Wira Karma tampak kaget mendengar apa yang telah dikatakan oleh putranya itu. Seketika tubuhnya bergetar hebat, ia pun merasakan sedih dan kesal atas perbuatan Andaresta yang begitu keji telah membinasakan Panglima Rakuti yang tiada lain adalah adik kandungnya sendiri.
Meskipun demikian, ia tetap berusaha tenang. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berpaling ke arah petani paruh baya itu. Berkatalah ia, "Benar apa yang dikatakan oleh putraku?"
"Iya, Ki. Aku sendiri yang menyaksikan perbuatan Andaresta," jawab Ki Warka berkata dengan penuh kesungguhan.
"Atas dasar apa, Andaresta tega membunuh Rakuti?" kata Wira Karma dalam hati.
"Di mana jasad Rakuti sekarang, Ki?" tanya Wira Karma di antara deru napasnya.
"Di sungai yang ada di dalam hutan dekat ladangku," jawab pria paruh baya itu.
"Baiklah, terima kasih, Ki. Aku minta tolong, sebaiknya Aki laporkan kejadian ini kepada pihak kerajaan. Aku dan Pandu akan segera mengurus jasad Rakuti," pinta Wira Karma kepada Ki Warka.
"Baik, Ki," jawab pria paruh baya itu, kemudian langsung pamit kepada Wira Karma dan Pandu. Ia pun segera berlalu dari saung tersebut untuk segera melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak kerajaan.
Demikian pula dengan Wira Karma, ia langsung mengajak putranya untuk segera menuju ke sungai yang ada di bibir hutan tidak jauh dari ladangnya itu. Wira Karma dan Pandu hendak mengevakuasi jasad Panglima Rakuti yang sudah dibinasakan oleh Andaresta yang selama ini dipercaya oleh mereka sebagai seorang pemuda yang baik.
Pandu dan ayahnya tampak terpukul dengan kejadian tersebut. Sejatinya, Panglima Rakuti merupakan sosok yang paling baik dan penyabar. Semasa hidupnya ia selalu membantu Wira Karma dalam segala hal.
Kabar kematian sang panglima menjadi bahan perbincangan dikalangan istana. Sehingga membuat geram sang raja terhadap Andaresta sang pelaku pembunuhan punggawa terbaiknya itu.
Hari itu, raja langsung menggelar pertemuan mendadak dengan para petinggi kerajaan untuk membahas peristiwa kematian Panglima Rakuti.
"Aku perintahkan kepada kalian untuk segera memburu Andaresta! Tanpa harus diadili lagi, langsung jebloskan saja ke dalam penjara!" perintah sang raja dengan emosi yang meledak-ledak.
Ia sangat geram dengan kabar tersebut. Sejatinya, Panglima Rakuti merupakan orang yang sangat ia percayai dan menjadi seorang punggawa yang sangat jujur dan bertanggung jawab atas keamanan wilayah kedaulatan kerajaan Genda Yaksa.
"Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera melaksanakan titah Gusti Prabu," jawab seorang prajurit senior menjura hormat dan membungkukkan badan di hadapan sang raja.
"Jika Andaresta tertangkap, maka jebloskan dia ke dalam penjara! Tidak perlu diadili lagi, berikan hukuman pancung untuknya! Letakkan kepalanya di alun-alun kuta!" perintah sang raja kepada para prajurit seniornya.
"Daulat, Gusti Prabu. Kami akan melaksanakan dengan baik titah Gusti Prabu," tegas seorang prajurit senior kepada sang raja.
Dengan demikian, para prajurit senior itu langsung bergerak untuk segera memburu Andaresta. Mereka membagi tugas dengan membentuk beberapa kelompok, dan langsung menyebar ke seluruh pelosok wilayah kerajaan Genda Yaksa.
Sementara itu, jasad Panglima Rakuti sudah disemayamkan di kediaman Wira Karma selaku pihak keluarga dari sang panglima. Sesuai rencana, jasad Panglima Rakuti akan langsung dimakamkan di hari itu juga, di sebuah pemakaman khusus bagi para prajurit kerajaan Genda Yaksa.
"Andaresta harus segera kutangkap, dan dia harus membayar lunas semua ini!" desis Pandu sambil mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.
Ia berambisi akan melakukan pemburuan terhadap Andaresta, menuntut balas atas kematian pamannya yang telah dibinasakan dengan sangat keji oleh sahabatnya sendiri.
Diam-diam, seorang pemuda yang sedari tadi berdiri di belakang Pandu, melangkah menghampiri. Dia adalah Reksa Pati—sahabat Pandu yang rumahnya bersebelahan dengan kediaman Pandu.
"Kau jangan risau! Aku akan turut membantumu," kata Reksa Pati sambil meletakkan telapak tangannya di atas pundak Pandu.
Pandu berpaling ke arah Reksa Pati. Lalu menjawab, "Terima kasih, Reksa."
Demikianlah, Pandu langsung mempersilahkan duduk kepada sahabatnya itu. Dan mereka pun langsung berbincang-bincang di beranda rumah bersama Wira Karma dan juga Ki Warka.
Tujuh hari kemudian, Pandu sudah berhasil menemukan Andaresta di sebuah hutan yang ada di pinggiran desa yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Pandu berpaling sambil menyeringai, tatapannya tajam penuh kebencian terhadap Andaresta seorang pemuda sebaya dengannya yang tiada lain adalah sahabatnya sendiri."Kau telah mengkhianati kepercayaan ramaku, dan kau pun sudah merusak ikatan persahabatan kita!" bentak Pandu bersuara keras, ia sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Seakan-akan, Pandu ingin segera menuntaskan dendamnya terhadap Andaresta atas kematian pamannya.
Mendengar bentakkan dari Pandu, Andaresta hanya diam sambil tersenyum-senyum dingin menatap wajah Pandu yang tengah dilanda kegusaran. Ia tetap bersikap tenang, seperti tidak pernah melakukan perbuatan apa-apa.
Pandu menggeretakkan gigi sambil mengepalkan telapak tangan. Dipandanginya wajah Andaresta secara tajam. Kemudian, Pandu kembali membentak dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya, "Paman Rakuti adalah adik kandung ramaku, kenapa kau tega menghabisi nyawanya?!"
Mendengar suara keras dari Pandu, Andaresta tertawa lepas dengan suara yang tak kalah keras dibandingkan dengan suara bentakkan Pandu. Tertawaannya membuat Pandu semakin geram melihatnya.
Andaresta adalah seorang pendekar muda yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi, sebanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh Pandu. Ia diangkat oleh sang raja menjadi seorang prajurit kerajaan berdasarkan tingkat kemampuan yang dimilikinya, dan juga atas dukungan dari Panglima Rakuti yang telah ia binasakan.
"Ya, aku memang telah membunuh Panglima Rakuti." Andaresta mengakui perbuatannya dengan bersikap tenang seperti tidak merasa bersalah sedikitpun.
Mendengar pengakuan itu, Pandu tampak geram terhadap Andaresta. Seketika amarahnya memuncak, ia sangat menyesalkan perbuatan keji yang sudah dilakukan oleh sahabat seperguruannya itu.
Rakuti adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan Genda Yaksa yang sudah mendapatkan gelar sebagai Senapati Guna Yaksa, dipercaya oleh sang raja untuk menjadi seorang kepala keamanan di kuta utama—Dalam Genda, dan seluruh wilayah kepatihan Merba Yaksa.
"Sungguh busuk hatimu, Andaresta!" bentak Pandu bersuara keras.
"Baguslah, kalau kau sudah tahu tentang kebusukanku. Tapi kau belum tahu tentang kebusukan pamanmu yang bernama Rakuti itu!" jawab Andaresta sambil tertawa dingin.
Andaresta merencanakan pembunuhan itu berdasarkan niat dan tujuan pribadinya. Sejatinya, ia berniat untuk menduduki posisi sebagai panglima prajurit yang disandang oleh Rakuti. Oleh sebab itu, ia langsung melakukan siasat jahat dengan melenyapkan nyawa Panglima Rakuti demi tercapainya tujuan busuk yang sudah ia rencanakan.
Namun, segala kejahatannya dapat diketahui oleh Ki Warka yang tengah berada di hutan tersebut. Sehingga Ki Warka langsung melaporkan perbuatan Andaresta kepada Pandu dan ayahnya serta kepada sang raja. Sehingga apa yang sudah Andaresta rencanakan buyar sedemikian rupa.
“Hai! Kenapa kau diam, Pandu? Apakah kau ini benar-benar ingin mengetahui perbuatan pamanmu itu?” bentak Andaresta dengan sorot matanya yang tajam menatap sinis wajah Pandu.
“Omong kosong, jangan banyak bicara kau! Aku tahu segala niat jahatmu Andaresta, keinginanmu untuk menjadi seorang panglima prajurit sudah musnah. Kini, kau telah menjadi target buruan dari pihak kerajaan Genda Yaksa!”
Napas Pandu semakin memburu menahan amarah yang sudah membumbung tinggi. Dipandanginya wajah Andaresta, saat itu muncul kembali ingatannya ketika berbincang dengan pamannya yang pernah berkata bahwa Andaresta dan dirinya akan menjadi dua punggawa andalan kerajaan. Tangannya mengepal bulat, dadanya mulai bergejolak, dan giginya menggeretak kuat.
Sesaat kemudian, Andaresta kembali berkata, “Asal kau tahu, Pandu! Panglima Rakuti telah memintaku untuk membantunya dalam membantai para pendekar di padepokan Elang Hitam, dan berjanji akan menjauhkanmu dari padepokan tempat kita menimba ilmu kanuragan!”
Andaresta terus berusaha untuk mempengaruhi jiwa dan pikiran Pandu dengan perkataan-perkataan bohong yang sengaja dibuat-buat. Itu adalah bentuk propoganda yang sengaja ia lancarkan agar memperkeruh suasana, dan menumbuhkan rasa kebencian dari Pandu terhadap pamannya yang telah tewas.
“Aku tidak percaya dengan ucapanmu!” kecam Pandu balas membentak Andaresta dengan suara keras.
*****
Walau demikian, ia pun sedikit merasa kaget dengan apa yang telah diucapkan oleh Andaresta. Lantas, Pandu berkata lagi, “Tidak mungkin! Kau pasti bohong, Andaresta! Aku sangat mengenal baik Paman Rakuti,” tegas Pandu menyela perkataan Andaresta.Namun, Andaresta terus membumbui perkataannya dengan kebohongan-kebohongan yang sengaja ia buat-buat. Sehingga jiwa dan pikiran Pandu sedikit mulai goyah terpengaruh oleh derasnya kebohongan yang dilancarkan oleh Andaresta.“Apa benar, Paman Rakuti sudah berbuat demikian? Apa karena selama ini hubungan guru dengan Paman Rakuti selalu bertolak belakang. Sehingga Paman tega merencanakan hal seperti itu?” kata Pandu dalam hati.Di saat ia sedang dalam keadaan bingung dan merasa gundah mendengar hasutan dari Andaresta. Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang pria berteriak dari arah belakang tempatnya berdiri, “Pandu, jangan kau dengarkan perkataan Andare
Pandu mengangguk dan menjawab lirih, “Baik, Paman.” Pandu dengan serta-merta menuruti permintaan Damara, ia langsung surut beberapa langkah ke belakang.Setelah itu, tanpa basa-basi lagi, Damara langsung melancarkan dua pukulan keras secara mendadak mengenai kepala dan leher pemuda sombong itu.Dengan demikian, Andaresta pun terjatuh. Namun dengan sangat cepat ia bangkit kembali.Andaresta hanya tertawa dingin sambil menatap wajah Damara yang berdiri tegak di hadapannya, “Hahaha!"Tanpa terduga, kaki kanannya dengan begitu cepat menyapu lawannya dengan tendangan berkekuatan tinggi, sehingga Damara pun terjatuh karena kehilangan keseimbangan."Pemuda ini benar-benar memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Pantas saja sang panglima bisa dia kalahkan," kata Damara dalam hati.Tak berhenti sampai di situ saja, Andaresta kembali menyerbu ke arah Damara yang sudah terpuruk di hadapannya.Namun dengan gerakan ce
