Share

Bab 5-Sorrow's Memories

Di saat kau tertarik pada sesuatu, fokusmu pasti hanya akan berada pada satu titik yaitu objeknya. Pikiran melalang buana entah kemana, ingatan menjadi pudar, ekspresi tidak menunjukkan apapun, begitu pula hanya ada tatapan mata untuk 'dia' yang sedang digemari.

Hal itu semua berlaku untuk sang duke—ketika Lady Caley alias Samantha si seniman muda mengajaknya bicara empat mata, meski itu untuk mengobrolkan suatu hal yang membuat perasaan gadis itu terbebani.

Kini mereka tengah berada di kebun bunga matahari halaman belakang kastil, satu-satunya tempat area bangunan ini yang gadis itu kenali. Belum ada yang berbicara, sebab suasana kebun membuat siapapun terhanyut berkat gerakan batang bunga matahari mengikuti alunan angin, sementara Samantha akan mengalihkan pandangan setiap kali sang duke mencoba menatap atau hanya sekedar meliriknya.

Hal itu spontan saja Edmund lakukan, bukan karena berpikiran kotor atau buruk tentang Sam, jujur saja dirinya hanya mengekspresikan rasa kagum tentang bagaimana bisa seorang gadis se-menawan itu diciptakan untuk memikat hatinya. Bukankah ini tidak adil? Andai saja Ed masih muda dan perkasa, mungkin tidak sulit menggaet gadis lajang seperti Samantha—ditambah dengan takhta dan harta yang dimiliknya.

"Lady Caley, kenapa tidak segera bicara? Apa yang ingin kau katakan," Duke Edmund membuka suara saat tidak sabar dengan betapa mengerikan kesunyian ini baginya. Karena melihat bibir Samantha mengucapkan kata per kata menjadi kalimat, membuat hatinya menghangat seolah gadis itu adalah api yang mencairkan embun salju.

Dia tampak berdecak, kemudian menyilangkan tangan di depan dada, "Apa Yang Mulia tidak sadar kenapa aku belum bicara dari tadi?" Bola matanya bergulir ke atas, tepat di mana jajaran jendela di lantai tersebut sedang terbuka lebar membiarkan udara bebas keluar masuk. Namun sesekali terdapat siluet mereka 'yang terlalu ingin tahu urusan orang lain'.

"Mereka hanya bisa melihat, tidak akan mendengarkan pembicaraan kita. Atau kalau kau perlu yang lebih privasi, mungkin kita bisa pergi ke ruangan tertutup, seperti perpustaakan... kalau kau tidak keberatan," ujar sang duke hati-hati, ia sendiri berpikir kalau ajakannya terdengar aneh—mungkin Samantha pun akan menerka-nerka hal buruk.

"Tidak... tidak, di sini saja," sudah diduga apa jawaban gadis itu. Sam lantas menempatkan tubuh di atas bangku panjang dekat pengairan khusus ladang bunga matahari, "Aku sebenarnya tidak ingin berlama-lama di sini, jadi Yang Mulia... apakah sudah tahu berita yang menyebar tentang kita, terutama malam perayaanmu waktu itu saat aku mempersiapkan lukisan untuk pameran di sini."

"Ya, aku sudah dengar semuanya Lady."

"Jujur saja aku merasa tidak nyaman—bukan, bukan bermaksud tidak menyukaimu, ah, maksudnya aku sama sekali tidak membencimu, tapi ini sangat menggangu Yang Mulia. Orang-orang di luaran sana begitu segan dan selalu kagum padamu, mereka berusaha membalas budi—dan kalau mungkin kau punya ketertarikan padaku, atau jika kau suka pada gadis manapun itu, mereka berusaha memberikannya," Sam menjeda sejenak kalimat yang ia ungkapkan secara berantakan, "Jadi baik benar ataupun tidak rumor itu, bisakah Yang Mulia membuat mereka semua diam? Hidupku sudah hampir hancur karena ini."

Tanpa diduga, sang duke mengangguk singkat, "Baiklah, aku akan katakan pada pusat percetakan surat kabar untuk membantah semua rumor yang membuatmu tidak nyaman. Maaf juga sudah hampir membuatmu mengalami kehancuran."

