Home / Romansa / Pamer Suami / 4. Sejak Kapan Kamu Punya Pacar?

Share

4. Sejak Kapan Kamu Punya Pacar?

Author: Ika Armeini
last update Last Updated: 2022-03-04 09:20:17

Ralin baru saja selesai dari makan siangnya dan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Saat Ralin sedang fokus, gawainya berbunyi menandakan panggilan telepon masuk, ternyata telepon dari mamanya.

Ralin menghela napasnya sejenak, bersiap-siap mendapati khotbah dari si mama.

"Ya, Ma? Ralin masih di kantor," ucap Ralin saat menjawab panggilan telepon.

"Udah tahu kalau kamu lagi di kantor, yang Mama nggak tahu itu sejak kapan kamu punya pacar?" tanya Arini pada putrinya secara langsung.

Ralin menepuk dahinya, ia sendiri belum bilang ke orang tuanya kalau sudah memiliki kekasih, sementara semalam ia telah mengunggah foto ciuman pipi bersama Juan. Pasti mamanya telah melihat sendiri unggahan foto tersebut.

"Itu cincin berlian, kamu beneran diberi sama pacar baru kamu?" Lagi Ralin mendapatkan pertanyaan yang jelas pertanyaan dari mamanya ini muncul karena unggahan foto Ralin di I*******m.

"I-iya, Ma!" jawab Ralin sedikit ragu.

"Wah, akhirnya ... besok ajak ke rumah, ya? Mama sama papa pengen ketemu sama pacar baru kamu," ucap Arini dengan semangat.

"Oke, Ma, nanti Ralin beri tahu Juan. Umm ... udah dulu ya, takut dilihat sama Pak Carlos kalau Ralin lagi telponan," ucap Ralin sedikit berbisik, antisipasi kalau bosnya lewat.

"Oke, jangan lupa makan dan istirahat yang cukup! Jangan terlalu memforsir diri, ya? Jangan lupa juga transfer uangnya, Mama belum bayar arisan."

Ralin memutar bola matanya, pesan si mama selalu berujung dengan 'jangan lupa transferan' ini lah yang membuat Ralin harus bekerja keras, kadang memforsir diri tanpa kenal waktu. Bagaimana sempat mencari kekasih kalau waktunya ia habiskan untuk bekerja dan mengabdi untuk Carlos Company.

"Iya nanti Ralin transfer! Bye, Ma ...." Ralin langsung menyudahi panggilan tersebut. "Kalau bukan karena bantu bayar hutang mama dan papa, aku nggak akan mungkin seperti sekarang ini! Oke, besok aku bawain calon mantu kaya raya buat mama dan papa," gumam Ralin sambil menatap layar gawainya.

Ralin kembali fokus ke pekerjaannya, ia tahu betul bagaimana bos besarnya yang selalu menuntut Ralin untuk bekerja cepat dan sempurna.

Tak berselang lama, telepon di meja kerja Ralin berbunyi, panggilan dari bos besarnya.

"Ya, Pak?" sapa Ralin saat telah mengangkat telepon.

"Ralin, perwakilan dari Poernomo Group apa sudah datang?" tanya Carlos pada Ralin.

"Poernomo Group, belum datang–"

Ralin menghentikan ucapannya begitu tiba-tiba disodorkan sebuket bunga besar di hadapannya. Netra Ralin terbelalak kaget, ia pun menoleh ke arah laki-laki yang tengah berdiri sambil menyodorkan bunga itu kepadanya. Seulas senyum manis langsung terpasang di bibir Ralin. "Ralat, Pak! Perwakilan dari Poernomo Group sudah datang, baru saja datang!" ucap Ralin lagi kepada bosnya di panggilan telepon.

"Oke, nanti antar beliau langsung masuk ke ruangan saya," ucap Carlos.

"Baik, Pak!" Ralin langsung menutup teleponnya. Netranya masih memandang lekat kepada sosok laki-laki berkulit bersih yang belakangan ini mengisi hari-harinya. Ia pun meraih buket bunga yang tadi disodorkan untuknya itu.

"Buat aku?" tanya Ralin dengan wajah sumringah.

"Bukan, buat OB kantor kamu!" goda Juan.

Ralin langsung manyun. "Terus ngapain disodorin ke aku?"

"Cuma mau memastikan, cantikan mana, bunganya atau kamu!"

