Keesokan harinya, aku terbangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Badanku tidak terasa panas lagi. Aku tidur dengan sangat nyenyak kemarin. Aku bersyukur karena meskipun ranjang yang kutiduri saat ini tidak seempuk ranjangku di Kerajaan Langit, setidaknya aku tidak bermimpi buruk. Aku malah tidak terbangun sampai akhirnya suara berisik Nari menyadarkanku dari tidur.
“Suhu tubuhmu sudah normal. Bangunlah dan makan sarapanmu,” ujar Nari.
Aku langsung beranjak dari ranjang. Perutku sudah sangat keroncongan. Kami berempat duduk melingkar mengelilingi meja bundar di ruangan tersebut. Langsung kusantap dengan lahap makanan yang disodorkan oleh Nari. Makanan di mangkukku sedikit demi sedikit langsung berpindah ke dalam perutku.
“Bagaimana, makanan buatanku enak, kan?” tanya Nari.
Aku terdiam sejenak. Menatap pengawalku secara bergantian.
“Rasanya kurang enak,” jawabku kemudian.
“Apa katamu?”
“Rasanya hambar dan tidak ada daging sama sekali,” jawabku lagi.
Brak!
Nari memukul meja dengan keras. Membuat kami terkesiap.
“Cepat habiskan saja makanan kalian,” ujarnya kemudian dengan nada kesal.
Setelah makanan di mangkukku habis, aku menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
“Jadi, ini tempat tinggalmu?” tanyaku.
“Begitulah.”
Kurasa tempat ini bukan rumah. Bila dibandingkan dengan kamarku di Kerajaan Langit, tempat ini sangat sempit dan hanya terdiri dari dua kamar.
“Tempat tinggalmu sempit, ya. Tidak lebih luas dari ruang bacaku,” ucapku kemudian.
Nari langsung menatapku dengan bola mata membesar. Ia lantas menarik napas panjang.
“Sudahlah, aku sudah lelah menanggapi perkataanmu,” Nari lantas menelan habis makanannya. “Karena kalian sudah selesai makan, bereskan piring-piring ini.”
Aku menaikkan alisku mendengar perkataannya. Aku sudah akan membuka mulut saat pengawalku kemudian berkata, “Biarkan kami yang mencuci piring-piring ini, Pangeran bisa duduk saja di sini.”
Aku pun duduk santai sambil melihat kedua pengawalku mencuci piring dan merapikan meja.
“Aku heran dengan kalian bertiga,” ujar Nari. “Kenapa kalian terus saja menyebutnya dengan panggilan pangeran dan kamu selalu mengatakan bahwa mereka adalah pengawalmu?”
“Itu karena aku pangeran dan mereka adalah pengawalku,” jelasku dengan singkat dan padat.
Nari menggeleng-gelengkan kepala mendengar penjelasanku. “Terserah mau kamu menyebut diri sebagai pangeran dan mereka sebagai pengawalmu, tapi itu terdengar sangat aneh. Ini bukan zaman kerajaan.”
“Tapi kami tinggal di kerajaan.”
“Aku tidak mau mendengar penjelasanmu yang menyebut tentang Kerajaan Langit lagi. Ini adalah bumi. Manusia di bumi biasa memanggil manusia lainnya dengan nama mereka. Kalau kalian tidak ingin dianggap sebagai orang aneh, sebaiknya kalian memanggil satu sama lain dengan nama kalian.”
“Apakah sebutan kami seaneh itu?” tanyaku tak percaya.
“YA!”
“Aku tidak ingin dianggap sebagai orang aneh.”
“Maka dari itu, panggillah satu sama lain dengan nama kalian masing-masing.”
Dengan berat hati, aku berusaha menyebut pengawalku dengan nama mereka. “Ken… ji… Ma… sa… ki.”
“Sekarang giliran kalian, coba sebut namanya,” kata Nari ke Kenji dan Masaki.
Mereka tampak ragu.
“Pangeran, maafkan aku. Tolong jangan hukum aku karena sudah bertindak lancang,” kata Kenji.
“Aku juga minta maaf, Pangeran. Bukan maksudku untuk berbuat tidak sopan,” ujar Masaki.
“Bukankah sudah kukatakan untuk berhenti menyebutnya pangeran! Sebut saja namanya.”
“So.. ra…”
“Soo.. sora.”
“Nah, kalau seperti itu kan terdengar lebih baik,” ucap Nari senang. Ia tampak seperti guru yang berhasil melatih anak didiknya untuk berbicara. “Oh, ya. Aku sudah mencuci pakaian kalian. Ini dia. Pakaian kalian sudah bersih dan rapi,” lanjut Nari sembari menyodorkan pakaian ke hadapan kami.
“Wah, terima kasih. Akhirnya pakaianku kembali juga,” kataku senang.
“Eitss, tunggu dulu. Kalian harus berjanji padaku bahwa kalian tidak akan menggunakan pakaian ini lagi.”
“Mana bisa begitu! Ini adalah pakaian kebanggaan…”
“Kebanggan Kerajaan Langit. Kamu mau bilang begitu, kan? Sudah kukatakan ini bumi, bukan Kerajaan Langit. Selama di bumi, kalian tidak boleh mengenakan pakaian ini.”
“Kenapa?” tanyaku tidak mengerti.
“Karena jika kalian memakainya di bumi, kalian akan dianggap aneh.”
Kami tidak aneh! Ingin sekali aku berdebat dengannya. Namun, sepertinya itu akan sia-sia saja.
“Sebagai gantinya, ganti pakaian tidur kalian dan pakailah pakaian-pakaian ini.”
Di hadapan kami sudah ada beberapa pasang pakaian. Kami pun secara bergantian berganti pakaian.
“Kalian terlihat sangat cocok dengan pakaian-pakaian itu.”
“Pakaian siapa ini? Pakaian ini tidak terlihat seperti pakaian wanita,” tanyaku.
“Itu pakaian ayahku.”
“Ayahmu?” ucapku. “Lalu, di mana ayahmu sekarang?” tanyaku heran. Sejak kemarin aku tidak melihat keberadaan ayah Nari di tempat ini.
“Ia sedang pergi,” jawab Nari singkat.
“Kapan ayahmu kembali? Tidak sopan rasanya jika tidak mengucapkan salam kepada ayahmu.”
“Sejak kapan kamu memikirkan tentang sopan santun? Kamu saja selalu mengatakan hal-hal yang tidak sopan terhadapku.”
“Aku tidak merasa seperti itu. Aku hanya berkata apa adanya.”
“Ya ya ya. Terserah kau saja. Sekarang, apa rencana kalian?”
“Tentu saja kami akan melanjutkan perjalanan,” ucap Masaki.
“Perjalanan?”
“Ya, perjalanan menuju Kerajaan Langit,” lanjut Kenji.
“Baiklah, terserah kalian. Kalau begitu, aku mau bersiap-siap dulu.”
Nari beranjak masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian muncul kembali dengan berpakaian rapi.
“Kau mau pergi juga?” tanyaku setelah memperhatikan penampilan Nari.
“Ya, aku harus mencari pekerjaan baru. Kemarin tiga orang aneh telah menggangguku di tempat kerja dan akibatnya, aku pun telah dipecat dari pekerjaanku itu. Karena itu, tentu aku harus mencari pekerjaan baru,” kata Nari dengan nada kesal yang sengaja dibuat-buat.
“Baiklah, mari kita ke luar bersama-sama.”
“Tunggu dulu. Bawalah ini.”
Nari menyodorkan bungkusan ke arah kami.
“Apa ini?” Masaki mengendus-enduskan hidungnya ke arah bungkusan tersebut.
“Itu onigiri.”
“Onigiri?” ulang Kenji.
