mainan yang satunya lagi.

Leon adalah anak yang pintar. Dan Alisha berhasil mendidiknya.

“Om, Bunda kok gak ada nanyain Leon?”

Sebastian sudah selesai dengan pekerjaannya. Pria itu menaruh kaca mata bening nya dan menatap ke arah sang keponakan.

“Kenapa? Leon kangen Bunda?” Leon mengangguk tanpa ragu. Namun matanya masih setia pada mainan yang dia pegang. “Mau telfon Bunda sekarang atau nunggu Bunda dateng kesini?”

“Emangnya Bunda mau kesini, Om?”

“Iya.” Jawabnya tanpa ragu. Tapi Sebastian tahu jika sebentar lagi Alisha akan datang, untuk menjemput putranya.

“Mm, ya udah. Leon nunggu Bunda dateng aja.”

“Oke.” Sebastian tersenyum senang. Merasa puas karena hari ini keberuntungan selalu ada di pihaknya. Dia melihat arloji di tengah kirinya, sudah hampir pukul 5 sore. Seharusnya Alisha sudah datang ke sini. Sebastian menodongkan resepsionis Karena ingin mengatakan sesuatu. “Nanti, kalau ada istri saya datang dan nanya saya, langsung saja suruh kesini, mengerti?”

Setelah memberikan instruksi, ia memutuskan sambungan.

Di lain tempat, para karyawan saling berbisik untuk melontarkan argumen mereka sendiri.

“Itu beneran anaknya Pak Sebastian kan? Tapi kapan nikahnya? Kok gue rada gak percaya ya kalo Pak Sebastian udah nikah?”

“Bukannya tadi Pak Sebastian udah konfirmasi, kalo bocah itu anaknya? Ya mungkin nikahnya di sembunyi’in, gak mau ada yang tahu.”

“Oh … gitu ya,” Ujar karyawan satunya dengan kepala sedikit mengangguk. “Waktu nikahannya Pak Reygan juga gitu kan? Tiba-tiba aja udah ngasi kabar kalo dia udah nikah dan punya anak. Gilaaa, kita karyawannya gak ada yang tahu. Bajaj sampai sekarang istri sama anaknya gak di ekspos di publik. Gue penasaran.”

“Kayaknya … Keluarga Alexander ini memang misterius ya? Perihal menantu sama cucunya aja gak mau orang lihat. Tapi untungnya Pak Sebastian mau sih bawa anaknya kesini. Bisa aja nanti istrinya dateng kan?”

Mereka tiada hentinya saling berbisik. Berbanding balik dengan Sebastian yang masih setia melihat Leon tengah bermain, seolah kebisingan yang telah ia perbuat tidak ada pentingnya sama sekali. Waktu terus berlalu, seharusnya Alisha sudah ada disini kan?

“Gilaaaa, itu siapa?! Apa mungkin istrinya Pak Sebastian?!”

Sebastian langsung berdiri, gugup. Namun ia tetap mempertahankan punggung tegapnya supaya terlihat menawan di depan perempuan itu. Sebastian sedikit berlari guna menghampiri seseorang yang sempat membuat kehebohan itu. Saat kakinya sudah berada di ujung pintu, wajah terkejut itu membuat bibirnya berubah segaris, tanpa perempuan itu ketahui.

Mereka yang melihat semakin histeris. Ada yang berbisik tentang pernikahan Sebastian, ada juga yang mengatakan bahwa pria itu mungkin sedang menyembunyikan selingkuhannya.

Alisha berhenti sejenak. Memandangi punggung kecil itu di balik tubuh besar Sebastian.

“Aku mau bawa Leon pulang,” Alisha gugup, entah kenapa. Sejak mendengar kalimat yang beberapa menit lalu sempat membuatnya bingung, ia jadi tidak mau melihat secara gamblang wajah pria itu.

“Mau pulang bareng?” Bukan jawaban, melainkan tawaran yang dia ucapkan untuk dirinya. Alisha terdiam sejenak, memikirkan kebaikan itu lagi dari pria dihadapannya. Jika menolak pun percuma. Melihat sifat Sebastian yang tidak mau di tolak, Alisha menyerah dengan egonya sendiri.

“Kamu udah beres?” Sebastian mengangguk, meyakinkan. “Aku tunggu disini.”

Sebastian kembali masuk untuk merapikan beberapa dokumen yang sempat berserakan. Alisha memberanikan diri masuk untuk menghampiri putranya.

“Leon, ayo pulang.”

“Bunda?” Bocah itu melemparkan tubuhnya ke dalam dekapan Alisha. Menelungkupkan kepalanya di leher sang Bunda lalu berbisik lirih. Membuat Alisha sedikit menghangat, nyaman.

