MasukSemua pasang mata melihat ke arah ruangan yang pintunya sengaja di buka lebar. Bosnya itu memang sengaja membukanya atau karena ada anak kecil di dalam sana?
Leon sedang asyik bermain dengan mainan yang sempat Sebastian belikan beberapa menit yang lalu. Mulai sekarang Leon mungkin akan ia bawa setiap hari, daripada diam di rumah, lebih baik bocah itu dia bawa ke kantornya. Yang penting anak itu anteng dan tidak berbuat apa-apa. Supaya Alisha juga datang kesini menjemput langsung putranya. Ruangan itu sudah di penuhi oleh mainan anak-anak. Tapi Leon bukanlah tipikal anak yang begitu susah di atur saat bermain. Lihatlah sekarang, jika dia sudah mulai bosan dengan mainan yang satunya, maka dia dengan telaten mengembalikan mainan itu ke tempat asalnya lalu mengambil mainan yang satunya lagi. Leon adalah anak yang pintar. Dan Alisha berhasil mendidiknya. “Om, Bunda kok gak ada nanyain Leon?” Sebastian sudah selesai dengan pekerjaannya. Pria itu menaruh kaca mata bening nya dan menatap ke arah sang keponakan. “Kenapa? Leon kangen Bunda?” Leon mengangguk tanpa ragu. Namun matanya masih setia pada mainan yang dia pegang. “Mau telfon Bunda sekarang atau nunggu Bunda dateng kesini?” “Emangnya Bunda mau kesini, Om?” “Iya.” Jawabnya tanpa ragu. Tapi Sebastian tahu jika sebentar lagi Alisha akan datang, untuk menjemput putranya. “Mm, ya udah. Leon nunggu Bunda dateng aja.” “Oke.” Sebastian tersenyum senang. Merasa puas karena hari ini keberuntungan selalu ada di pihaknya. Dia melihat arloji di tengah kirinya, sudah hampir pukul 5 sore. Seharusnya Alisha sudah datang ke sini. Sebastian menodongkan resepsionis Karena ingin mengatakan sesuatu. “Nanti, kalau ada istri saya datang dan nanya saya, langsung saja suruh kesini, mengerti?” Setelah memberikan instruksi, ia memutuskan sambungan. Di lain tempat, para karyawan saling berbisik untuk melontarkan argumen mereka sendiri. “Itu beneran anaknya Pak Sebastian kan? Tapi kapan nikahnya? Kok gue rada gak percaya ya kalo Pak Sebastian udah nikah?” “Bukannya tadi Pak Sebastian udah konfirmasi, kalo bocah itu anaknya? Ya mungkin nikahnya di sembunyi’in, gak mau ada yang tahu.” “Oh … gitu ya,” Ujar karyawan satunya dengan kepala sedikit mengangguk. “Waktu nikahannya Pak Reygan juga gitu kan? Tiba-tiba aja udah ngasi kabar kalo dia udah nikah dan punya anak. Gilaaa, kita karyawannya gak ada yang tahu. Bajaj sampai sekarang istri sama anaknya gak di ekspos di publik. Gue penasaran.” “Kayaknya … Keluarga Alexander ini memang misterius ya? Perihal menantu sama cucunya aja gak mau orang lihat. Tapi untungnya Pak Sebastian mau sih bawa anaknya kesini. Bisa aja nanti istrinya dateng kan?” Mereka tiada hentinya saling berbisik. Berbanding balik dengan Sebastian yang masih setia melihat Leon tengah bermain, seolah kebisingan yang telah ia perbuat tidak ada pentingnya sama sekali. Waktu terus berlalu, seharusnya Alisha sudah ada disini kan? “Gilaaaa, itu siapa?! Apa mungkin istrinya Pak Sebastian?!” Sebastian langsung berdiri, gugup. Namun ia tetap mempertahankan punggung tegapnya supaya terlihat menawan di depan perempuan itu. Sebastian sedikit berlari guna menghampiri seseorang yang sempat membuat kehebohan itu. Saat kakinya sudah berada di ujung pintu, wajah terkejut itu membuat bibirnya berubah segaris, tanpa perempuan itu ketahui. Mereka yang melihat semakin histeris. Ada yang berbisik tentang pernikahan Sebastian, ada juga yang mengatakan bahwa pria itu mungkin sedang menyembunyikan selingkuhannya. Alisha berhenti sejenak. Memandangi punggung kecil itu di balik tubuh besar Sebastian. “Aku mau bawa Leon pulang,” Alisha gugup, entah kenapa. Sejak mendengar kalimat yang beberapa menit lalu sempat membuatnya bingung, ia jadi tidak mau melihat secara gamblang wajah pria itu. “Mau pulang bareng?” Bukan jawaban, melainkan tawaran yang dia ucapkan untuk dirinya. Alisha terdiam sejenak, memikirkan kebaikan itu lagi dari pria dihadapannya. Jika menolak pun percuma. Melihat sifat Sebastian yang tidak mau di tolak, Alisha menyerah dengan egonya sendiri. “Kamu udah beres?” Sebastian mengangguk, meyakinkan. “Aku tunggu disini.” Sebastian kembali masuk untuk merapikan beberapa dokumen yang sempat berserakan. Alisha memberanikan diri masuk untuk menghampiri putranya. “Leon, ayo pulang.” “Bunda?” Bocah itu melemparkan tubuhnya ke dalam dekapan Alisha. Menelungkupkan kepalanya di leher sang Bunda lalu berbisik lirih. Membuat Alisha sedikit menghangat, nyaman. “Bunda, besok boleh kalo Leon dateng kesini lagi? Disini enak banyak mainan. Om Bas beliin Leon banyak Mainan.” Alisha tersenyum. Ia tidak tega untuk menolak. Matanya beralih menatap beberapa mainan yang berserakan. Sebastian ini … baik sekali. Beruntung karena Leon mempunyai Om sebaik dia. Alisha mengangguk, setuju. “Boleh. Asal Leon gak nakal dan nurut, Bunda bolehin.” “Makasih, Bundaa!” Seru bocah itu. Alisha berdiri tepat saat Sebastian sudah beres dengan semuanya. Tanpa aba-aba pria itu menggendong tubuh mungil Leon di pelukannya. Alisha tidak bisa menolak, namun dirinya sedikit berterima kasih karena Sebastian terlihat bahagia melakukannya. “Makasih ya, Tian.” “Hm.” Seperti biasa dia menjawab sekenanya. Seolah enggan untuk menjelaskan. “Pak, tolong rapikan mainannya Leon, letakkan kembali ke tempat semula, mengerti?” “Baik, Pak.” Sebastian pergi di ikuti oleh Alisha di belakang. Alisha berusaha mengabaikan beberapa orang yang berbisik tentang dirinya dan juga … pria itu? Entah apa yang terjadi, Alisha merasa jika kehebohan di kantor tadi, pasti ada sangkut pautnya dengan dirinya. Mereka sudah sampai di dalam mobil, kali ini Leon ia ambil supaya tidak mengganggu Sebastian saat menyetir. Sedari tadi ia penasaran dengan sesuatu. Ingin bertanya tapi dirinya tidak enak. Tapi jika tidak begitu, dirinya akan penasaran. “Tian, kamu tadi bilang waktu di telepon, kalo Leon mirip kamu. Itu maksudnya apa?” Tubuh pria itu sedikit tersentak, seolah perkataan itu bisa saja menghancurkan tembok pertahanannya. “Kamu memangnya gak tahu, kalo kecilnya Leon … mirip sekali saat aku waktu kecil dulu.”Yuuna mengompres kedua matanya dengan es batu yang sempat ia ambil didalam kulkas, saat ingin makan. Ternyata, efek dari perkataan itu sangat menguras seluruh energi dan juga batinnya. Siapa sangka, kedua matanya akan membengkak seperti ini layaknya disengat lebah? Maka dari itu Yuuna malu untuk turun, takut dianggap cengeng dan menyedihkan. Lagipula, ini tempat bukanlah rumahnya. Ia tidak ingin banyak tingkah dan memilih patuh. Saat melihat dicermin, kedua matanya tidak terlalu membengkak lagi. Tapi masih bisa dibilang masih meninggalkan jejak. Ketika es batu ditangannya mulai mencair, suara ketukan pintu mengejutkannya. Siapa lagi malam-malam begini yang mengetuk pintu kamarnya? Batin Yuuna. Tidak ingin membuatnya menunggu, Yuuna berdiri untuk membuka pintu. Sesaat tubuhnya terpaku dengan kedua mata sedikit dingin dan basah. Sosok didepan nya begitu menjulang tinggi seperti tiang listrik. “Abang?” Eh? Tanpa sadar Yuuna menutup mulutnya. Entah panggilannya yang terdengar salah,
Alisha mengetuk beberapa kali pintu kamar itu. Berharap sang pemilik membukanya dan turun untuk ikut makan malam. Tapi sepertinya, Yuuna tidak dengar atau mungkin … ada hal lain? Alisha berniat untuk masuk dan memeriksa. Saat pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, ternyata gadis itu meringkuk didalam selimut, mungkin sedang tidur. Ia melangkah pelan penuh kehati-hatian. Takut jika kedatangannya membangunkan gadis itu yang sedang terbuai kedalam mimpi. Saat Alisha sudah sampai di samping ranjang, hendak menyentuh kepala itu, suara Yuuna mengejutkannya. Sedikit serak dan bergetar. “Kakak, aku malam ini gak ikut makan malam.”“Loh, kenapa? Gak lapar?”Sebuah gelengan lemah membuatnya sedikit terkesiap. “Enggak. Cuma males aja mau makan. Kakak duluan aja, nanti kalau aku laper, aku turun makan.”Helaan nafas terdengar dan Alisha tidak memaksa. Jika itu kemauan Yuuna, ia pun tidak ingin bertindak lebih jauh lagi. Dari tadi pagi dirinya memang sudah berangkat untuk melihat keadaan toko.
