Aku dapat merasakan tubuhku meluncur turun. Jauh. Sangat jauh. Ke bawah.
Bluk!
Akhirnya, tubuhku berhenti melayang.
"Pangeran, kau tidak apa-apa?"
Aku dengan perlahan mencoba untuk membuka mata. Kudapati kedua pengawalku yang melihatku dengan tatapan penuh rasa khawatir.
"Aku tidak apa-apa," jawabku akhirnya.
Aku pun bangun, melihat ke sekeliling. Mencoba untuk menerka-nerka di mana gerangan kami berada saat ini.
Tempat ini sangat asing bagiku. Hari sedang gelap namun banyak benda bergerak yang mengeluarkan cahaya.
TIN TIINN TIIINNN!!!
Suara berisik itu bersahut-sahutan, memekakkan telinga.
Suara apa gerangan itu? Apakah kami belum terbebas dari kejaran Raja Petir? Aku masih tidak mengerti.
"Hei, apa yang kalian lakukan di sana? Cepat minggir, kalian menghalangi jalanku," teriak seseorang yang sedang mendongakkan badannya dari dalam boks besar.
"Kalau tidak mau ditabrak, cepat minggir dari sana!" teriak yang lainnya.
"Kenapa malah diam saja, cepat bangun dan menyingkir dari sana!" satu lagi orang lainnya berteriak ke arah kami.
Aku masih sibuk mencerna hal yang sedang terjadi. Otakku masih belum dapat memahami kejadian ini. Mengapa orang-orang itu berteriak keras ke arah kami? Apa mereka tidak tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Langit! Berani-beraninya mereka bertindak tidak sopan seperti itu!
"Si.. siaapaa mereka? Kenapa mereka berteriak-teriak begitu?" tanyaku.
Orang-orang yang menaiki benda asing itu mengelilingi kami dari berbagai penjuru arah. Bukan hanya suara berisik dari benda yang dinaiki itu saja yang menggangguku, tapi cahaya dari benda itu juga membuatku berada di posisi sulit. Mataku sangat silau dibuatnya.
"Aku juga tidak mengerti, Pangeran."
"Mereka telah mengepung kita, Pangeran. Sebaiknya kita pergi dari sini."
Aku pun mengikuti kedua pengawal yang menuntunku untuk bergerak menjauh dari tempat itu. Saat kutolehkan pandangan ke belakang, kulihat benda-benda asing tersebut bergerak dengan cepat. Kerumunan tadi pun sudah tak ada lagi. Meninggalkanku yang masih bengong melihat pemandangan di hadapanku.
"Kalian lihat itu?"
"Aku melihatnya dengan jelas, Pangeran," sahut pengawalku.
"Aku pun melihatnya," sahut pengawalku yang satunya lagi.
"Benda apa itu? Kenapa benda itu bergerak dengan sangat cepat?"
"Aku tidak tahu, Pangeran. Aku baru pertama kali melihatnya."
"Aku pun demikian. Benda itu tidak ada di Kerajaan Langit."
Benar, benda itu tidak ada di Kerajaan Langit. Jelas saja kami tidak pernah melihat benda tersebut sebelumnya.
Aku mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru. Tempat ini terasa asing.
"Di mana kita sekarang?" tanyaku lagi.
"Ini bukan Kerajaan Langit."
"Ini tempat asing, Pangeran."
Aku pandangi kedua pengawalku secara bergantian.
"Aku juga tahu ini bukan Kerajaan Langit," teriakku keras. Sejak kapan kedua pengawalku ini jadi tidak berguna seperti sekarang?
"Ma.. maaff.. kkan kami, Pangeran."
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kedua pengawalku yang menunjukkan wajah penuh penyesalan itu. Mereka bersujud memohon pengampunan.
"Sudah, sudah. Cepat bangun!"
Keduanya pun seketika segera bangkit berdiri.
"Ke mana kita harus pergi sekarang?"
"Sebaiknya kita pergi dari sini, Pangeran."
"Benar. Kita harus mencari jalan menuju Kerajaan Langit, Pangeran."
