Share

Kabar Kematian Sang Panglima

Demikianlah, sang panglima pun tidak dapat mengelak lagi, karena tubuhnya sudah dalam kondisi lemah tak berdaya. Sehingga, ia langsung meregang nyawa dalam kondisi mengenaskan.

Perut sang panglima mengalami luka yang cukup parah, pakaian kebesarannya sebagai seorang panglima prajurit telah berlumuran darah merah yang tak henti-hentinya mengalir hingga membanjiri sekujur tubuhnya.

Setelah mengetahui lawannya sudah binasa, Andaresta tertawa lepas merayakan kemenangan dirinya, "Hahaha!"

"Hanya ini kemampuan seorang panglima perang," desis Andaresta sambil membusungkan dada.

Setelah itu, ia langsung berlalu dari tempat tersebut, meninggalkan jasad sang panglima yang tergeletak di pinggiran sungai.

Tindakannya sungguh kejam, ia tidak menghargai jasa Panglima Rakuti yang telah memberikannya kesempatan untuk menjadi seorang prajurit. Bahkan, Andaresta pun tidak menghargai kebaikan Wira Karma yang selama ini sudah menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Wira Karma adalah kakak kandung Panglima Rakuti—ayahnya Pandu yang merupakan sahabat baiknya.

Tiga tahun silam....

Pandu dan Andaresta belajar bersama di sebuah padepokan silat yang berada di sebuah desa tidak jauh dari tempat tinggalnya. Padepokan tersebut milik seorang resi yang bernama Naraya, seorang pria sepuh yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi dan cukup disegani di kalangan dunia persilatan.

"Aku sudah mengajarkan sebagian jurus-jurus andalanku kepada kalian berdua. Sebaiknya, kalian harus bisa memanfaatkannya dengan baik!" ujar Resi Naraya berkata di hadapan Pandu dan Andaresta.

"Baik, Guru," jawab mereka serentak.

"Sekarang, kalian berlatihlah dengan bersungguh-sungguh. Aku yakin, jika kalian rajin berlatih. Maka, kalian berdua akan menjadi dua kesatria yang pilih tanding," ungkap Resi Naraya sambil tersenyum-senyum, kemudian, ia bangkit dan langsung berlalu dari hadapan kedua muridnya itu.

"Benarkah apa yang dikatakan oleh guru?" tanya Andaresta berpaling ke arah Pandu.

"Jika kita menuruti apa yang dikatakan oleh guru, sudah pasti semua yang dikatakannya tadi akan terwujud. Kau harus yakin Andaresta!" jawab Pandu lirih.

"Baiklah, Pandu. Mulai hari ini kita harus bersungguh-sungguh dalam melakukan latihan. Karena ada satu hal yang sangat aku inginkan," desis Andaresta.

Pandu mengerutkan kening lalu bertanya, "Tentang apa, Andaresta?"

"Jadi seorang punggawa kerajaan," jawab Andaresta sambil tersenyum lebar.

"Semoga apa yang kau cita-citakan segera terwujud. Aku akan membantumu membicarakan hal ini kepada pamanku, agar dia dapat membantumu untuk mewujudkan segala keinginanmu," tandas Pandu.

Andaresta terkejut mendengar ucapan dari sahabatnya itu. "Sungguhkah, Pandu?" tanya Andaresta menatap tajam wajah Pandu.

"Ya, seperti yang kau ketahui. Pamanku adalah seorang panglima prajurit. Sudah barang tentu, ia bisa membantumu untuk mewujudkan segala keinginanmu menjadi seorang prajurit kerajaan," jawab Pandu penuh keyakinan.

"Terima kasih Pandu, kau sudah bersedia untuk membantuku," kata Andaresta tampak semringah.

Pandu tampak senang dan bahagia melihat kawannya tersenyum. Ia tidak merasa curiga sedikitpun terhadap Andaresta, karena Pandu tidak mengetahui seluk-beluk kehidupan Andaresta.

Sejatinya, Andaresta merupakan putra mendiang Rama Karna mantan panglima prajurit kerajaan Genda Yaksa yang telah tewas dihukum pancung oleh pihak kerajaan karena sudah berkhianat terhadap raja.

"Ini adalah kesempatan emas bagiku, aku bisa secepatnya melakukan balas dendam terhadap Panglima Rakuti. Dia tidak mungkin mengetahui jika aku ini adalah putra Rama Karna," kata Andaresta dalam hatinya.

Andaresta mengetahui bahwa Panglima Rakuti adalah penyebab kematian ayahnya berdasarkan kabar miring dari Ki Kusumo, sahabat baik ayahnya.