"Terus?"

"Ternyata cantikan kamu! Kalau gitu bunganya nggak jadi buat OB, aku kasih ke orang yang cantik aja, deh! Biar makin cantik lagi," gombal Juan.

Ralin langsung tersipu malu. Apalagi melihat senyum Juan yang mengarah kepadanya, semakin membuat hatinya bergetar, seperti ada gelombang listrik yang tiba-tiba muncul dari atas kepala sampai kakinya.

"Thank you!" ucap Ralin sambil menghirup aroma bunga yang diberikan untuknya. Ia pun kemudian meletakkan buket bunga tersebut di   atas meja kerjanya. "Pak bos udah tungguin kamu di dalam, mau masuk sekarang?" tawar Ralin.

"Boleh tunggu lima menit, nggak?"

Ralin mengernyit. "Boleh! Mau ngapain lima menit?"

"Mau perhatiin bagaimana pacarku kalau sedang kerja," jawab Juan.

"Nggak usah aneh-aneh, deh!" Ralin kembali tersipu malu. Biarpun ini bukan pertama kalinya Ralin berpacaran, tapi jelas Juan adalah laki-laki pertama yang bisa membuka gerbang hati Ralin setelah bertahun-tahun dikunci dengan rapat. Tak ada laki-laki yang boleh masuk selama bertahun-tahun ini.

"Aku serius, ternyata kalau lagi sibuk kerja wajah kamu jadi makin cantik lagi. Jadi nggak salah pilih, dan jadi pengen peluk terus dibawa pulang!"

"Ssssttt ... jangan keras-keras, malu kalau di dengar orang!" Ralin meletakkan telunjuknya di bibir. Netranya melirik ke kanan dan ke kiri melihat situasi di dekatnya.

"Oh, jadi masih malu kalau pacaran denganku? Aku kira cuma waktu SMA kamu malu untuk jadi pacarku, ternyata sekarang masih malu juga!" Juan pura-pura keki.

"Eh, bu-bukan gitu! Aku sama sekali nggak malu pacaran sama kamu, tapi ini masih dalam situasi kerja. Pak Carlos itu orangnya tegas, kalau kerja harus fokus dan–"

Juan lantas meletakkan telunjuknya di bibir Ralin tanpa peduli dengan situasi sekitar. "Kalau Om Carlos sudah tahu kamu ini pacarku, harusnya dia nggak akan berani marahin kamu, sekali pun kamu pacaran denganku di waktu bekerja atau sekaligus di hadapan beliau!"

Kedua alis Ralin menukik tajam. Terasa aneh di telinganya mendengar Juan memanggil pemimpin perusahaan tempat Ralin mengabdikan dirinya ini.

"Om?" tanya Ralin.

Juan mengangguk. "Oh, aku lupa bilang kalau Om Carlos adalah adik sepupu papaku. Perusahaan Carlos Company bisa bangkit dari kebangkrutan tujuh tahun lalu karena bantuan dari papa," jelas Juan. Ia lantas melirik arloji mahal yang terpasang di pergelangan tangannya. "Oke, sudah lima menit! Waktunya bertemu Om Carlos!"

"Oh, oke!" Belum selesai Ralin kaget dengan kenyataan baru kalau ternyata bos besarnya adalah paman dari Juan, tapi Ralin harus segera menyelesaikan tugasnya. Ia pun bangkit dari tempat duduknya, dan mengantar Juan untuk masuk ke dalam ruangan CEO Carlos Company.

Begitu Juan masuk, ia langsung disambut dengan sumringah oleh pamannya. "Juan, selamat datang kembali!" ucap Carlos seraya memeluk keponakannya itu.

"Wah, senang bisa melihat Om kembali, apalagi sekarang makin terlihat ganteng!" Puji Juan kepada pamannya.

Ah, jangan berlebihan! Tapi sebenarnya kalau ganteng itu memang sudah bawaan Om dari lahir," jawab Carlos dengan bangga sambil melepas pelukannya kepada keponakannya itu. "Ayo silahkan duduk!"

Ralin masih berada di ruangan itu sambil terus memperhatikan Juan. Bisa-bisanya Ralin baru menyadari kalau ternyata Juan memiliki hubungan persaudaraan dengan Carlos, bos besar di perusahaannya.

Padahal sudah tiga kali Ralin bertemu dengan Juan di sini, tapi baru kali ini Ralin mengetahui kebenarannya. Semakin yakin lagi kalau Juan adalah calon suami dengan kriteria idaman untuk Ralin. Kekayaannya pasti tak main-main.

"Ralin, tolong siapkan minuman untuk Pak Juan!" Carlos memberi perintah pada Ralin.

"Oh, nggak perlu Om!" tolak Juan langsung.

"Apa kamu yakin?" Carlos mencoba meyakinkan Juan lagi.

Juan mengangguk sambil tersenyum, ia pun mengarahkan pandangannya kepada Ralin. "Saya nggak mau buat pacar saya repot, Om!"

Carlos mengernyit. "Pacar?" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pamer Suami   65. Membongkar Sikap Buruk Juan

    "Ya ampun, Anya, saya nggak bisa lama-lama di sini. Istri saya mau lahiran, saya harus segera pulang." Juan berusaha melepas pelukan dari sekretarisnya tersebut. "Pusing, pu-pusing, Pak!" "Makanya kan tadi saya bilang, kalau nggak bisa minum ngapain dicobain sih? Kamu kan bisa tolak dengan baik-baik, mereka bakalan paham kok kalau kamu nggak biasa. Kalau begini saya harus gimana? Harus titipin kamu sama siapa?" Anya sudah lemas tak karuan, mana peduli dengan omelan atasannya tersebut. Akhirnya mau tidak mau Juan harus mengantar sekretarisnya untuk balik ke kamarnya. Membiarkan Anya beristirahat di sana, mungkin pilihan terakhir Juan akan menitipkan Anya pada staf hotel. "Kunci kamar kamu mana, Nya?" tanya Juan. Anya hanya menunjuk saku di celana bahan yang ia gunakan tanpa bicara apa-apa, sudah terlanjur sakit kepala. Mau tidak mau Juan pun harus meraba saku celana itu cuma untuk mengambil kunci kamar Anya. Dapat! Untung saja kuncinya berbentuk kartu yang mudah diambil. L

  • Pamer Suami   64. Bahagia Dengan Pilihannya

    “Ah, aku sih selalu senang kalau temanku ada yang mampir ke sini apalagi kalau sama keluarganya atau suaminya,” jawab Kania. Ekspresinya masih terlihat santai dan ramah. Sesekali Kania melirik ke arah Juan, semakin hari suami orang semakin tampan.“Bagus kalau gitu.” Ralin tersenyum manis. “Kebetulan aku lagi ngidam, kepengen minum kopi yag dibuatin sama kamu. Kebetulan banget kamu ada di sini, Kania, jadi aku bisa dibikinin kopi langsung sama kamu, kan?”“Ngidam kopi yang dibuatin langsung sama aku? Wah, anak kamu tahu banget ya mana Tante yang pinter bikin kopi.” Lagi-lagi Kania melirik ke arah Juan. Kali ini sambil memberi kerlingan mata.Sudah tentu Juan langsung mengalihkan pandangannya, tak mau fokus ke Kania. Lagipula Juan memang sedang menghindari perempuan ini, malah bisa-bisanya Ralin ngidam kopi buatan Kania. Apa benar anaknya ini paham kalau bapaknya ada sesuatu dengan Kania?Ralin fokus mengelus perutnya yang belum begitu buncit. “Sekaligus tahu juga kalau Tante Kania itu

  • Pamer Suami   63. Kopi Buatan Kania

    "I-ini, bukan kotak apa-apa, Bu. Kebetulan aja ini kotak bekas, saya diminta tolong sama Pak Juan untuk membuangnya." Anya terpaksa mengarang cerita. Sesuai perjanjian kalau ia akan tutup mulut masalah perselingkuhan Juan. Terlihat Ralin seperti kurang percaya dengan perkataan sekretaris suaminya itu. Matanya terus memperhatikan kotak yang dipegang oleh Anya. "Kotak bekas? Tapi Kenapa kelihatannya masih bagus, ya?" tanya Ralin. "Sa-saya kurang tahu, Bu, saya cuma mengikuti perintah Pak Juan." Anya menunduk hormat. "Mohon maaf, saya permisi sebentar, Bu, kebetulan setelah buang kotak ini saya mau mengerjakan pekerjaan yang lain." Ralin menghela napasnya. "Ya udah!" "Permisi, Bu!" Anya pun kemudian pamitan pergi. "Honey, kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Juan langsung menghampiri istrinya, sebenarnya agak panik juga karena Ralin datang tiba-tiba. Beruntung saja foto-foto Juan yang dikirim oleh Kania itu sudah dibawa pergi oleh Anya. Terlihat Ralin menatap suaminya dari atas

  • Pamer Suami   62. Itu Kotak Apa?

    "Nggak perlu dijelasin, kamu nggak perlu tahu aku lihat buktinya di mana!" Ralin bangun dari posisinya, ia pun langsung pergi meninggalkan Juan dan masuk ke kamar. Juan makin tak paham dengan situasi ini, kenapa malah jadi makin runyam. Belum saja urusannya dengan Kania benar-benar selesai, tetapi kini Ralin sudah salah paham dengan sekretaris Juan. Langsung saja Juan menyusul ke kamar, hendak menjelaskan kembali kalau dirinya tidak ada apa-apa dengan Anya. "Honey ... buka pintunya, dong!" Juan menggedor pintu, meminta istrinya untuk membukakan pintu kamar. "Aku sama Anya beneran nggak ada apa-apa, Honey!" Tak ada jawaban dari dalam kamar, sudah pasti Ralin ngambek tak karuan karena kesalahpahaman ini. Juan lemas di tempat, kalau begini bagaimana caranya untuk meyakinkan istrinya? Juan kembali ke sofa, ia menghempaskan tubuhnya dengan lemas di sofa tersebut. Lama ia terdiam, menyadari kalau dirinya memang kurang ajar karena sudah menduakan istrinya, bahkan dengan sahabat istrinya

  • Pamer Suami   61. Imbalan Tutup Mulut

    Juan menganggukkan kepalanya. "Iya, mereka sahabatan dari SMA. Bisa dibilang benar-benar dekat dan saling mengenal satu sama lain!"Anya masih kaget, tak menyangka kalau bos-nya bisa sejahat itu. "Bapak keterlaluan, malah sangat keterlaluan! Kalau saya jadi Bu Ralin dan tahu masalah ini udah pasti saya nggak mau pertahanin rumah tangga saya, Pak! Bapak selingkuh aja udah salah, malah selingkuh sama orang terdekat dari Bu Ralin, itu makin salah lagi!" Anya geleng-geleng kepala keheranan."Ck ... kamu jangan ngomong gitu, dong!""Saya serius, Pak! Nggak ada perempuan yang rela-rela aja suaminya selingkuh apalagi selingkuhannya itu sahabatnya sendiri. Saya nggak bakalan pikir dua kali buat pertahanin pernikahan, mending pisah aja! Malah di awal saya kira karena Bu Ralin itu tipenya Bapak jadi Bapak nggak mungkin berpaling ke cewek lain, ternyata ... ah, memang omongan cowok nggak ada yang bisa dipercaya!"Juan memijat keningnya sejenak. Ia jadi kepikiran dengan kata-kata sekretarisnya in

  • Pamer Suami   60. Anya, Saya Percaya Sama Kamu!

    Juan melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa yang membuat aku nggak bisa pamitan sama kamu?"Kania lagi-lagi bergerak sesuai kemauan hatinya, kali ini dengan impulsif ia memeluk Juan. Sudah pasti Juan kaget dengan tindakan Kania ini, ia khawatir dengan kamera CCTV yang menyoroti gerak-gerik mereka. "Please, Kania ... jangan begini!" Juan langsung menolak tangan Kania yang memeluknya itu. "Kita harus sama-sama menghargai situasinya. Oke, aku akui kalau aku yang salah, aku yang sudah membuka gerbang perselingkuhan ini. Aku cuma ... cuma awalnya iseng, tapi malah keterusan.""Iseng kamu bilang?" tanya Kania.Juan hanya mengangguk pelan. "Bukannya iseng itu malah membuat kamu jadi ketagihan sama aku? Kamu lebih suka caraku memuaskan kamu daripada istri kamu itu, kan?" "Apa sih mau kamu? Kamu mau menuntut lebih ke aku masalah hubungan ini? Aku nggak bisa, Kania, aku sudah ada istri dan aku nggak akan menceraikan dia!" Juan bersikap tegas, tak mau lagi terpengaruh dengan pesona janda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status