Amarahku mulai meledak mendengar perkataan mereka.
"Aku tahu kita harus pergi dari sini dan kembali ke Kerajaan Langit. Tapi, bagaimana caranya?" teriakku keras.
Kriiukk… kriiiuuukkk…
Tiba-tiba muncul suara aneh.
"Suara apa itu?" tanyaku dengan sikap waspada. Takut ada benda asing lainnya yang bersiap untuk menyerang.
"Suaranya terdengar sangat dekat," salah satu pengawalku langsung bersiap untuk menghadang orang yang ingin menyerangku.
"Ii.. ttuu suara perutku, Pangeran."
Gedubrak! Rupanya, itu adalah suara perut salah satu pengawalku.
"Kurang ajar sekali perutmu itu. Kenapa berani-beraninya mengeluarkan suara keras di saat menegangkan seperti sekarang?"
"Maaf, Pangeran. Selama pesta tadi, aku masih bertugas sehingga belum makan sedikit pun."
Ck! Apa boleh buat, memang sudah tugasnya untuk menjaga keamanan selama pesta.
"Pertama-tama, mari kita cari makanan terlebih dahulu."
Kami bertiga pun beranjak dari tempat tersebut, melangkah tanpa arah, mencoba mencari apa pun itu yang dapat dimakan.
Tak lama berselang, aku mencium aroma yang sangat menggiurkan.
"Bau apa ini?"
"Sepertinya bau makanan."
"Bau daging bakar!" ucap pengawalku.
Kuendus-enduskan hidungku, mencoba menelusuri bau tersebut.
"Tampaknya asal bau ini dari sana, Pangeran."
Pengawal menunjuk ke arah salah satu bangunan. Satu per satu orang masuk dan keluar dari tempat tersebut. Kami pun mengintip ke dalam tempat itu. Ada banyak orang duduk di sana sambil melahap makanan lezat.
"Sepertinya kita bisa makan di sini," ujarku setelah melihat orang-orang yang tengah makan di dalam. Mereka tampak sangat menikmati hidangan yang disajikan. Satu hal yang terpenting yaitu tidak ada tanda-tanda orang keracunan.
Kami pun masuk ke dalam dan duduk di salah satu tempat kosong. Satu orang pelayan datang menghampiri kami.
"Selamat datang. Ini menunya," ucap pelayan itu sambil menyodorkan sebuah buku.
"Bawakan kami makanan," ucapku kemudian.
"Baik. Mau pesan apa?" tanya pelayan itu.
Aku secara bergantian memandang pengawalku.
"Bawakan saja kami makanan!" ucapku lagi.
"Iya, tapi makanan apa yang ingin kalian pesan?" tanya pelayan itu lagi dengan nada yang lebih tinggi.
"Berani-beraninya kau meminta Pangeran untuk mengulangi perkataannya," kata pengawalku langsung bangkit dari duduknya.
Pelayan di hadapan kami langsung mengernyitkan dahinya.
Aku memberi isyarat ke pengawalku untuk menghentikan tindakannya. Kami harus makan untuk bisa bertahan di tempat asing ini. Aku pun melihat ke sekeliling. Memperhatikan orang-orang yang sedang melahap makanannya.
"Bawakan makanan yang sama seperti di meja itu," kataku sambil menunjuk ke salah satu meja.
"Baiklah, tunggu sebentar," pelayan itu pun menghilang dari hadapan kami.
Tak lama setelahnya, ia datang membawa banyak makanan.
"Selamat menikmati," ujar pelayan itu sebelum pergi.
Aku terpesona melihat begitu banyaknya makanan yang terhidang di hadapan kami. Aroma lezatnya semakin menggoda cacing-cacing di perutku. Kami pun melahap makanan-makanan itu dengan lahap. Rasanya sangat lezat. Belum pernah aku mencicipi makanan selezat ini sebelumnya.
"Rasanya sangat luar biasa, Pangeran."
"Koki Kerajaan Langit harus belajar lagi untuk bisa memasak makanan seperti ini."