Eh? Adik? Dia?Sontak dengan kepala ditengokan sedikit cepat, Reksa mulai mengamati gadis itu dari atas sampai bawah. Yuuna yang merasa diperhatikan, merasa risih dan canggung. “Lo bercanda?”“Enggak. Minggir,” Sebastian menyenggol bahu pria itu dan melewatinya. Masuk terlebih dahulu tanpa mempersilakan Reksa masuk. “Galak amat. Beberapa bulan gak ketemu, malah lihat cewek baru disini.” Reksa mengerling genit. Yuuna kaget lalu mendengus dan pergi begitu saja. Merasa tidak dihargai, Reksa melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Ivana sudah terlebih dahulu berada diruang tamu, menyambut kedatangan Sebastian dan juga Reksa. “Eh? Ada Nak Reksa. Baru dateng apa dari tadi?”“Baru aja nyampek dari Jepang.” Reksa menyalami wanita itu dan tersenyum ramah. Sebastian yang duduk di sofa, tampak melonggarkan dasinya. Dari arah pintu belakang, sosok bertubuh mungil berlari mendatangi Reksa. “Eh ada Leon? Wah … Om kangen berat nih.”“Om Reksa kangen Leon? Kalau kangen oleh-olehnya mana?”
Karena Yuuna masih belum masuk sekolah, ditambah hari ini adalah hari minggu, jadi jadi dirinya harus ikut menjaga Leon bermain di halaman belakang. Bersama dengan Ivana lebih tepatnya. Yuuna berdeham pelan, saat Ivana sampai dan meletakan secangkir teh hangat diatas meja. Mereka sedang bersantai sesekali memperhatikan sekecil bermain layang-layang yang Sebastian beli waktu perjalanan pulang ke rumah. “Terima kasih.” Yuuna berucap sopan. Ia teguk teh hangat itu sedikit, merasakan hawa panas yang menjalar dari mulut hingga kedalam tubuh. “Kamu pasti terkejut saat tahu Alisha membelamu.” Ivana tiba-tiba berucap. Perihal itu, memang dirinya sangat terkejut. Tapi tidak ada yang bisa ia katakan saat itu. “Alisha … perempuan baik yang pernah saya temui.” Perempuan … baik? Jika diingat-ingat, saat pertemuannya dimalam itu, dan bagaimana dia memperlakukannya layaknya seorang adik, Yuuna tidak akan menyangkal perkataan Ivana. “Dia menantu saya yang paling saya hargai. Saya mengh
Yuuna berdiri didepan cermin.Dengan rasa gugup yang menyerang, gadis itu menatap dirinya dari atas sampai bawah tanpa sedikitpun melewatinya. Hari ini dirinya hanya ikut sarapan pagi, tapi entah kenapa seolah sedang menunggu antrean untuk interogasi selanjutnya. Dengan keyakinan yang kuat, Yuuna mulai melangkahkan kakinya keluar. Menapaki lantai marmer berwarna putih, ia mendengar suara bising dari bawah. Terutama saat suara bocah itu meramaikan suasana di meja makan. Saat hendak turun, dirinya termangu tepat di ujung anak tangga. Dapat ia lihat betapa harmonisnya keluarga itu, dan dirinya masuk begitu saja sebagai perusak suasana. Yuuna merasa demikian. Namun, ketika dirinya hendak berbalik untuk menuju kamar, suara lembut yang menyapanya terlebih dahulu, memanggilnya.Yuuna terkesiap. “Yuuna?” Gadis itu tak jadi pergi. Dengan gerakan pelan ia memutar tubuh, dan melihat bahwa Alusha sedang melambaikan tangan kearahnya. Reflek Yuuna membalas lambaian itu. Tidak peduli jika ada tata
Karena kalimat sudah terlanjur diucapkan, dan keputusan sudah terlanjur dibuat, dirinya tidak akan mundur. Dengan tekad yang kuat, Alisha mengucapkan kata yang hampir seluruh penghuni rumah terperangah tak percaya. Apalagi saat melihat ekspresi terkejut Ivana disebelahnya, antara menyesal dan juga terkejut.Haris sudah pergi dan menuju kamar, diruang tamu itu hanya ada mereka berempat. Leon masih duduk anteng namun matanya bergerak seolah ingin tahu siapa gadis didepannya itu.“Sayang, kamu yakin?” Beberapa kali Sebastian bertanya dan mengucapkan kata “yakin” dari bibirnya takut jika keputusan sang istri salah dan hanya sebatas kasihan semata. “Aku yakin.” Gadis didepan nya itu masih membutuhkan sekolah dan pendidikan. Mungkin dia juga ingin mengejar mimpinya. Meskipun keluarganya hancur akibat ulah sang Ayah, dapat ia lihat jika tekad pada diri gadis itu sangatlah besar. “Aku gak mungkin salah sama keputusan dan penilaianku sendiri.”Sebastian nampak menghela nafas, mungkin juga sed