Damara bergegas menotok seluruh titik aliran darah di tubuh Pandu. Kemudian, ia segera mengeluarkan racun tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian, Pandu sudah mulai sadar dan kembali membuka matanya. "Kau kunyah dan telan serbuk ini!" perintah Damara menyerahkan bungkusan kertas dalam bentuk lipatan berukuran kecil kepada Pandu. "Iya, Paman." Pandu langsung meraih kertas yang berisikan serbuk penawar racun tersebut. Lantas, ia pun segera menelan serbuk ramuan itu tanpa menggunakan air. Setelah memberikan penawar racun, Damara langsung meminta bantuan kepada beberapa orang warga yang tengah mencari kayu di hutan tersebut, untuk membawa Pandu pulang ke kediamannya. Di tempat terpisah, Andaresta pun tengah berjuang untuk mengobati luka dalam yang dideritanya. Namun, ia masih tetap bersikap sombong. Andaresta sangat yakin, bahwa Pandu tidak akan mungkin selamat oleh pengaruh racun itu. "Pandu, ajalmu akan segera ti
Mendengar perkataan dari ayahnya, sikap Pandu mendadak bimbang dan gundah. Ada rasa bahagia dan ada pula rasa sedih yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya kala itu. Seakan-akan, ia tidak rela jika harus meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun demikian, Pandu sangat berkeinginan untuk mengabdi di istana sebagai seorang prajurit. Karena dirinya mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seorang senapati seperti ayahnya di masa lalu. Pandu menghela napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Lantas, ia segera menjawab perkataan dari ayahnya, "Aku tidak tega jika harus meninggalkan Rama sendirian." Suaranya terdengar berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kenapa, Nak?" tanya Wira Karma menatap tajam wajah putra semata wayangnya. "Sedari kecil aku tidak pernah berpisah dengan Rama, sekarang aku harus meninggalkan Rama sendiri hanya karena mengejar cita-cita," jawab Pandu balas menatap wajah sang ayah. Bulir bening
Pandu menghentikan langkahnya sejenak. Lalu berpaling ke belakang. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil ke arahnya. "Reksa Pati," desis Pandu meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tersebut. Reksa Pati tersenyum-senyum ketika sudah berada di hadapan Pandu. Ia terus menatap lekat wajah sahabatnya. Lalu bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu?" Pandu balas senyum. Lantas menjawab dengan lirihnya, "Aku hendak menemui Paman Damara di saung. Apa kau mau ikut?" "Tidak, Pandu! Aku masih ada urusan," jawab Reksa Pati tersenyum lebar. "Baiklah kalau memang seperti itu. Lain kali kalau ada waktu, aku tunggu kau di rumahku!" kata Pandu balas tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Baiklah, kapan-kapan aku pasti berkunjung ke rumahmu," tandas Reksa Pati. Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada sahabat baiknya itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ladang untuk menemui Damara. "Aku pikir Reksa Pati mau
Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!" Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu. "Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa. Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?" Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu. Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu. "Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda." Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerah
Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya. "Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu. "Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut. "Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku ti
Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.