Kemarahan Raja Petir menimbulkan suara keras yang membuat langit bergetar dan mendadak menjadi gelap gulita. Situasi hingar-bingar saat pesta kini telah berubah seratus delapan puluh derajat. Suasana mencekam menyelimuti semua orang.
"Kau sudah salah paham, Raja Petir. Aku sama sekali tidak punya maksud untuk meremehkan dirimu," Raja Langit tampak tengah berusaha keras untuk menenangkan amarah Raja Petir.
"Kau tidak mengundangku dan putriku ke acaramu, ini sudah menjadi bukti kuat bahwa kau merendahkanku dan Kerajaan Petir! Kau menganggap putriku tidak layak bersanding dengan putramu. Iya, kan?"
"Bukan begitu, aku ha..ha..han...nya…"
Kilat kembali terlihat. Keragu-raguan ayah dalam menjawab pertanyaan Raja Petir tampaknya semakin memperkeruh suasana.
Raja Petir kembali bergerak mendekat. Semua orang pun menjadi sangat panik.
"Pengawal!" ucap Raja Langit.
Mendengar ucapan Raja Langit tersebut, seluruh pengawal Kerajaan Langit pun mengeluarkan pedang, mengarahkannya ke hadapan Raja Petir.
"Lihatlah apa yang kau perbuat, Raja Langit. Kau bahkan berusaha untuk membunuhku? Aku datang ke sini seorang diri. Tidak ada satu prajurit pun yang ikut denganku. Sesampainya di kerajaanmu, aku malah disambut dengan hunusan pedang dari seluruh prajuritmu! Kau benar-benar telah memancing amarahku!"
Raja Petir mengibaskan kedua tangannya. Seketika itu juga angin kencang dari kibasan tangan Raja Petir langsung menumbangkan para prajurit Kerajaan Langit yang menghalangi langkahnya.
"Sahabatku Raja Petir, dengarkanlah dahulu penjelasanku," ujar Raja Langit kembali berusaha untuk menenangkan Raja Petir yang sedang murka.
"Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi!"
DAARRR! DAARRR! DAARRR!
Petir menghujami seluruh penjuru Kerajaan Langit. Semua orang mulai berhamburan, berusaha menyelamatkan diri. Raja Matahari, Raja Bulan, dan Raja Bintang langsung mengajak putri mereka menjauh, dikawal oleh para pasukan dari kerajaan masing-masing. Pengawal yang masih bertahan, berusaha untuk menyelamatkan ayah, ibu, dan aku. Tampak Raja Petir semakin mendekat ke arah kami.
"Pangeran, mari kita pergi dari sini," ujar salah satu pengawalku.
"Ta.. tapi…" aku melihat ke arah ayah. Ia memberikan isyarat padaku untuk pergi.
"Ayo, Pangeran. Kita tidak punya banyak waktu," ujar pengawalku yang lainnya.
Aku pun bangkit. Meski dengan berat hati, aku pun bangkit dari tempatku. Melangkah menjauh mengikuti para pengawalku, mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Aku tak dapat melarikan diri sendirian, meninggalkan ayah dan ibu. Oleh karena itu, aku pun memilih untuk bersembunyi tak jauh dari sana.
Amarah yang menyelimuti Raja Petir membuatnya tak kuasa mengendalikan diri. Kilatan penuh kebencian jelas terpancar dari tatapan matanya. Tatapan mata itu kini berjarak kurang dari satu meter dari ayah dan ibu. Aku hanya bisa memekik dalam hati. Melihat pemandangan mengerikan itu dari tempat persembunyianku.
Raja Petir mengangkat tinggi tangan kanannya ke atas. Di sekitarnya lantas kilat-kilat kecil yang berkumpul menjadi satu. Raja Petir tampaknya sedang mengumpulkan seluruh kilat untuk membuat kilatan besar.
Aku sudah tak tahan lagi dengan pemandangan di hadapan itu. Aku pun keluar dari persembunyianku, berteriak dengan keras, berusaha mengalihkan perhatian Raja Petir.
