Aku memejamkan mataku. Cukup lama. Aku mencoba untuk mencerna perkataan pelayan tersebut.
"Ini bukan Kerajaan Langit, ini bumi!"
Kata-katanya itu terus berputar di kepalaku. Bumi. Akhirnya teka-teki ini terjawab. Rupanya, aku terjatuh ke bumi! Mengapa tidak terpikirkan sebelumnya olehku?
Aku pun membuka mataku lebar-lebar. Berharap tubuhku dapat kembali ke Kerajaan Langit. Sayangnya, aku masih berada di tempat yang sama. Di hadapanku, pelayan itu menatap lekat diriku. Kulihat kilatan kemarahan di kedua bola matanya. Aku pun terkejut melihat hal tersebut. Kilatan mata itu membuat diriku teringat kembali dengan Raja Petir. Bulu kudukku pun langsung merinding dibuatnya.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya seorang pria bertubuh jangkung.
Pelayan tadi langsung gelagapan. Dari raut wajahnya, aku pun tahu bahwa pelayan itu takut dengan si pria yang baru datang. Mungkinkah pria tersebut raja di tempat ini?
Pengawalku langsung siaga melihat kedatangan si pria. Berjaga-jaga bila pria itu berniat menyerangku.
"Pelanggan ini belum membayar makanannya," ucap si pelayan.
Pria tadi pun menyeret si pelayan dari hadapan kami, memintainya penjelasan. Aku merasa lega karena terbebas dari kilatan mata pelayan tadi. Bisa kulihat bahwa pelayan itu habis dimarahi oleh si pria. Tidak salah lagi, pria itu pasti sosok yang berkuasa di tempat ini.
Setelah bosan memarahi pelayan tersebut, si pria menyuruh pelayan itu ke luar dari tempat ini. Pelayan lainnya juga menyuruh kami keluar.
"Pergi dari sini! Kalian mengganggu pelanggan lainnya," ucap si pria sebelum membiarkan kami pergi.
Pria itu berani mengusirku dari tempatnya! Awas saja, tidak akan kubiarkan dia mengunjungi Kerajaan Langit.
Tiba-tiba, aku merasakan ada yang memperhatikanku. Saat kupalingkan wajah, aku melihat pelayan tadi menatapku tajam dengan kilatan penuh kemarahan di kedua matanya. Lagi-lagi, kilatan itu membuatku bergidik.
"Ini semua gara-gara kalian bertiga! Karena kalian tidak membayar makanan tadi, aku dipecat dari restoran ini!" katanya dengan nada penuh kemarahan.
"Tenanglah, sudah kukatakan bahwa kau akan kuberikan penghargaan dari Kerajaan Langit," ujarku berusaha menenangkannya.
"Berhenti bicara omong kosong! Sudah kubilang ini bukan Kerajaan Langit. Ini bumi!"
Oh, ya! Aku hampir lupa kalau aku sedang berada di bumi saat ini.
"Apa kau tahu jalan menuju Kerajaan Langit?" tanya pengawalku.
Pelayan itu menatap kami dengan tatapan heran. Ia memandang kami dari atas hingga ke bawah.
"Apa kalian gila?"
Berani-beraninya dia bertanya seperti itu!
"Ini bu-mi," katanya sambil menunjuk ke bawah. "Itu la-ngit," sambungnya sambil menunjuk ke atas. "Pakaian kalian sangat aneh, apa kalian sedang berakting?"
"Jangan banyak tanya, cepat beri tahu kami jalan menuju Kerajaan Langit!" bentak pengawalku.
Pelayan itu mengembuskan napas kesal. "Sudahlah. Aku lelah meladeni tingkah laku kalian," ujarnya. "Selamat tinggal, semoga selamat menuju Kerajaan Langit," katanya seraya bergerak menjauh. Sosoknya pun menghilang dari hadapan kami. Meninggalkan aku dan kedua pengawalku.
"Tampaknya kita harus mencari tahu sendiri jalan untuk kembali ke Kerajaan Langit," ucapku.
Kutengadahkan kepalaku ke atas. Langit. dengan lekat. Warnanya hitam. Langit saat ini sangat gelap. Tidak ada matahari, bulan, maupun bintang yang menghiasinya.
Tik tik tik.
Aku dapat merasakan air yang menetes dari atas. Perlahan, tetesan tersebut semakin deras. Hujan! Kami pun panik. Hujan turun semakin deras, mengguyur kami. Pakaianku basah dibuatnya.
"Pangeran, ayo lari. Kita harus mencari tempat yang aman untuk berlindung."
Aku pun berlari mencari tempat untuk berteduh, diiringi oleh kedua pengawalku. Kami berhenti di bawah sebuah pohon.
"Untuk sementara kita bisa berlindung di sini, Pangeran."
Kedua pengawalku mengipas-ngipasiku dengan tangan mereka. Berusaha untuk membuat pakaianku kering. Namun, hal itu percuma saja. Pasalnya, hujan jatuh melalui sela-sela dedaunan. Ia kembali membasahiku.
"Ini gawat, Pangeran. Hujan turun semakin deras. Kita harus mencari tempat berlindung yang lebih aman."
"Salah satu dari kalian, cepat pergi dan temukan tempat yang lebih layak untuk berlindung," ucapku. Suaraku agak bergetar. Tubuhku sedikit menggigil. Tidak dapat kututupi, aku sedang kedinginan. Bagaimana pun juga, aku harus tetap bertahan. Segera mungkin, akan kutemukan cara untuk kembali pulang.
"Baik, Pangeran. Tunggulah dulu di sini."
Salah satu pengawalku langsung bergegas pergi. Sesaat kemudian, ia kembali lagi.
"Di sana ada bangunan beratap, sepertinya kita bisa menjadikannya tempat untuk berlindung untuk sementara waktu."
Tidak menunggu lama, aku pun bergerak mengikuti arahan pengawalku. Aku berhenti di sebuah bangunan yang dimaksud. Berlindung di bawahnya. Kami pun terlindung dari guyuran hujan. Sayangnya, kami tidak bisa menghindar dari angin yang berembus. Angin yang cukup kencang membuatku semakin kedinginan. Bukan hanya diriku, kedua pengawalku pun menggigil di sampingku.
"Pangeran, kau baik-baik saja?"
"Pangeran, biar aku peluk agar kau tidak kedinginan."
Kedua pengawalku memeluk tubuhku. Berusaha membuatku merasa hangat. Aku merasa sedikit lebih baik. Namun, keadaan ini membuatku merasa sedikit risih.
"Hmm!"
Suara keras itu mengalihkan perhatianku. Kulihat pelayan di tempat makan tadi kini berada di hadapanku. Lagi-lagi, kami bertemu dengannya.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya dengan tatapan penuh rasa heran.
Aku pun menjadi kikuk. Segera aku jauhkan kedua pengawalku yang sedang memelukku.
"Jangan salah paham. Ini tidak seperti yang kau bayangkan," ucapku berusaha meluruskan keadaan.
Ia masih saja menatap kami dengan penuh keheranan. Tampaknya ia tidak mau mendengarkan penjelasanku.
"Sudah kuduga, kalian memang aneh. Betapa sialnya nasibku hari ini. Kenapa aku bisa bertemu dengan kalian lagi? Jangan bilang bahwa kalian mengikutiku dari tadi!"
"Jangan sembarangan, kami yang lebih dulu sampai di sini."
"Benar, kami yang duluan ada di sini lalu kau tiba-tiba saja muncul. Jangan-jangan, kau yang diam-diam mengikuti kami dari tadi."
Aku yang tengah sibuk menghangatkan diri, hanya diam saja melihat kedua pengawalku beradu mulut dengan pelayan itu.
"Sedang apa kalian di sini?"
"Kau bisa lihat sendiri, kan. Kami sedang berlindung dari serangan hujan."
"Kalian tidak membawa payung? Tubuh kalian basah kuyup begitu."
Payung? Apa lagi itu?
Kuperhatikan orang itu. Tubuhnya tidak basah. Aneh. Padahal hujan sedang turun dengan sangat derasnya, bagaimana mungkin tubuhnya tetap kering seperti itu? Sepertinya aku terlalu menganggap remeh dirinya. Apa mungkin ia memiliki kekuatan tak terduga?
"Kenapa diam saja? Pa-yung, kalian tidak membawanya?" tanyanya seraya menggoyang-goyangkan benda yang sedang dibawanya.
Oh! Jadi itu payung.
Jika menggunakan benda itu, kami bisa melanjutkan perjalanan tanpa takut diguyur hujan.
"Berikan payung itu padaku," ujarku.
"Apa maksudmu?"
"Kami harus segera kembali ke Kerajaan Langit. Kami perlu payung itu agar bisa terlindung dari hujan dan bisa melanjutkan perjalanan."
"Hah! Kamu memang suka seenaknya saja. Jika kamu ingin aku meminjamkan payung ini, seharusnya kamu berbicara lebih sopan padaku."
"Berani-beraninya kau menolak permintaan Pangeran! Cepat serahkan payung itu pada kami."
Pelayan itu tampak sangat jengkel. Ia mengayunkan payung itu ke arah kami.
"Kalian sangat KURANG AJAR!!!" teriaknya keras.
DAR DAR DAAARR!!!
Saat itu, aku melihat petir menyambar dengan sangat keras di belakang tubuhnya. Aku terkejut melihat pemandangan di hadapanku. Kepalaku mendadak pening.
Bruk!
Pandanganku langsung gelap.
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor