Aku berlari dan terus berlari. Seorang diri. Dua pengawalku berada entah di mana. Sekelilingku gelap. Aku tak mampu melihat dengan jelas jalan di depanku. Meski begitu, aku tetap terus berlari.
Rasanya seperti berada di dalam api. Aku merasa sekujur tubuhku sangat panas.
"Pangeran… Pangeran…"
Aku mendengar suara pengawal yang berulang kali memanggil namaku. Terus kulangkahkan kaki, berlari mencari sumber suara.
"Pangeran, kau mendengarku?"
Berulang kali aku tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Aneh, aku tak dapat menemukan sumber suara itu. Di mana sebenarnya mereka?
"Hei, cepat bangun!"
Suara melengking itu mengejutkanku. Suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Suara si pelayan di tempat makan!
Perlahan, meskipun terasa berat, aku pun membuka mata. Setelah berhasil membuka mata, aku melihat tiga pasang mata yang menatapku dengan lekat. Dua pengawal menatapku dengan tatapan khawatir. Sementara itu di lain pihak, si pelayan di tempat makan menatapku dengan pandangan penuh rasa jengkel.
"Akhirnya kamu bangun juga!" katanya ketus.
"Pangeran, kau bisa melihatku?"
"Apa kau sudah merasa baikan, Pangeran?"
Aku mencoba mencerna hal yang sedang terjadi. Kepalaku terasa pening. Mataku terasa sedikit panas. Tubuhku terlalu lemah untuk bangkit dari tidur.
"Syukurlah, tampaknya panasmu sudah turun," ucap pelayan itu setelah melihat benda kecil yang tadi didekatkannya kepadaku.
"Apakah masa kritisnya sudah berakhir?"
"Ya, bisa dibilang seperti itu. Setelah minum obat dan beristirahat, besok tentu keadaannya akan membaik."
"Terima kasih. Terima kasih banyak. Kau telah menyelamatkan nyawa pangeran kami."
"Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku?" tanyaku dengan suara lemah.
"Apa Pangeran tidak ingat? Kau tadi tiba-tiba tidak sadarkan diri. Tubuhmu menggigil dan terasa sangat panas. Untungnya, orang ini punya ilmu seperti tabib, ia berhasil menyelamatkan nyawamu, Pangeran."
Kucoba mengingat kembali peristiwa itu. Seketika, bulu kudukku langsung berdiri. Bagaimana tidak? Aku sangat terkejut saat pelayan itu mengayunkan payungnya ke arahku dan di saat bersamaan, petir menyambar dengan kerasnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba menghantuiku. Tidak, mungkin itu hanya kebetulan saja. Ia telah menyelamatkan nyawaku. Bila ini adalah Kerajaan Langit, pelayan itu pasti sudah dihadiahi banyak perhiasan. Sayangnya, kami ada di bumi. Aku tak membawa hadiah yang dapat kuberikan untuknya.
"Aku bukan tabib, aku juga tidak tahu banyak tentang ilmu kedokteran. Aku hanya mengompres dan memberikanmu obat. Panasmu tadi mencapai empat puluh derajat. Pantas saja kamu pingsan. Sekarang suhu tubuhmu sudah turun menjadi tiga puluh tujuh koma lima. Setidaknya, kondisimu tentu sudah jauh lebih baik dibandingkan tadi."
Masih terdengar nada kurang bersahabat di suaranya. Tapi, kuacuhkan hal itu. Hal terpenting adalah dia sudah menyelamatkanku.
"Terima kasih, pelayan."
"Hah! Apa katamu tadi?"
"Terima kasih."
"Bukan itu maksudku. Kamu sebut diriku apa?"
"Pelayan."
Bibirnya langsung komat-kamit mendengar jawabanku. Apa ada yang salah dengan perkataanku tadi?
"Sembarangan saja menyebutku begitu. Aku bukan pelayanmu!" ucapnya kesal.
"Tapi, kau kan pelayan di tempat makan tadi."
"Iya, tapi aku punya nama! Namaku bukan pelayan," ucapnya dengan nada melengking. Suaranya benar-benar memekakkan telinga. "Satu lagi. Aku sudah dipecat dari restoran dan itu gara-gara ka-li-an," katanya sambil menunjuk ke arah kami satu per satu.