"Hentikan, Raja Petir! Kau telah salah sangka. Bukan pada ayahku, kau seharusnya menanyakan alasan tidak diundangnya dirimu dan putrimu ke acara ini kepadaku!"
Raja Petir langsung berpaling ke arahku. Tampaknya aku telah berhasil mengalihkan perhatiannya.
"Ini adalah acaraku. Acara yang dibuat untukku agar aku dapat memilih pasanganku. Oleh karena itu, akulah yang berhak menentukan siapa saja yang turut serta dalam acara ini!"
"Apa maksud perkataanmu itu, Pangeran? Kau ingin mengatakan bahwa aku dan putriku tidak layak untuk ikut serta dalam acaramu ini, hah?"
Tampaknya perkataanku tadi malah memperkeruh keadaan.
"Jangan hiraukan perkataan putraku tadi, dia tidak tahu apa-apa tentang daftar undangan. Akulah yang mengaturnya," ucap ayah.
"Itu tidak benar. Aku yang meminta ayahku untuk tidak mengundangmu dan putrimu. Setelah melihatmu hari ini, aku merasa bahwa tindakanku untuk tidak mengundangmu itu sudah sangat tepat."
Setelah mendengar perkataanku, Raja Petir mengayunkan tangannya ke berbagai penjuru. Setiap ia mengayunkan tangan, dari ujung telunjuknya menembakkan petir yang menimbulkan retakan-retakan.
"Kumohon tenangkanlah dirimu, sahabatku. Amarahmu bisa menghancurkan kerajaanku," pinta ayah.
"Jika kamu adalah sahabatku, seharusnya kamu tahu betul sifatku. Kamu malah mengabaikan perasaanku dan sengaja memancing kemarahanku!"
Raja Petir menghempaskan tangannya ke belakang, angin kencang yang ditimbulkan oleh hempasan tangannya membuat Raja Langit dan Ratu Langit terlempar dari duduknya. Raja Langit dan Ratu Langit yang terhempas keras itu pun terlihat kesulitan untuk bangkit.
"Ayah, ibu…"
Aku tak kuasa melihat ayah dan ibu terluka. Namun, posisiku kini tampaknya tidaklah baik. Setelahnya, Raja Petir bergerak mendekat ke arahku. Dalam keadaan gelap seperti sekarang ini, kilatan amarah yang terpancar dari matanya terlihat sangat jelas.
"Pangeran, ayo kita pergi dari sini."
Dua orang pengawalku membawaku pergi menjauh. Langkah kami masih belum mampu menandingi kecepatan Raja Petir. Kegelapan memperlambat pergerakan kami. Di lain pihak, Raja Petir semakin memperkecil jarak di antara kami. Tangannya terus diarahkannya ke depan, menembakkan kilatan-kilatan berbahaya.
Dug!
Aku terjatuh. Rupanya, aku tersandung permukaan langit yang retak. Langkah kami pun terhenti. Kurang dari satu meter di belakang, Raja Petir berdiri dengan tegapnya.
"Kau tidak bisa pergi ke mana-mana lagi, Pangeran."
"Bila ingin berhadapan dengan Pangeran Langit, Anda harus berhadapan dengan kami terlebih dahulu."
Kedua pengawalku langsung menghalangi Raja Petir, berusaha untuk melindungiku.
"Ha ha ha. Kalian semua bukanlah tandinganku," ucap Raja Petir. "Aku baru saja datang dari menghadap Dewa. Akulah raja terhebat saat ini!"
Kedua pengawalku seketika terlempar keras, mereka tampak kesakitan.
"Lihatlah, Pangeran. Pengawalmu itu bukan apa-apa bila dibandingkan denganku."
Raja Petir semakin mendekat ke arahku. Aku merangkak perlahan, berusaha menjauh meski tahu hal itu sia-sia, tidak bisa menyelamatkanku dari amarah Raja Petir. Raja Petir semakin berang, ia dengan cepat menembakkan kilat ke arahku. Aku merasakan panas membara saat kilatan tersebut bergerak di dekatku. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat dengan jelas bahwa kilatan tersebut menimbulkan retakan di berbagai penjuru langit. Pergerakanku langsung terhenti lantaran langkahku membuat retakan tersebut semakin parah.
Retakan semakin besar. Langit pun terbelah. Tubuhku terjerumus di antara retakan tersebut. Aku hampir jatuh ke bawah, untungnya kedua pengawalku dengan sigap meraih tanganku.
"Pangeran, bertahanlah."
Mereka berdua masing-masing menarik tangan kanan dan tangan kiriku. Aku menahan napas, berharap dengan cara itu berat tubuhku bisa berkurang. Namun, hal itu tampaknya tidak berpengaruh. Tanganku bergetar. Tidak kuat lagi menahan berat tubuhku.
Aku merasakan tubuhku melayang ke bawah dengan tangan yang masih berpegangan erat dengan tangan kedua pengawalku. Sementara itu, Raja Petir hanya diam melihat kami yang semakin menjauh ke bawah.
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor
Kami langsung bergegas menuju lantai 10. Aku sudah meminta Kenji dan Masaki untuk membelikan pakaian yang sekiranya pantas dikenakan oleh Nari. Aku dan Nari pun segera berganti pakaian.Hari ini adalah hari pertama Nari bekerja di perusahaan kami. Niji aku mintai bantuan untuk mengarahkan Nari selama bekerja. Sementara itu, hari ini aku mendapat tugas untuk berkomunikasi dengan editor MM dan Hoshie terkait dengan rencana pemasaran kami. Kebetulan, editor MM yang bertanggung jawab kali ini adalah Mizuki. Jadilah aku, Mizuki, dan Hoshie duduk bertiga di ruang rapat.“Aku tidak menyangka bahwa kamu adalah anak dari pemilik perusahaan besar sekelas SkyLight,” ucap Mizuki saat kami kembali bertemu setelah sekian lama.“Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan dipekerjakan oleh orang sepertimu,” kata Hoshie.Bila menilik ke belakang, saat aku bekerja bersama Mizuki dan Hoshie, penampilanku sangat sederhana. Aku saat itu tidak memiliki uan
Kriiaat krrrieeeetBunyi berderit itu kerap timbul setiap aku melangkahkan kaki di dalam bangunan tua, tempat kami akan bermalam hari ini.“Apa kau yakin akan tidur di tempat ini?”Melangkahkan kaki saja aku sudah ragu-ragu, bagaimana mungkin aku bisa tidur di dalam ruangan tua dan berdebu seperti ini?“Kamu lihat sendiri, kan. Hanya di tempat ini kita bisa berteduh. Kalau kamu tidak mau tidur di sini, silakan tidur di atas pohon,” jawab Nari jutek.“Setidaknya kan kita bisa berjalan lebih jauh lagi untuk mencari tempat yang lebih layak untuk tidur.”“Sudahlah. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk. Kalau kamu tidak mau tidur, itu terserahmu.”Nari sudah mengambil tempat dan bersiap untuk memejamkan matanya.Sepuluh menit berlalu, aku masih belum siap untuk membiarkan pakaianku menyentuh lantai. Tidak rela rasanya membiarkan pakaian ini menyapu debu-debu yang menempel di lantai.
“Pulangkan aku ke bumi!”Nari terus saja meminta padaku untuk membawanya kembali ke bumi. Aku pun mengantarnya ke salah satu tempat di Kerajaan Langit yang terdapat lubang cukup besar.Nari menutup mulut dengan sebelah tangannya ketika melihat ke bawah. “Sulit untuk dipercaya. Itu adalah bumi tempatku tinggal?” katanya sembari menunjuk ke arah bumi.“Ya. Seperti yang bisa kita lihat.”Dari tempat kami saat ini, kami dapat melihat aktivitas orang-orang di bumi. Karena hari sudah gelap, lampu-lampu jalanan terlihat menyilaukan.“Bagaimana caraku bisa sampai ke bawah?” tanyanya.“Mudah saja. Kau tinggal turun melalui lubang ini.”“Apa kau bercanda?”“Aku serius. Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?”“Tapi, ini sangat tinggi. Aku tidak yakin masih bisa selamat jika terjun dari ketinggian seperti ini.” Nari menatap