Home / Romansa / Panggil Aku Aisyah / 2. Demi Allah, Aku Ikhlas

Share

2. Demi Allah, Aku Ikhlas

Author: Viand Wahyudi
last update Huling Na-update: 2021-08-31 16:34:59

-perpisahan-

          Sepuluh tahun sudah aku menjalani pendidikan dalam rangka menimba ilmu di pesantren ini. Banyak sekali kenangan indah yang telah kualami, entah itu bersama teman sekamar atau teman sekelas termasuk Rahma sahabatku. Kini semua teman-temanku sudah beranjak dewasa, begitu juga denganku. Di pagi ini, aku masih terduduk sambil menikmati secangkir kopi, kusempat memandangi teman-teman yang membawa beban berat, yang tiada lain adalah tas-tas besar berisi pakaian mereka. Sedikit demi sedikit teman-temanku mulai pergi meninggalkan pesantren ini.

          “Hey Aldi.” Panggil salah satu teman sekamarku.

          “Ehhh iya Boni.”

          “Kamu ngapain aja dari tadi kulihat bengong aja.”

          “Iya nih, biasa lah lagi nikmatin kopi di pagi hari. Kamu mau ke mana kok rapi banget?” tanyaku.

          “Iya ku mau sungkem sama kyai.”

          “Emang Lu mau ke mana?”

          “Kau belum tahu ya, aku kan mau boyong dari pondok.”

          “Oh begitu ya.”

          “Iya lah, kamu sendiri nggak mau boyong?” tanyanya.

          “Emmm, nggak tahulah. Belum kepikiran aku.”

          “Ingat Al, kamu sudah sepuluh tahun mondok, dan kamu juga udah dewasa, udah saatnya bagi kamu untuk bekerja, menikah dan membangun rumah tangga.” Imbuh Boni.

          “Iya sih Bon, bener juga kata kamu.”

          “Ya sudah. Ku mau ke kyai dulu ya.”

          “Iya Bon, semoga sukses ya.”

          “Aamiiiinn.”

         Benar juga kata Boni, sudah saatnya diriku untuk berubah dari sekarang. Begitu juga dengan Rahma, sahabatku. Kuyakin sebentar lagi jika dia sudah boyong dari pondok, pasti dia akan melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya. Namun sebenarnya kujuga masih bingung, karenaku sudah benar-benar merasa nyaman di pesantren ini, ditambah lagi ku masih ingin melanjutkan pendidikan S2. Entahlah, mungkin soal masalah boyong bisa dipikirkan sambil jalan, lagi pula kujuga belum tahu rencana yang akan kulakukan nanti seperti apa, kuyakin Insya Allah pasti ada jalan keluar.

        Hari terus berganti, sementara kumulai merasakan satu kesepian, karena tidak ada lagi teman yang bisa kuajak ngobrol atau main bersama, yang ada hanyalah para adik kelas yang tak begitu akrab denganku. Sepertinya ku tidak bisa untuk terus-terus seperti ini, cepat atau lambat, kuharus segera mengambil tindakan agar diriku bisa menjalani hari dengan sebaik-baiknya.  Segera kuambil air wudhu, lalu kulakukan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat. Usai shalat, saat itulah kumulai berdoa agar Allah dapat memberikan solusi serta petunjuk agar ku bisa tenang dalam menjalani hari-hari yang memilukan ini.

          “Hey Aldi.” Ucap salah satu teman sekamarku.

          “Iya.”

          “Kamu nggak ke pondok putri sekarang?” tanyanya.

          “Ngapain juga ku harus ke sana?”

          “Hm, kirain kamu udah tahu. Sekarang kan Rahma sahabatmu udah boyongan. Kamu nggak mau pamit sama dia?”

          “Iyakah!!!” sontakku.

          "Yaiyalah, ya sudah cepat samperin sana!”

           “Oke aku ke sana sekarang.”

        Telinga ini kaget setelah mendengar kabar bahwa Rahma di waktu ini juga akan meninggalkan pesantren. Ku tidak ingin melewatkan detik-detik perpisahanku dengannya, karenaku menyadari bahwa Rahma adalah seorang sahabat yang telah menemani hidupku selama sepuluh tahun ini. Sejujurnya saja kumerasa berat untuk melangkahkan kaki, karenaku sama sekali belum siap untuk melepasnya pergi. Entahlah, apa yang akan terjadi nantinya biar Allah yang tahu, karena kujuga menyadari jika aku tidak punya hak untuk melarangnya pergi.

-selamat tinggal-

         Dan kiniku telah tiba di halaman pesantren pondok putri. Kulihat banyak sekali kerumunan santri serta deretan bis yang siap memboyong para santri untuk pulang. Kumulai kebingungan untuk mencari keberadaan Rahma, karena saking banyaknya orang, ku tak tahu Rahma apakah sudah ada di dalam bis. Setelah kucoba untuk mengelilingi beberapa ujung, kusempat melihat Sofi dari kejauhan. Kuyakin Sofi pasti tahu Rahma di mana, karena dia teman sekamarnya.

          “Halo Sofiiii Sofiiii….!!!!” Teriakku dengan lantang lalu kuhampiri dia.

          “Iya Aldi ada apa?”

          “Rahma di mana sekarang?” tanyaku dengan penuh kebingungan.

          “Oh iya. Rahma ada di bis nomer dua, kalau nggak salah dia duduk di kursi belakangnya sopir.”

          “Oh ya sudah makasih ya.”

          Dengan sigap aku kembali berlari menuju bis nomer dua. Tanpa banyak pikir, aku langsung memasuki bis tersebut, karena kuingin mengatakan sesuatu untuk yang terakhir kalinya pada diri Rahma.

          “Rahmaaaa….” Panggilku.

          “Iya Aldi ada apa?” tanyanya.

          “Aku bisa ngomong sama kamu di luar sebentar saja.”

          “Emmm baiklah.”

          Lalu aku dan Rahma mulai menuruni bis dan kusempatkan diri untuk mengatakan sesuatu untuk yang terakhir kalinya.

          “Rahma, untuk yang terakhir kalinya. Kuingin meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan untukmu.”

          “Iya Aldi, aku juga minta maaf sama kamu.”

          “Sebelumnya kujuga mengucapkan terima kasih, karena kamu sudah mau bersahabat denganku selama sepuluh tahun ini.” ucapku kembali.

          “Emmm iya Aldi, jadi kamu lari-lari nyariin aku di sini hanya ingin mengucapkan kata maaf dan terima kasih doang!”

          Dan kumulai bingung harus mengatakan yang bagaimana bahwa sebenarnya hati ini tak rela untuk melepasnya pergi.

          “Aldi kok diem?” tanyanya.

          “Emm, iya Rahma, sebenarnya memang ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”

          “Apa Aldi, katakan sekarang selagi aku belum berangkat!” pintanya.

          “Rahma, sebenarnya aku belum sanggup dan rela untuk melepasmu pergi saat ini, karena kamu tahu sendiri jika kita sudah bersahabat selama sepuluh tahun.”

          “Iya Aldi, tapi sekarang memang sudah waktunya bagi kita untuk berpisah. Apa ada yang salah dengan semua ini?” tanyanya.

          Ku kembali terdiam.

          “Aldiiiii???” panggilnya.

          “Iya Rahma, sepuluh tahun kita bersama, dan selama itu juga kumerasakan kenyamanan, baik di saat dekat denganmu ataupun di saat kita jauh. Namun entah kenapa, di saat kau harus pergi aku merasa tak rela, dan ku benar-benar belum siap untuk berpisah denganmu.” terangku.

          “Mengapa kamu bisa berkata seperti itu Aldi.” tukasnya.

          “Karena aku benar-benar menyayangimu, aku cinta sama kamu Rahma.”

          “Emm, begitu ya. Aku tahu perasaan kamu Aldi, tapi ini sudah terlambat. Jika kamu memang benar-benar mencintaiku kenapa tak bilang dari dulu, sementara sebentar lagi kujuga harus menikah dengan calonku. Sekali lagi maafkan aku ya.”

           Dan kita berdua kembali terdiam bersama.

          “Rahma, ayo naik udah mau berangkat nih bisnya!” seru salah satu temannya di dalam bis.

          “Iya baik Ren, sebentar lagi ya.”

          Saat itulah Rahma mulai ingin mengatakan sesuatu yang terakhir untukku.

          “Aldi, aku pamit pulang dulu ya, sekali lagi maaf atas segala kesalahan yang pernah kulakukan untukmu.”

          “Iya Rahma, apapun yang terjadi. Jangan pernah lupakan aku ya.”

          “Iya Aldi, kita dari dulu kan juga emang sahabat.”

          “Ya sudah, semoga selamat sampai tujuan, dan semoga kamu bisa menikmati kebahagiaan barumu di sana ya.”

          “Oke Aldi Assalamualaikum.”

          “Iya Walaikum salam.”

         Dengan perlahan, Rahma mulai melangkah menuju bis yang akan dia naiki, dan dengan perlahan pula, roda bis itu mulai melaju. Dari jendela bis, kita berdua hanya bisa saling menatap, serta melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan kita. Aku masih saja memandangi bis itu yang mulai menjauh dariku, hingga bis itu sudah tak terlihat ku masih saja memandanginya. Tak banyak dari apa yang akan kulakukan di sini, dan kini kuhanya bisa kembali berjalan menuju pesantren.

        Aku terluka, ku bersedih dan kumulai menangis, dalam meratapi kesedihan yang sangat dalam ini. Sejak masih duduk di kelas satu SMP, kita selalu bersama, entah di saat kita sekolah maupun di saat kita menjalani aktifitas ngaji di madrasah diniyah. Sejak saat itu kita merasa sangat nyaman, entah itu berbagi cerita dan juga bercanda tawa. Karena adanya rasa kenyamanan itulah tanpa sadar telah timbul sebuah benih-benih cinta yang mulai memenuhi ruang hati ini.

          Bagiku, Rahma bukan hanya sebagai matahari, yang selalu setia menemani hari-hariku di setiap pagi, lebih dari itu dia juga seperti pelangi, yang selalu memancarkan cahaya keindahan usai badai kesedihan itu datang. Dan kini ku menyesal, dengan penyesalan yang cukup dalam, karena dia telah pergi meninggalkan diriku di saatku ingin mengatakan kata cinta. Semua hanya bisa kupasrahkan pada Allah, jika memang ini yang terbaik untuk dirinya.

          ”Selamat tinggal Rahma, aku akan selalu merindukanmu." Ucapku dalam hati.

-tangis-

        Kumulai tiba di pesantren, tak ada yang ingin kulakukan kecuali hanyalah terduduk sendiri di taman sekolah. Ku tak ingin bersedih atas kepergiannya, maka dengan sekuat hati ku akan mencoba untuk tersenyum meski terpaksa. Kuharus bisa berbesar hati dalam menerima kenyataan itu, meski sulit untuk kulakukan. Tanpa sadar, telah kuteteskan air mata ini, karena hatiku sudah benar-benar tak kuasa untuk melepasnya pergi. Ya Allah, berikanlah ketabahan atas beban yang kualami, berikanlah ku kekuatan agar diriku bisa tetap bertahan dalam menyikapi badai kesedihan yang besar ini.

          “Aldi, kamu kenapa? Kok nangis?” tanya salah satu temenku.

          “Ehhh Novi, nggak apa-apa kok. Aku cuma lagi rindu sama orang tuaku.” Jawabku.

          “Oh begitu ya. Ya sudah Aldi rencanakan baik-baik kedepannya kamu harus bagaimana. Kamu ini udah dewasa, dan sudah sepuluh tahun kamu menimba ilmu di sini, jadi sudah saatnya bagi kamu untuk pulang. Tunjukkan dirimu pada orang tuamu jika kamu sudah berhasil menjadi anak yang shaleh,” terangnya.

          “Iya Novi, makasih atas sarannya ya.”

          “Iya Aldi sama-sama, ya sudah aku kembali ke pondok dulu ya.”

          “Oke Novi.”

         Entahlah, semoga Allah bisa memberikan jalan serta solusi yang terbaik untukku. Selama nafas ini masih berdesah, Insya Allah aku pasti mendapatkan jawaban terbaik dari-Nya. Aamiinnn.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
destya.prasetyaningsari
Sedikit aneh bacanya, pesantren kok gak ada batasan antara santri dan santriwati dlm komunikasi. Yg aku tau sih dan yg sering aku baca di novel yg berlatar pesantren pasti ada batasan antara santri dg santriwatinya. Mereka memiliki wilayah masing² yg terpisah. Maaf ya ... jgn marah atas pendapat sy
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Panggil Aku Aisyah   25. Wanita Termulia Sepanjang Zaman

    -Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke

  • Panggil Aku Aisyah   24. Meniti Ilmu di Pesantren

    -sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca

  • Panggil Aku Aisyah   23. Hijrah

    -hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt

  • Panggil Aku Aisyah   22. Keajaiban

    -ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa

  • Panggil Aku Aisyah   21. Wujud Balas Budiku

    -kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.

  • Panggil Aku Aisyah   20. Mimpiku

    -aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status