“Ya. Perjalanan kalian sepertinya cukup panjang. Jadi, aku membuatkan bekal itu bekal untuk kalian. Tidak banyak, memang. Oleh karena itu, makanlah saat kalian benar-benar merasa lapar.”
Aku manggut-manggut mendengar perkataan Nari.
“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih padamu. Jika kau berkunjung ke Kerajaan Langit, aku pasti akan membalas jasa-jasamu. Kau tinggal mengatakan keinginanmu, Raja dan Ratu Langit pasti akan mengabulkannya.”
“Aku tidak menginginkan hal yang berlebihan. Keinginanku cukup sederhana. Aku harap, kalian tidak muncul lagi dengan tiba-tiba di hadapanku.”
Huft. Aku mendengus keras mendengar ucapan Nari.
“Tentu, aku juga berharap kita tidak akan bertemu lagi. Aku akan hidup enak di Kerajaan Langit dan kau bisa menghabiskan waktumu di tempat tinggal yang sempit ini.”
“Hah? Tempat tinggal ini akan terasa sangat luas jika saja kalian bertiga keluar dari sini.”
“Baiklah. Kalau begitu, selamat tinggal.” Aku mengangkat sebelah tanganku sebagai isyarat perpisahan dengannya.
“SELAMAT TINGGAL.”
Bisa kulihat senyum sumringah menghiasi wajah Nari saat mengucapkan kata perpisahan itu.
Note:
Onigiri = nasi kepal khas Jepang yang umumnya berbentuk segitiga, biasa dijadikan bekal
Setelah berpisah dengan Nari, aku melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Langit bersama dengan Kenji dan Masaki. Kami bertiga terus melangkah meski tak tahu betul arah mana yang harus dituju agar bisa kembali ke Kerajaan Langit.Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tingkah laku manusia di sekeliling. Mereka semua tampak aneh di mataku. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka menggenggam benda kecil berbentuk persegi panjang. Pria dewasa berpakaian rapi mendekatkan benda tersebut di telinganya kemudian terus berbicara seorang diri, padahal tidak ada orang di hadapannya. Dua orang gadis duduk di taman sambil memegang benda serupa. Mereka tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah benda tersebut. Tak hanya sampai di situ, di bangku taman lainnya ada seorang anak kecil. Awalnya, sang anak menangis kencang, namun tiba-tiba tangisan tersebut berubah menjadi senyum begitu sang ayah menyodorkan bend
Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut
Nari berdiri di hadapan kami bertiga dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya kembali.“Kalian sadar apa yang telah kalian lakukan tadi itu salah?” ujar Nari.Aku sadar kalau pertanyaannya tadi adalah kalimat pembuka dari omelannya.“Apanya yang salah? Kami cuma makan onigiri,” jawabku dengan nada tidak bersalah.“Aku kan sudah membekali kalian dengan onigiri!”“Iya, tapi kau hanya memberikan kami 3 onigiri sehingga masing-masing dari kami hanya bisa makan satu saja sedangkan kami tadi sudah berlari jauh, menghindar dari kejaran pria sangar,” kataku membela diri.“Hah? Aku tidak
Aku menatap lekat wanita di hadapanku. Ia menatap balik ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya.Siapa sangka aku bisa bertemu dengan Putri Matahari di bumi? Cara berpakaiannya sudah benar-benar menyerupai manusia bumi lainnya. Apa hanya aku saja yang belum terbiasa dengan pakaian manusia bumi yang sekarang aku kenakan ini?Perasaan kaget dan senang berkecamuk di dadaku. Aku kaget lantaran Putri Matahari ternyata juga terjatuh ke bumi. Aku pun senang karena bisa menemukan makhluk kerajaan atas lainnya yang juga jatuh di bumi.Terlepas dari bagaimana perasaanku saat ini, aku sangat ingin mengetahui apa yang ada di pikiran wanita yang ada di hadapanku ini.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.“Putri Matahar
Aku berdiri mematung di pinggir lapangan olahraga. Pandangan mataku lurus menatap Kenji dan Masaki yang sedang memberikan arahan ke anak-anak kelas 1 E.Setelah melewati wawancara singkat dengan wanita yang biasa dipanggil Inoue Sensei, Kenji diterima menjadi guru olahraga sementara di sekolah ini. Masaki yang tak mau kalah, langsung melobi agar bisa diterima juga untuk mengajar. Akhirnya, Masaki juga diterima. Ia menjadi asisten Kenji. Dengan begini, mereka pun bisa lebih lama berada di sekolah ini. Yah, meskipun hanya sementara juga sih. Sampai guru olahraga yang sebenarnya kembali dari kampungnya di Fukuoka. Sebelum saat itu tiba, aku harus mencari tahu lebih banyak hal lagi tentang Hikari. Aku masih dibuat penasaran lantaran dirinya dan Putri Matahari sudah seperti pinang dibelah dua. Tidak ada bedanya dari segi fisik.Sementara Kenji dan Masaki
Hari berganti hari. Sudah saatnya kembali bekerja.Pagi-pagi sekali aku sudah dibangunkan oleh Masaki dan Kenji. Dengan buru-buru aku melahap makanan yang disiapkan oleh Nari. Setelahnya, dengan langkah lebar aku, Masaki, dan Kenji bergegas menuju SMA Himawari. Kami berpisah di halaman sekolah. Masaki dan Kenji menuju lapangan olahraga, sedangkan aku naik ke lantai tiga. Menuju perpustakaan.Di sinilah aku sekarang. Berdiri di belakang meja petugas perpustakaan. Melayani para murid atau pun guru yang ingin meminjam maupun mengembalikan buku. Bukan hanya itu, aku juga bertugas merapikan buku-buku yang telah selesai mereka baca, meletakkannya kembali ke rak, sesuai dengan label nomor yang terpasang di buku tersebut.Ada sedikit rasa penyesalan di lubuk hatiku. Pasalnya, pekerjaanku bisa dibilang membosankan. Sepanjang
Kini, wajah kami berjarak kurang dari tiga senti meter. Detak jantungnya terdengar semakin tak menentu. Aku pun terus memperkecil jarak di antara kami.DARR DAAARRRR DAAARRRRRRRRRPetir tiba-tiba menyambar dengan keras. Hikari yang terkejut, secara kontan menjatuhkan kepalanya ke dalam pelukanku. Aku memperkencang dekapanku, berusaha agar suara sambaran petir itu tidak terlalu terdengar olehnya.Situasi tersebut tidak bertahan lama. Kurang dari dua menit kemudian, ia mendorong tubuhku menjauh darinya. Atmosfer di antara kami pun berubah menjadi kikuk.“Kau tidak apa-apa?” tanyaku memecah keheningan.“Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat. “Kamu tidak perlu repot-repot mengantarku sampai ke rumah. C
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, aku hari ini tidak terlalu bersemangat datang ke sekolah. Setelah mengetahui bahwa Hikari sudah memiliki pasangan, apalagi sering tinggal bersama kekasihnya itu, aku mulai kehilangan semangat.Aku menengadahkan kepala ke atas. Memandang ke arah langit. Di sana, jauh di atas sana, ada Kerajaan Langit, tempat tinggalku. Kenapa aku harus terjatuh jauh sampai ke bumi? Apakah ada maksud tertentu dari semua ini? Aku masih tidak mengerti. Satu hal yang pasti, mau tidak mau aku masih harus bertahan di bumi sampai menemukan jalan untuk bisa kembali ke Kerajaan Langit.Bruk!Sakit. Ku elus keningku. Gara-gara galau meratapi nasib, aku menjadi tidak fokus melihat ke depan hingga akhirnya menabrak seseorang.“Maaf, aku tidak sengaja,”