-perpisahan-
Sepuluh tahun sudah aku menjalani pendidikan dalam rangka menimba ilmu di pesantren ini. Banyak sekali kenangan indah yang telah kualami, entah itu bersama teman sekamar atau teman sekelas termasuk Rahma sahabatku. Kini semua teman-temanku sudah beranjak dewasa, begitu juga denganku. Di pagi ini, aku masih terduduk sambil menikmati secangkir kopi, kusempat memandangi teman-teman yang membawa beban berat, yang tiada lain adalah tas-tas besar berisi pakaian mereka. Sedikit demi sedikit teman-temanku mulai pergi meninggalkan pesantren ini.
“Hey Aldi.” Panggil salah satu teman sekamarku.
“Ehhh iya Boni.”
“Kamu ngapain aja dari tadi kulihat bengong aja.”
“Iya nih, biasa lah lagi nikmatin kopi di pagi hari. Kamu mau ke mana kok rapi banget?” tanyaku.
“Iya ku mau sungkem sama kyai.”
“Emang Lu mau ke mana?”
“Kau belum tahu ya, aku kan mau boyong dari pondok.”
“Oh begitu ya.”
“Iya lah, kamu sendiri nggak mau boyong?” tanyanya.
“Emmm, nggak tahulah. Belum kepikiran aku.”
“Ingat Al, kamu sudah sepuluh tahun mondok, dan kamu juga udah dewasa, udah saatnya bagi kamu untuk bekerja, menikah dan membangun rumah tangga.” Imbuh Boni.
“Iya sih Bon, bener juga kata kamu.”
“Ya sudah. Ku mau ke kyai dulu ya.”
“Iya Bon, semoga sukses ya.”
“Aamiiiinn.”
Benar juga kata Boni, sudah saatnya diriku untuk berubah dari sekarang. Begitu juga dengan Rahma, sahabatku. Kuyakin sebentar lagi jika dia sudah boyong dari pondok, pasti dia akan melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya. Namun sebenarnya kujuga masih bingung, karenaku sudah benar-benar merasa nyaman di pesantren ini, ditambah lagi ku masih ingin melanjutkan pendidikan S2. Entahlah, mungkin soal masalah boyong bisa dipikirkan sambil jalan, lagi pula kujuga belum tahu rencana yang akan kulakukan nanti seperti apa, kuyakin Insya Allah pasti ada jalan keluar.
Hari terus berganti, sementara kumulai merasakan satu kesepian, karena tidak ada lagi teman yang bisa kuajak ngobrol atau main bersama, yang ada hanyalah para adik kelas yang tak begitu akrab denganku. Sepertinya ku tidak bisa untuk terus-terus seperti ini, cepat atau lambat, kuharus segera mengambil tindakan agar diriku bisa menjalani hari dengan sebaik-baiknya. Segera kuambil air wudhu, lalu kulakukan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat. Usai shalat, saat itulah kumulai berdoa agar Allah dapat memberikan solusi serta petunjuk agar ku bisa tenang dalam menjalani hari-hari yang memilukan ini.
“Hey Aldi.” Ucap salah satu teman sekamarku.
“Iya.”
“Kamu nggak ke pondok putri sekarang?” tanyanya.
“Ngapain juga ku harus ke sana?”
“Hm, kirain kamu udah tahu. Sekarang kan Rahma sahabatmu udah boyongan. Kamu nggak mau pamit sama dia?”
“Iyakah!!!” sontakku.
"Yaiyalah, ya sudah cepat samperin sana!”
“Oke aku ke sana sekarang.”
Telinga ini kaget setelah mendengar kabar bahwa Rahma di waktu ini juga akan meninggalkan pesantren. Ku tidak ingin melewatkan detik-detik perpisahanku dengannya, karenaku menyadari bahwa Rahma adalah seorang sahabat yang telah menemani hidupku selama sepuluh tahun ini. Sejujurnya saja kumerasa berat untuk melangkahkan kaki, karenaku sama sekali belum siap untuk melepasnya pergi. Entahlah, apa yang akan terjadi nantinya biar Allah yang tahu, karena kujuga menyadari jika aku tidak punya hak untuk melarangnya pergi.