Beberapa hari kemudian, Pandu dan Andaresta sudah berkemas. Mereka sudah bersiap hendak meninggalkan padepokan itu, berdasarkan izin gurunya.

"Aku sangat berharap kau ini menjadi seorang punggawa andalan kerajaan. Tapi ingat, kau jangan berlaku sombong ketika sudah mendapatkan kepercayaan dari raja!" ujar Resi Naraya berkata kepada Andaresta.

"Baik, Guru. Aku berjanji akan selalu mengingat dan menjalankan nasihat Guru," jawab Andaresta menjura hormat kepada sang guru.

"Beruntung sekali kau memiliki sahabat seperti Pandu. Dia sudah bersedia untuk membantu mewujudkan cita-cita yang kau inginkan," desis Resi Naraya berpaling ke arah Pandu yang duduk bersebelahan dengan Andaresta.

Setelah panjang lebar berbicara dengan sang guru. Maka, kedua pemuda itu langsung pamit kepada guru mereka, dan langsung berlalu dari padepokan tersebut.

Tiga tahun kemudian....

Andaresta tidak mengetahui ketika dirinya tengah bertarung mati-matian dengan Panglima Rakuti, ada seorang petani yang menyaksikan detik-detik pertarungan sengit tersebut. Namun, petani itu tidak berani melerai atau menolong sang panglima, karena ia merasa takut jika terlibat dalam persoalan tersebut.

"Sungguh kejam pemuda itu," desis seorang pria paruh baya yang bersembunyi di balik semak belukar.

"Aku harus melaporkan kejadian ini kepada Pandu," desis pria paruh baya itu.

Dengan demikian, petani tersebut langsung bangkit dan segera berlalu dari tempat itu. Ia langsung berlari menuju ke sebuah ladang yang berada di bibir hutan tidak jauh dari tempat terbunuhnya Panglima Rakuti.

Seorang pria paruh baya tengah berlari kencang menghampiri Pandu yang saat itu tengah beristirahat di dalam saung setelah melakukan aktivitasnya.

"Pandu! Pandu!" teriak pria paruh baya itu.

Mendengar teriakan tersebut, Pandu langsung bangkit, dan segera keluar dari dalam saung. Dilihatnya seorang pria paruh baya tengah berlari menuju ke arahnya.

"Ada apa dengan Ki Warka?" desis Pandu sambil mengerutkan kening.

Setelah pria paruh baya itu mendekat, Pandu segera bertanya, "Ada apa, Ki? Apa yang terjadi denganmu?" Pandu menatap tajam wajah pria paruh baya yang sudah berdiri di hadapannya.

"Panglima sudah tewas," jawab Ki Warka dengan napas terengah-engah. Wajahnya pun tampak basah dipenuhi peluh yang bercucuran dari keningnya.

"Maksud Ki Warka, Paman Rakuti?" Pandu balas bertanya sambil mengerutkan kening, ia terus menatap wajah Ki Warka.

"Iya, Pandu. Pamanmu sudah tewas dibunuh oleh saudara seperguruanmu sendiri!" tandas Ki Warka sambil menyeka peluh di wajahnya.

Seketika Pandu mulai dirasuki amarah yang begitu hebat, dadanya mulai bergejolak menahan kemarahan setelah mendengar keterangan dari Ki Warka.

"Andaresta yang telah melakukannya?" tanya Pandu sambil memegangi kedua pundak Ki Warka yang tengah berdiri di hadapannya.

"Iya, Pandu. Andarestalah yang telah membinasakan panglima!" jawab pria paruh baya itu. "Jasad pamanmu tergeletak di tepi sungai, aku tidak berani menyentuhnya. Karena tubuh pamanmu terluka parah akibat tusukan pedang Andaresta," sambungnya menerangkan.

Mendengar ketrangan dari Ki Warka, Pandu tampak geram dan merasa kesal akan perbuatan Andaresta. Ia pun berteriak keras, "Andaresta! Tunggu pembalasanku!"

Sementara itu, Wira Karma yang baru saja tiba di ladang segera berlari ke arah saung. Ia merasa kaget karena melihat putranya tengah berteriak-teriak sambil memukuli tiang saung hampir mau patah.

Ketika sudah berada di hadapan Pandu dan Ki Warka, Wira Karma langsung bertanya kepada putranya itu, "Ada apa Pandu? Apa yang telah terjadi?"

Pandu menarik napas dalam-dalam, pandangannya mulai redup dipenuhi bulir bening. Giginya menggeretak, telapak tangannya pun mengepal bulat dan kuat.

"Paman Rakuti telah dibunuh oleh Andaresta, Rama." Suaranya terdengar berat dan bergetar.

* * *

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nom Naomi
lanjut ke part 3
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status