Lain dari yang Samantha perkirakan, pria itu memang luar biasa dan bijaksana. Sam sudah berpikir kalau ia akan melakukan perdebatan dengan seorang duke tua karena keberadaan berita tanpa asal-usul yang jelas. Rupanya pria itu justru dengan baik hati menawarkan kebebasan untuknya dan juga meminta maaf karena sudah mengakibatkan ketidaknyamanan yang dijalani Sam selama berita itu masih beredar tanpa kop.

Sam berteriak kecil kegirangan seraya mengepalkan kedua tangan ke udara. Namun setelah sadar siapa sosok yang dihadapi, tubuhnya sontak membungkuk sopan beberapa kali seperti memberi penghormatan, "Terima kasih, terima kasih banyak, Yang Mulia. Semoga kau segera bertemu dengan orang yang benar-benar akan menjadi pendampingmu selamanya."

"Lady Caley," panggil pria itu, "Tapi bagaimana jika aku sungguh menyukaimu? Dan bagaimana pula jika aku ingin kau yang menjadi pendampingku selamanya?"

Suara burung gagak sebagai pertanda kecanggungan mendadak seketika muncul di kepala keduanya tanpa disadari. Tapi seluruh elemen yang berada di bumi seakan mengerti, hembusan angin yang tadinya kencang sampai membuat ujung batang bunga matahari lunglai hampir menyentuh tanah kini mendadak berhenti, dedaunan yang gugur pun diam berpegangan erat pada dahan masing-masing agar tidak berjatuhan, sementara itu hanya satu yang masih terdengar jelas di telinga keduanya, yaitu hembusan napas sang duke yang terdengar bergemuruh dan cepat.

Sam meneguk ludah, "Apa aku perlu menjawabnya atau hanya mendengarkan saja?"

•••

Dua tahun yang lalu, Edmund berlarian menuju ruangan pribadinya masih dengan seragam militer lengkap manyatu di badan. Namun alas kakinya menghilang entah kemana, tersisa selop kain yang biasanya hanya digunakan di dalam rumah.

Mengobrak-abrik seluruh sudut tanpa mempedulikan barang berjatuhan sekalipun akan menghantam kakinya. Ekspresi panik bercampur pasrah, dan perilaku gegabah membuat semua orang tidak berani mendekat termasuk sang ibu. Wanita itu hanya bisa memandang nanar dari ambang pintu bersama butler dan para pelayan. Tidak ada yang berani menenangkan Edmund bahkan saat pria itu dengan sengaja mendobrak pintu lemari yang terkunci menggunakan tangan kosong.

Benda kecil gemerlap seketika memantul dari dalam saat lemari berhasil roboh, Ed semakin menghantam pintu lemari itu hingga rusak sepenuhnya. Ia cekatan memunguti sesuatu yang gemerlap tersebut, jumlahnya hanya satu tapi sudah terpecah belah menjadi beberapa bagian sehingga membuat setiap ujungnya menajam mampu melukai kukit siapapun yang memegangnya dengan tidak hati-hati.

Hal itu tak berlaku bagi Edmund, meski telapaknya sudah penuh goresan akibat benda tajam tersebut juga karena perasaannya yang sedang gegabah penuh kecemasan di level tertinggi, ia justru meremat benda tersebut untuk melindunginya.

Air mata pria itu seketika turun, membentuk aliran kawah seperti sungai di kulit pipinya yang sepucat salju. Meski ada banyak orang yang menyaksikan kesedihan dan kehancurannya, tidak ada satu pun yang berani mendekat—atau sekedar memasuki ruangan pribadi Ed. Karena dalam batas itu terdapat rajutan benang merah melingkar di sekeliling, siapapun tidak bisa melihat keberadaannya tapi sang ibu dapat merasakan kehadirannya.

Benang merah yang membuat putra sulungnya terkurung dalam suatu lingkar kutukan.

Tepatnya pukul dua belas malam, ketika angin sedang berhembus di titik paling kencang. Sesuatu pun mendadak berubah, udara yang semula dingin kini terasa semakin menghangat secara perlahan dan kemudian sampai pada titik tertinggi.

Tubuh Edmund perlahan mengeluarkan percikan api—yang selanjutnya membakar keseluruhan kastil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status