"Lalu, aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?" tanyaku akhirnya.
"Panggil saja aku Nari. Itu namaku. Nari! Jangan panggil aku pelayan lagi."
"Nari," ulangku pelan.
"Lalu, siapa namamu?" tanyanya.
"Aku? Aku Pangeran Langit," sahutku memperkenalkan diri.
Biasanya, aku tidak perlu repot-repot untuk memperkenalkan diri. Pasalnya, orang-orang di kerajaan tetangga pun sudah tahu sosokku. Tapi, sekali lagi kuingatkan pada diri sendiri bahwa ini adalah bumi. Tempat yang terpisah jauh dari Kerajaan Langit. Aku pun berusaha untuk maklum bila orang-orang di sini tidak mengenaliku.
"Berhenti bermain-main denganku! Cepat sebutkan saja namamu."
Kepalaku masih sedikit sakit. Aku merasa tidak kuat untuk berlama-lama meladeni si Nari ini. Alhasil, kubiarkan pengawalku yang menangani hal ini.
"Berani-beraninya kau meminta pangeran untuk menyebutkan namanya. Asal kau tahu, di Kerajaan Langit tidak ada yang berani menyebut nama pangeran."
"Sudah kubilang ini bukan Kerajaan Langit. Ini BUMI! Di bumi, setiap orang memanggil orang lainnya dengan nama mereka. Cepat, sebutkan saja nama kalian."
Tampaknya aku harus mulai memaklumi hal-hal yang menjadi kebiasaan makhluk bumi. Aku harus bertahan sementara waktu di sini.
"Namaku Sora," jawabku akhirnya.
"Lalu kalian?"
"Aku Kenji."
"Aku Masaki."
"Ternyata kalian punya nama juga."
"Apa kau bisa membuat keadaanku membaik sesegera mungkin?"
"Tentu saja."
"Bagaimana caranya?"
"Lepaskan pakaian anehmu itu!"
"Apa? Pakaian aneh? Ini adalah pakaian kebanggaan Kerajaan Langit."
"Tapi pakaian itu basah kuyup. Lihat saja, ranjang dan lantai di rumahku ini jadi basah karenanya! Bila kau ingin panasmu segera turun, cepat lepaskan saja pakaian yang kamu pakai itu.”
Nari mendekat ke arahku, berusaha untuk melepaskan pakaianku. Tentu saja hal ini tidak aku biarkan. Kuberikan isyarat ke pengawalku untuk menghalau Nari.
“Oh, jadi kamu tidak mau mengikuti perkataanku. Baiklah. Pertama-tama, kalian berdua dulu yang harus membuka pakaian kalian!”
Hal selanjutnya yang terjadi yaitu Nari berlarian mengejar dua pengawalku. Mereka sudah seperti tikus dan kucing.
“Kenapa kalian malah berlari? Kalian takut padanya?” tanyaku heran.
“Kami para prajurit Kerajaan Langit tidak bisa bertempur melawan wanita. Hal itu dilarang.”
Setelah lima belas menit berlarian, Nari tampak mulai kelelahan.
“Sudah, menyerahlah. Mereka adalah prajurit yang sudah dilatih dengan ketat. Kau tidak akan bisa menandingi ketangkasan mereka,” ujarku berusaha menghentikan Nari yang masih tidak ingin menyerah.
“Huh! Kalian menganggap remeh diriku, hah? Awas saja kalau sampai kalian tertangkap olehku.”
Nari kemudian mengambil sebuah sapu yang ada di dekatnya. Tak berselang setelahnya, ia mengayunkan sapu tersebut ke arah para pengawalku. Kedua pengawalku itu awalnya berhasil menghindar, namun Nari mengayunkan sapu itu semakin garang. Alhasil, Nari pun berhasil menaklukkan mereka. Mengaku kalah, keduanya dengan berat hati menuruti perkataan Nari untuk melepaskan pakaian yang mereka kenakan. Mereka berganti pakaian menjadi pakaian yang mirip dengan yang dikenakan Nari.
Setelah tersenyum puas melihat para pengawalku berganti pakaian, Nari kini melirik ke arahku. Aku paham maksud dari lirikan matanya itu.
“Apa yang hendak kau lakukan? Ingat, aku adalah pasien,” ucapku seraya meringkik di ranjang.
“Pasien seharusnya menuruti perkataan orang yang merawatnya!”
Nari menghambur ke arahku. Dia berniat melucuti pakaianku dengan paksa. Aku yang masih lemas hanya bisa pasrah dibuatnya.
“Kenapa kalian diam saja? Cepat bantu dia untuk mengganti pakaiannya!” ujar Nari pada pengawalku. Aku bengong melihat dirinya. “Mengapa menatapku seperti itu? Kau tidak berpikir kalau aku yang akan menggantikan pakaianmu, kan?
Note:
Sora (hiragana: そら, kanji: 空) = langit
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor
Kami langsung bergegas menuju lantai 10. Aku sudah meminta Kenji dan Masaki untuk membelikan pakaian yang sekiranya pantas dikenakan oleh Nari. Aku dan Nari pun segera berganti pakaian.Hari ini adalah hari pertama Nari bekerja di perusahaan kami. Niji aku mintai bantuan untuk mengarahkan Nari selama bekerja. Sementara itu, hari ini aku mendapat tugas untuk berkomunikasi dengan editor MM dan Hoshie terkait dengan rencana pemasaran kami. Kebetulan, editor MM yang bertanggung jawab kali ini adalah Mizuki. Jadilah aku, Mizuki, dan Hoshie duduk bertiga di ruang rapat.“Aku tidak menyangka bahwa kamu adalah anak dari pemilik perusahaan besar sekelas SkyLight,” ucap Mizuki saat kami kembali bertemu setelah sekian lama.“Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan dipekerjakan oleh orang sepertimu,” kata Hoshie.Bila menilik ke belakang, saat aku bekerja bersama Mizuki dan Hoshie, penampilanku sangat sederhana. Aku saat itu tidak memiliki uan
Kriiaat krrrieeeetBunyi berderit itu kerap timbul setiap aku melangkahkan kaki di dalam bangunan tua, tempat kami akan bermalam hari ini.“Apa kau yakin akan tidur di tempat ini?”Melangkahkan kaki saja aku sudah ragu-ragu, bagaimana mungkin aku bisa tidur di dalam ruangan tua dan berdebu seperti ini?“Kamu lihat sendiri, kan. Hanya di tempat ini kita bisa berteduh. Kalau kamu tidak mau tidur di sini, silakan tidur di atas pohon,” jawab Nari jutek.“Setidaknya kan kita bisa berjalan lebih jauh lagi untuk mencari tempat yang lebih layak untuk tidur.”“Sudahlah. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk. Kalau kamu tidak mau tidur, itu terserahmu.”Nari sudah mengambil tempat dan bersiap untuk memejamkan matanya.Sepuluh menit berlalu, aku masih belum siap untuk membiarkan pakaianku menyentuh lantai. Tidak rela rasanya membiarkan pakaian ini menyapu debu-debu yang menempel di lantai.
“Pulangkan aku ke bumi!”Nari terus saja meminta padaku untuk membawanya kembali ke bumi. Aku pun mengantarnya ke salah satu tempat di Kerajaan Langit yang terdapat lubang cukup besar.Nari menutup mulut dengan sebelah tangannya ketika melihat ke bawah. “Sulit untuk dipercaya. Itu adalah bumi tempatku tinggal?” katanya sembari menunjuk ke arah bumi.“Ya. Seperti yang bisa kita lihat.”Dari tempat kami saat ini, kami dapat melihat aktivitas orang-orang di bumi. Karena hari sudah gelap, lampu-lampu jalanan terlihat menyilaukan.“Bagaimana caraku bisa sampai ke bawah?” tanyanya.“Mudah saja. Kau tinggal turun melalui lubang ini.”“Apa kau bercanda?”“Aku serius. Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?”“Tapi, ini sangat tinggi. Aku tidak yakin masih bisa selamat jika terjun dari ketinggian seperti ini.” Nari menatap