“Bunda, besok boleh kalo Leon dateng kesini lagi? Disini enak banyak mainan. Om Bas beliin Leon banyak Mainan.”

Alisha tersenyum. Ia tidak tega untuk menolak. Matanya beralih menatap beberapa mainan yang berserakan. Sebastian ini … baik sekali. Beruntung karena Leon mempunyai Om sebaik dia.

Alisha mengangguk, setuju. “Boleh. Asal Leon gak nakal dan nurut, Bunda bolehin.”

“Makasih, Bundaa!” Seru bocah itu. Alisha berdiri tepat saat Sebastian sudah beres dengan semuanya. Tanpa aba-aba pria itu menggendong tubuh mungil Leon di pelukannya. Alisha tidak bisa menolak, namun dirinya sedikit berterima kasih karena Sebastian terlihat bahagia melakukannya.

“Makasih ya, Tian.”

“Hm.” Seperti biasa dia menjawab sekenanya. Seolah enggan untuk menjelaskan.

“Pak, tolong rapikan mainannya Leon, letakkan kembali ke tempat semula, mengerti?”

“Baik, Pak.”

Sebastian pergi di ikuti oleh Alisha di belakang. Alisha berusaha mengabaikan beberapa orang yang berbisik tentang dirinya dan juga … pria itu? Entah apa yang terjadi, Alisha merasa jika kehebohan di kantor tadi, pasti ada sangkut pautnya dengan dirinya.

Mereka sudah sampai di dalam mobil, kali ini Leon ia ambil supaya tidak mengganggu Sebastian saat menyetir. Sedari tadi ia penasaran dengan sesuatu. Ingin bertanya tapi dirinya tidak enak. Tapi jika tidak begitu, dirinya akan penasaran.

“Tian, kamu tadi bilang waktu di telepon, kalo Leon mirip kamu. Itu maksudnya apa?”

Tubuh pria itu sedikit tersentak, seolah perkataan itu bisa saja menghancurkan tembok pertahanannya.

“Kamu memangnya gak tahu, kalo kecilnya Leon … mirip sekali saat aku waktu kecil dulu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Paman Untuk Ibuku   11. Mereka Kenapa?

    Kedua alisnya kian mengkerut dalam saat mendapati putranya pulang dengan wajah tertekuk masam. Ada apa? Kenapa putranya seperti sedih? Di belakangnya sosok Sebastian baru turun dari dalam mobil. Biasanya … ketika mereka berdua pulang dari kantor, Alisha selalu melihat putranya itu riang gembira, melepas tawa lalu bercerita bagaimana dirinya begitu senang berada di kantor. Namun kali ini … hm, seperti ada yang salah. Lihatlah, saat Leon sudah ada di depannya, bocah itu diam dan tidak semangat seperti biasa. Alisha berjongkok, menyamai tinggi putranya. Sembari mengelus surai legam yang mirip seperti suaminya. “Kenapa? Kok tumben Leon diem?” Alisha berusaha untuk bertanya. Pandangannya beralih tepat di mana Sebastian berada, saat Leon mencuri pandang, namun dengan wajah sedikit … ketakutan. Alisha mulai was-was. Ekspresi Leon saat ini menggambarkan bahwa bocah ini sepertinya telah melakukan kesalahan entah apa itu. Karena ketika Sebastian ingin menyerahkan tas milik Leon, pria itu malah

  • Paman Untuk Ibuku   10. Cemburu

    Ini tidak bisa di biarkan. Beberapa kali bibirnya bergumam kasar bahkan sampai mengumpat pelan karena Leon berada di ruangannya. Ia berusaha untuk tidak bersuara takut jika keponakannya akan terdengar lalu menirunya. Jika Leon mendengar lalu balik mengucapkan apa yang ia katakan, Mau di taruh mana wajah tampannya ini ketika berhadapan dengan Alisha nanti? Ia tidak mau di cap sebagai Paman yang tidak bisa di andalkan. Tidak mau! Berkas di depannya juga memang kurang ajar. Sedari tadi dirinya memilah namun tidak ada yang cocok dan kurang pas. Alhasil Sebastian memanggil Hendi dan menyuruh pria itu untuk memperbaiki ulang. Entah kenapa dirinya menjadi berubah lelet seperti ini. Apa karena beberapa jam yang lalu ia melihat Alisha bersama Reksa? Meskipun hanya kawan lama, tapi dirinya merasa tidak tahan dan tidak nyaman. Ada perasaan kesal dan aneh di hatinya saat ini. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Gue gak bisa gini terus. Apa gue harus tanya langsung sama Alisha? Kalau tanya lan

  • Paman Untuk Ibuku   9. Dia … Reksa

    Di sepanjang perjalanan, yakni di dalam mobil, bocah itu—Leon tak ada hentinya mengoceh tentang mainannya dan kebersamaannya dengan sang Bunda. Bagaimana dia menjahilinya, bahkan pura-pura menangis supaya Bundanya mau membelikannya es krim. Sebastian yakin jika Alisha sudah cukup kewalahan menghadapi putranya yang teramat nakal namun baik itu. Namun sekarang pembahasannya sedikit berbeda. Tiba-tiba saja Leon membahas tentang Sekolah. Keinginannya untuk segera bersekolah sudah mendarah daging sejak beberapa bulan yang lalu. Umurnya masih 3, mungkin satu tahun lagi Leon akan di sekolahkan oleh Alisha. “Om, nanti kalo Leon udah sekolah, berangkatnya bareng ya Om, Bas? Biar Bunda gak capek nganterin Leon.” Timpal Leon dengan suara lucunya. Sebastian bergumam sebagai tanggapan untuk bocah itu. Begitu senang sekali keponakannya ini? “Terus nanti yang jemput juga Om Bas boleh gak?” “Boleh kalo Om ada waktu. Kalo gak ada Om gak bisa jemput.” Memang itulah kenyataannya. Tapi sebisa mungki

  • Paman Untuk Ibuku   8. Pria Lain

    Sebastian sedang berada di dalam kamarnya. Setelah acara makan malam bersama, pria itu memutuskan untuk kembali ke atas karena masih ada beberapa berkas yang belum terselesaikan. Kedua matanya bergerak liar seiring jemarinya menari di atas keyboard. Kacamata bening ya menjadi pelindung bagi retinanya ketika sinar cahaya dari laptop mengarah ke arahnya. Suara ketukan pintu terdengar pelan—seperti menyiratkan keraguan dari balik benda panjang berwarna cokelat itu. Kepala Sebastian enggan berpaling namun pendengarannya masih berguna untuk mendengar siapa pelaku dari ketukan itu. “Om, Bas … boleh Leon masuk?” Lah? Bocah itu?Gerakan ketikannya terhenti. Sebastian menutup separuh laptop itu setelah sosok kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah polosnya. Nampak sebuah boneka berbentuk singa yang menjadi teman tidurnya pun tak lupa dia bawa. Kenapa keponakannya datang ke kamarnya? Leon berjalan pelan dan menutup pintu saat Sebastian menyuruhnya. Setelah berada di dekatnya, Leon bertany

  • Paman Untuk Ibuku   7. Bertemu Kawan Lama

    Sudah 3 bulan Alisha berada di rumah sang mertua, kali ini dirinya sudah terbiasa dengan mereka—terkecuali pria itu, Sebastian. Setiap kali bertemu pandang, terkadang dirinya yang harus menyapanya terlebih dahulu. Jika tidak, Sebastian hanya menatap lalu melenggang pergi. Itupun kalau dia sadar diri dan langsung menyapanya balik.Namun Alisha tidak mengambil pusing hal itu. Bisa di terima di keluarga ini saja, sudah membuatnya bahagia dan merasa nyaman. Apalagi Ivana—mertuanya itu kerap kali mengajaknya berbincang seperti biasa. Kepribadiannya yang sangat ramah dan mudah bergaul, menunjukkan jika sifat Reygan memang menurun dari wanita itu. Seperti sekarang ini, Alisha tiba-tiba saja mengajaknya untuk belanja kebutuhan rumah. Karena Leon memaksa untuk ikut, mereka harus membeli mainan untuk bocah itu. Padahal sebelumnya, Ivana selalu menyuruh pembantu untuk pergi ke supermarket bersama sopir, tapi entah kenapa dia mengajaknya. Setelah di tanya alasannya kenapa, katanya ingin keluar

  • Paman Untuk Ibuku   6. Merasa Kehilangan

    Sebastian tak ada hentinya tertawa ringan saat mengingat jawaban tak masuk akal di waktu mobil tadi.Apa tadi katanya? Leon sangat mirip seperti dirinya waktu kecil? Jawaban macam apa itu?Sangat lucu dan tidak … masuk akal. Jika Alisha tahu bagaimana dirinya dulu, mungkin perempuan itu akan berekspresi ragu dan memandang dirinya aneh. Sebastian merasa lucu, bukan karena jawabannya tadi, tapi karena sikapnya yang benar-benar tak ingin Alisha menganggapnya sebagai orang lain. Keinginan terbesar ini akan dijadikan sebuah hadiah jika perempuan itu menyadarinya. Tapi … sampai kapan? Sampai kapan Alisha akan tahu?Dari dulu … dirinya tak pernah berani.Dengan langkah pelan, Sebastian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meringankan segala pikiran yang berkecamuk entah sampai kapan. Beberapa menit berlalu, Sebastian keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambut basahnya meneteskan air dari sisa pancuran itu. Sesaat, pikirannya melayang saat di mana dirinya ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status