Aku hanya mengangguk kecil, menyetujui ucapan para pengawalku. Mulutku masih penuh dengan makanan sehingga tidak bisa menjawab perkataan mereka.
Tak lama kemudian, hidangan di atas meja pun telah habis. Semua hidangan itu telah masuk ke dalam perut kami. Saking kenyangnya, aku merasa kesulitan untuk bergerak.
"Sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan," ucapku kemudian.
Kami pun bergegas bangun dan bersiap untuk meninggalkan tempat tersebut. Pelayan yang tadi kembali menghampiri kami.
"Bagaimana makanannya?" tanyanya.
Aku mengacungkan kedua ibu jariku. "Sangat lezat."
"Berkat makanan tadi, kami bisa melanjutkan perjalanan."
"Terima kasih atas pujiannya. Ini tagihannya," kata pelayan tersebut sembari menyodorkan selembar kertas.
Aku tak mengerti dengan maksud pelayan tersebut.
"Terima kasih atas masakannya," ucapku kemudian. "Ayo kita lanjutkan perjalanan," kataku ke pengawal.
Kami pun melangkah untuk meninggalkan tempat tersebut.
"Tunggu dulu! Kalian harus bayar makanannya tadi," ujar pelayan itu menghalangi jalan kami.
"Berani-beraninya kau menghalangi jalan kami," ucap pengawalku.
"Kalau kau tidak ingin jalanmu dihalangi, bayar dulu makanannya!"
Aku tidak mengerti dengan maksud dari ucapan pelayan tersebut.
"Jangan bilang kalian tidak punya uang untuk membayar makanan yang sudah kalian makan tadi."
"Uang?" ulangku. "Apa itu?"
"Alat pembayaran! U-ang!"
"Kami akan membayarmu dengan penghargaan dari Kerajaan Langit."
Pelayan itu mendekat ke arahku. Wajahnya kini sangat dekat dengan wajahku.
"Apa maksudmu? Jangan bercanda. Ini bukan Kerajaan Langit, ini bumi!"
Aku memejamkan mataku. Cukup lama. Aku mencoba untuk mencerna perkataan pelayan tersebut."Ini bukan Kerajaan Langit, ini bumi!"Kata-katanya itu terus berputar di kepalaku. Bumi. Akhirnya teka-teki ini terjawab. Rupanya, aku terjatuh ke bumi! Mengapa tidak terpikirkan sebelumnya olehku?Aku pun membuka mataku lebar-lebar. Berharap tubuhku dapat kembali ke Kerajaan Langit. Sayangnya, aku masih berada di tempat yang sama. Di hadapanku, pelayan itu menatap lekat diriku. Kulihat kilatan kemarahan di kedua bola matanya. Aku pun terkejut melihat hal tersebut. Kilatan mata itu membuat diriku teringat kembali dengan Raja Petir. Bulu kudukku pun langsung merinding dibuatnya."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya seorang pria bertubuh jangkung.
Aku berlari dan terus berlari. Seorang diri. Dua pengawalku berada entah di mana. Sekelilingku gelap. Aku tak mampu melihat dengan jelas jalan di depanku. Meski begitu, aku tetap terus berlari.Rasanya seperti berada di dalam api. Aku merasa sekujur tubuhku sangat panas."Pangeran… Pangeran…"Aku mendengar suara pengawal yang berulang kali memanggil namaku. Terus kulangkahkan kaki, berlari mencari sumber suara."Pangeran, kau mendengarku?"Berulang kali aku tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Aneh, aku tak dapat menemukan sumber suara itu. Di mana sebenarnya mereka?"Hei, cepat bangun!"Suara melengking itu
Keesokan harinya, aku terbangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Badanku tidak terasa panas lagi. Aku tidur dengan sangat nyenyak kemarin. Aku bersyukur karena meskipun ranjang yang kutiduri saat ini tidak seempuk ranjangku di Kerajaan Langit, setidaknya aku tidak bermimpi buruk. Aku malah tidak terbangun sampai akhirnya suara berisik Nari menyadarkanku dari tidur.“Suhu tubuhmu sudah normal. Bangunlah dan makan sarapanmu,” ujar Nari.Aku langsung beranjak dari ranjang. Perutku sudah sangat keroncongan. Kami berempat duduk melingkar mengelilingi meja bundar di ruangan tersebut. Langsung kusantap dengan lahap makanan yang disodorkan oleh Nari. Makanan di mangkukku sedikit demi sedikit langsung berpindah ke dalam perutku.“Bagaimana, makanan buatanku enak, kan?” tanya Nari.
Setelah berpisah dengan Nari, aku melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Langit bersama dengan Kenji dan Masaki. Kami bertiga terus melangkah meski tak tahu betul arah mana yang harus dituju agar bisa kembali ke Kerajaan Langit.Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tingkah laku manusia di sekeliling. Mereka semua tampak aneh di mataku. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka menggenggam benda kecil berbentuk persegi panjang. Pria dewasa berpakaian rapi mendekatkan benda tersebut di telinganya kemudian terus berbicara seorang diri, padahal tidak ada orang di hadapannya. Dua orang gadis duduk di taman sambil memegang benda serupa. Mereka tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah benda tersebut. Tak hanya sampai di situ, di bangku taman lainnya ada seorang anak kecil. Awalnya, sang anak menangis kencang, namun tiba-tiba tangisan tersebut berubah menjadi senyum begitu sang ayah menyodorkan bend
Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut
Nari berdiri di hadapan kami bertiga dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya kembali.“Kalian sadar apa yang telah kalian lakukan tadi itu salah?” ujar Nari.Aku sadar kalau pertanyaannya tadi adalah kalimat pembuka dari omelannya.“Apanya yang salah? Kami cuma makan onigiri,” jawabku dengan nada tidak bersalah.“Aku kan sudah membekali kalian dengan onigiri!”“Iya, tapi kau hanya memberikan kami 3 onigiri sehingga masing-masing dari kami hanya bisa makan satu saja sedangkan kami tadi sudah berlari jauh, menghindar dari kejaran pria sangar,” kataku membela diri.“Hah? Aku tidak
Aku menatap lekat wanita di hadapanku. Ia menatap balik ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya.Siapa sangka aku bisa bertemu dengan Putri Matahari di bumi? Cara berpakaiannya sudah benar-benar menyerupai manusia bumi lainnya. Apa hanya aku saja yang belum terbiasa dengan pakaian manusia bumi yang sekarang aku kenakan ini?Perasaan kaget dan senang berkecamuk di dadaku. Aku kaget lantaran Putri Matahari ternyata juga terjatuh ke bumi. Aku pun senang karena bisa menemukan makhluk kerajaan atas lainnya yang juga jatuh di bumi.Terlepas dari bagaimana perasaanku saat ini, aku sangat ingin mengetahui apa yang ada di pikiran wanita yang ada di hadapanku ini.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.“Putri Matahar
Aku berdiri mematung di pinggir lapangan olahraga. Pandangan mataku lurus menatap Kenji dan Masaki yang sedang memberikan arahan ke anak-anak kelas 1 E.Setelah melewati wawancara singkat dengan wanita yang biasa dipanggil Inoue Sensei, Kenji diterima menjadi guru olahraga sementara di sekolah ini. Masaki yang tak mau kalah, langsung melobi agar bisa diterima juga untuk mengajar. Akhirnya, Masaki juga diterima. Ia menjadi asisten Kenji. Dengan begini, mereka pun bisa lebih lama berada di sekolah ini. Yah, meskipun hanya sementara juga sih. Sampai guru olahraga yang sebenarnya kembali dari kampungnya di Fukuoka. Sebelum saat itu tiba, aku harus mencari tahu lebih banyak hal lagi tentang Hikari. Aku masih dibuat penasaran lantaran dirinya dan Putri Matahari sudah seperti pinang dibelah dua. Tidak ada bedanya dari segi fisik.Sementara Kenji dan Masaki