-selamat tinggal-
Dan kiniku telah tiba di halaman pesantren pondok putri. Kulihat banyak sekali kerumunan santri serta deretan bis yang siap memboyong para santri untuk pulang. Kumulai kebingungan untuk mencari keberadaan Rahma, karena saking banyaknya orang, ku tak tahu Rahma apakah sudah ada di dalam bis. Setelah kucoba untuk mengelilingi beberapa ujung, kusempat melihat Sofi dari kejauhan. Kuyakin Sofi pasti tahu Rahma di mana, karena dia teman sekamarnya.
“Halo Sofiiii Sofiiii….!!!!” Teriakku dengan lantang lalu kuhampiri dia.
“Iya Aldi ada apa?”
“Rahma di mana sekarang?” tanyaku dengan penuh kebingungan.
“Oh iya. Rahma ada di bis nomer dua, kalau nggak salah dia duduk di kursi belakangnya sopir.”
“Oh ya sudah makasih ya.”
Dengan sigap aku kembali berlari menuju bis nomer dua. Tanpa banyak pikir, aku langsung memasuki bis tersebut, karena kuingin mengatakan sesuatu untuk yang terakhir kalinya pada diri Rahma.
“Rahmaaaa….” Panggilku.
“Iya Aldi ada apa?” tanyanya.
“Aku bisa ngomong sama kamu di luar sebentar saja.”
“Emmm baiklah.”
Lalu aku dan Rahma mulai menuruni bis dan kusempatkan diri untuk mengatakan sesuatu untuk yang terakhir kalinya.
“Rahma, untuk yang terakhir kalinya. Kuingin meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan untukmu.”
“Iya Aldi, aku juga minta maaf sama kamu.”
“Sebelumnya kujuga mengucapkan terima kasih, karena kamu sudah mau bersahabat denganku selama sepuluh tahun ini.” ucapku kembali.
“Emmm iya Aldi, jadi kamu lari-lari nyariin aku di sini hanya ingin mengucapkan kata maaf dan terima kasih doang!”
Dan kumulai bingung harus mengatakan yang bagaimana bahwa sebenarnya hati ini tak rela untuk melepasnya pergi.
“Aldi kok diem?” tanyanya.
“Emm, iya Rahma, sebenarnya memang ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”
“Apa Aldi, katakan sekarang selagi aku belum berangkat!” pintanya.
“Rahma, sebenarnya aku belum sanggup dan rela untuk melepasmu pergi saat ini, karena kamu tahu sendiri jika kita sudah bersahabat selama sepuluh tahun.”
“Iya Aldi, tapi sekarang memang sudah waktunya bagi kita untuk berpisah. Apa ada yang salah dengan semua ini?” tanyanya.
Ku kembali terdiam.
“Aldiiiii???” panggilnya.
“Iya Rahma, sepuluh tahun kita bersama, dan selama itu juga kumerasakan kenyamanan, baik di saat dekat denganmu ataupun di saat kita jauh. Namun entah kenapa, di saat kau harus pergi aku merasa tak rela, dan ku benar-benar belum siap untuk berpisah denganmu.” terangku.
“Mengapa kamu bisa berkata seperti itu Aldi.” tukasnya.
“Karena aku benar-benar menyayangimu, aku cinta sama kamu Rahma.”
“Emm, begitu ya. Aku tahu perasaan kamu Aldi, tapi ini sudah terlambat. Jika kamu memang benar-benar mencintaiku kenapa tak bilang dari dulu, sementara sebentar lagi kujuga harus menikah dengan calonku. Sekali lagi maafkan aku ya.”
Dan kita berdua kembali terdiam bersama.
“Rahma, ayo naik udah mau berangkat nih bisnya!” seru salah satu temannya di dalam bis.
“Iya baik Ren, sebentar lagi ya.”
Saat itulah Rahma mulai ingin mengatakan sesuatu yang terakhir untukku.
“Aldi, aku pamit pulang dulu ya, sekali lagi maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan untukmu.”
“Iya Rahma, apapun yang terjadi. Jangan pernah lupakan aku ya.”
“Iya Aldi, kita dari dulu kan juga emang sahabat.”
“Ya sudah, semoga selamat sampai tujuan, dan semoga kamu bisa menikmati kebahagiaan barumu di sana ya.”
“Oke Aldi Assalamualaikum.”
“Iya Walaikum salam.”
Dengan perlahan, Rahma mulai melangkah menuju bis yang akan dia naiki, dan dengan perlahan pula, roda bis itu mulai melaju. Dari jendela bis, kita berdua hanya bisa saling menatap, serta melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan kita. Aku masih saja memandangi bis itu yang mulai menjauh dariku, hingga bis itu sudah tak terlihat ku masih saja memandanginya. Tak banyak dari apa yang akan kulakukan di sini, dan kini kuhanya bisa kembali berjalan menuju pesantren.
Aku terluka, ku bersedih dan kumulai menangis, dalam meratapi kesedihan yang sangat dalam ini. Sejak masih duduk di kelas satu SMP, kita selalu bersama, entah di saat kita sekolah maupun di saat kita menjalani aktifitas ngaji di madrasah diniyah. Sejak saat itu kita merasa sangat nyaman, entah itu berbagi cerita dan juga bercanda tawa. Karena adanya rasa kenyamanan itulah tanpa sadar telah timbul sebuah benih-benih cinta yang mulai memenuhi ruang hati ini.
Bagiku, Rahma bukan hanya sebagai matahari, yang selalu setia menemani hari-hariku di setiap pagi, lebih dari itu dia juga seperti pelangi, yang selalu memancarkan cahaya keindahan usai badai kesedihan itu datang. Dan kini ku menyesal, dengan penyesalan yang cukup dalam, karena dia telah pergi meninggalkan diriku di saatku ingin mengatakan kata cinta. Semua hanya bisa kupasrahkan pada Allah, jika memang ini yang terbaik untuk dirinya.
”Selamat tinggal Rahma, aku akan selalu merindukanmu." Ucapku dalam hati.
-tangis-
Kumulai tiba di pesantren, tak ada yang ingin kulakukan kecuali hanyalah terduduk sendiri di taman sekolah. Ku tak ingin bersedih atas kepergiannya, maka dengan sekuat hati ku akan mencoba untuk tersenyum meski terpaksa. Kuharus bisa berbesar hati dalam menerima kenyataan itu, meski sulit untuk kulakukan. Tanpa sadar, telah kuteteskan air mata ini, karena hatiku sudah benar-benar tak kuasa untuk melepasnya pergi. Ya Allah, berikanlah ketabahan atas beban yang kualami, berikanlah ku kekuatan agar diriku bisa tetap bertahan dalam menyikapi badai kesedihan yang besar ini.
“Aldi, kamu kenapa? Kok nangis?” tanya salah satu temenku.
“Ehhh Novi, nggak apa-apa kok. Aku cuma lagi rindu sama orang tuaku.” Jawabku.
“Oh begitu ya. Ya sudah Aldi rencanakan baik-baik kedepannya kamu harus bagaimana. Kamu ini udah dewasa, dan sudah sepuluh tahun kamu menimba ilmu di sini, jadi sudah saatnya bagi kamu untuk pulang. Tunjukkan dirimu pada orang tuamu jika kamu sudah berhasil menjadi anak yang shaleh,” terangnya.
“Iya Novi, makasih atas sarannya ya.”
“Iya Aldi sama-sama, ya sudah aku kembali ke pondok dulu ya.”
“Oke Novi.”
Entahlah, semoga Allah bisa memberikan jalan serta solusi yang terbaik untukku. Selama nafas ini masih berdesah, Insya Allah aku pasti mendapatkan jawaban terbaik dari-Nya. Aamiinnn.
-Ketika Bapak telah Pergi- Kehidupan yang saat ini aku jalani adalah bagian dari anugerah yang telah Allah SWT berikan. Setiap hari adalah hari-hari yang patut untuk disyukuri, dengan cara memaksimalkan setiap potensi yang ada dalam diri kita semua, dan hari Jumat adalah sebaik-baik hari untuk berkhidmat dan lebih mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Shadakallahul Adzim. Aku baru saja menyelesaikan bacaan Qur’an sebanyak satu juz, dan kini tiba saatnya diri ini membersihkan tubuh dari segala kotoran serta bau badan, karena sekarang adalah hari Jumat, hari di mana setiap kotoran baik yang ada di raga maupun dalam jiwa harus dibersihkan. Di hari Jumat ini, aku juga mendapati jadwal untuk mengisi ceramah pada khutbah yang akan terlaksanakan nanti ketika shalat Jumat tiba. Kali ini kuingin berubah, berubah untuk bisa lebih berusaha dalam menata diri untuk bisa l
-Perjalanan- Ku mulai membuka mata dari tidur malamku. Sebuah Alarm yang kupasang telah berbunyi pada pukul setengah tiga di pagi hari ini. Sudah menjadi kebiasaan semenjak diriku masih tinggal di pesantren, bahwa shalat di sepertiga malam terakhir merupakan bagian dari kewajiban seorang santri. Ya, meskipun kini diriku sudah tidak lagi menjadi seorang santri, tetapi kelakukan serta perilaku harus tetap seperti seorang santri. Tak terasa juga matahari mulai terlihat di ufuk timur, dan ayam mulai berkokok, sebagai tanda bahwa matahari akan menampakkan sinarnya dalam menerangi bumi yang penuh akan kegelapan. “Aldi.” Panggil oleh ibu. “Iya buk.” Jawabku. Lalu diriku segera berdiri dengan sigap menghampiri i
-Di pagi itu- Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Di pagi inilah kumulai merasakan aroma kesegaran, hembusan angin serta dinginnya udara di pagi hari mulai aku nikmati, sehingga kesejukkan mulai merasuk sampai ke dasar jiwaku. Jam enam pagi, adalah waktu di mana aku mulai terduduk sambil menikmati indahnya pesona alam. Kesepian dan kesendirian memang aku rasakan sekarang, namun jiwaku tidak hanya sendiri, karena ada Allah yang senantiasa menemani hari-hariku di setiap waktu. Saat ku terduduk di sini, saat itulah ku kembali teringat atas sosok wanita yang akhir-akhir ini mulai menghantui pikiranku di setiap waktu. Entah kenapa hal ini bisa terjadi aku sama sekali tak mengerti, mungkinkah ini sudah menjadi pertanda akan datang masa di mana aku akan menuai bahagia. “Aldi.”
-kebiasaan rutin Aisy- Kehidupan yang saat ini Aisy jalani memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan dulu di saat dia masih duduk di bangku sekolah. Hubunganku dengannya begitu sangat dekat karena kita berdua sudah menjadi satu sahabat yang selamanya akan terus erat. Yang aku tahu, dulu Aisy adalah anak yang rajin, bakti pada orang tua serta senantiasa menjaga tali silaturahim kepada siapapun, siapa sangka jika pada akhirnya dirinya telah berubah drastis, menjadi anak yang selalu membangkang dari nasihat orang tua. Semua itu karena dia salah dalam memilih pergaulan, dia sepertinya sudah terjebak dalam sebuah sumur kenistaan yang dengan perlahan akan menghancurkan jati dirinya sebagai seorang wanita. Setelah aku mengetahui akan hal itu, aku bukannya menghindar dan menjauh dari dirinya, karena aku bukanlah lelaki yang dengan mudah menilai keburukan seorang wanita
-sangat khawatir- Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak. Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamit
-tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena
-pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me
-kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “