-Ketika Bapak telah Pergi-
Kehidupan yang saat ini aku jalani adalah bagian dari anugerah yang telah Allah SWT berikan. Setiap hari adalah hari-hari yang patut untuk disyukuri, dengan cara memaksimalkan setiap potensi yang ada dalam diri kita semua, dan hari Jumat adalah sebaik-baik hari untuk berkhidmat dan lebih mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Shadakallahul Adzim. Aku baru saja menyelesaikan bacaan Qur’an sebanyak satu juz, dan kini tiba saatnya diri ini membersihkan tubuh dari segala kotoran serta bau badan, karena sekarang adalah hari Jumat, hari di mana setiap kotoran baik yang ada di raga maupun dalam jiwa harus dibersihkan.
Di hari Jumat ini, aku juga mendapati jadwal untuk mengisi ceramah pada khutbah yang akan terlaksanakan nanti ketika shalat Jumat tiba. Kali ini kuingin berubah, berubah untuk bisa lebih berusaha dalam menata diri untuk bisa lebih baik. Ku akan tunjukkan pada kedua orang tua bahwa aku telah berhasil menjadi anak yang saleh, sesuai dengan yang orang tua harapkan selama ini.
“Hey Aldi.” Sapa salah satu temanku di pesantren.
“Iya.” Jawabku.
“Kamu ke kantor sekarang, sepertinya kamu dapat telpon dari keluargamu.” Ucapnya.
“Ohh begitu, ya sudah terima kasih ya, aku ke sana sekarang.” Jawabku.
“Okeee.”
Kenapa sepertinya kumerasa tidak enak yaa, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ya sudahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Syukurlah jika hari ini ayah dan ibu meneleponku, karena kujuga benar-benar merasa rindu akan suara mereka. Kaki ini pun mulai melangkah memasuki kantor, dan aku segera mengangkat telpon di mana pada saat ini ibu yang sedang bicara. Betapa prihatinnya diriku ketika diriku baru saja mengucapkan salam, tak kudengar suara dari mulut ibu, melainkan hanya ada suara tangisan.
“Iya halo assalamualaikum buk.” Ucapku untuk yang kedua kalinya.
“Iya nak, kamu segera pulang ya nak.” Jawab ibu disertai suara tangisannya.
“Hemm, Aldi bingung ini sebenarnya ada apa ya buk, daritadi ibuk kogh nangis saja.” Gumamku.
“Bapak kamu nak.” Ucapnya.
“Iya bapak kenapa buk?” tanyaku dengan penuh keheranan.
“Bapak baru saja menghembuskan nafas terakhirnya nak, kamu cepat pulang ya nak, sudahi masa mencari ilmumu di pesantren, ibuk minta secepatnya kamu harus pulang.” Pinta ibu.
“Astaghfirullah hal adzim, innalillahi wainna ilaihi rajiun.” Sontakku dengan penuh kaget usai mendengar dari apa yang ibu ucapkan.
Betapa terkejutnya ketika diriku baru saja mendengar kabar bahwa bapak telah meninggal, ya Allah apa yang telah terjadi pada diriku, aku belum siap menerima semua ini ya Allah. Pikiranku tiba-tiba drop secara mendadak, gagang telepon terlepas dari genggaman tanganku lalu diriku pun terjatuh pingsan dan tak sadarkan diri, bruakkkkk.
“Astaghfirullah hal adzim Aldi.” Sontak salah satu santri di kantor itu.
Dengan sigap, sebagian santri yang sempat melihatku terjatuh langsung membopongku, dan membawaku ke ruang UKS. Aku tertidur dan hanya memejamkan kedua mata ini. Mungkin kuterpaksa untuk membatalkan tugasku menjadi khatib dalam shalat Jumat kali ini, karena kondisiku yang sedang drop dan sama sekali tak sadarkan diri. Entah apa yang telah terjadi padaku, hingga diriku sangat shock ketika baru saja mendengar kabar atas kepergian seseorang yang paling aku cintai, tiada lain adalah bapak.
-Luka-
Aku belum sembuh dari luka yang baru saja kualami setelah Rahma meninggalkanku, kini tiba-tiba kuharus mendengar kabar yang begitu pahit, di mana bapak telah meninggalkan diriku dan juga ibu untuk selama-lamanya. Aku benar-benar bingung dan tak tahu lagi harus bagaimana, tetapi yang pasti, kuakan segera cepat-cepat pergi meninggalkan pesantren ini, karena tidak mungkin diriku membiarkan ibu hidup sendirian di rumah. Sudahlah, sudah sepatutnya diriku untuk selalu bersabar dari kenyataan ini. Kan kujadikan semua ini sebagai pengalaman berharga, agar ke depannya aku bisa menjalani hari-hari baru yang benar-benar baru meski tanpa ada lagi kehadiran sang ayah.
“Yaa Allah, aku di hari ini benar-benar terluka. Dan sangat sedih sekali.” Batinku.
-Aku Harus Pulang-
Sekarang sudah tiba saatnya diri ini untuk pergi meninggalkan pondok pesantren. Setelah sekian lama kumenimba ilmu serta menuntut pendidikan mulai dari SMP hingga lulus kuliah, kini sudah tiba saatnya diri ini pulang ke rumah. Tiga hari sudah bapak pergi meninggalkan diriku bersama ibu, cukup sedih rasanya dalam menjalani kehidupan di saat ini, tapi aku sadar bahwa ini sudah menjadi kehendak Allah, karena aku percaya jika Allah pasti punya rencana baik untukku.
Sebenarnya ada sedikit rasa penyesalan pada hati ini, di mana dulu seharusnya ku kembali pulang pada keluarga usai diriku lulus SMA, namun aku sedikit menolak di karenakan ku masih ingin melanjutkan perkuliahan di sini. Dan pada akhirnya kutelah lulus dengan gelar S1 di saat ayah baru saja tiada.
Kumenyadari sepenuhnya bahwa bapak dan ibu pasti bangga dengan diriku, karena mereka pasti merasa jika mereka sudah berhasil dalam mendidikku untuk menjadi anak yang berbakti padanya, di sisi lain mereka juga pasti bangga karena sudah berhasil mendidikku dengan segala ilmu terutama ilmu agama. Bila harus jujur dari hati yang terdalam, sebenarnya aku masih ingin berada di sini, karena kuingin kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya, aku tak bisa menolak akan permintaan ibu, bahwa aku harus kembali ke rumah.
Aku masih rindu pada Kyai, juga masih merindukan semua guru-guruku di sini. Ingin rasanya agar kita bisa bersama dalam menjalani aktifitas sebagaimana yang kita lakukan seperti biasanya. Sayangnya, cukup banyak dari mereka yang mulai meninggalkan pesantren dengan alasan yang hampir sama yaitu ingin menikah dan membangun rumah tangga. Berbeda dengan diriku, di mana aku harus pulang dikarenakan aku tak mau melihat ibu sendiri setelah ditinggal bapak pergi, karena aku juga menyadari jika diriku adalah anak satu-satunya. Sudahlah, semua akan Aku ikhlaskan bila kuharus pergi, insya Allah ilmu yang telah kudapat dari pesantren bisa membawa manfaat dan barokah ketika nanti diriku telah kembali untuk menjalani hidup di rumah.
Ku mulai melangkah memasuki rumah Kyai Qosim, selaku pengasuh pondok pesantren. Kedatanganku hanyalah sekedar ingin berpamitan sejenak kepada beliau, sekaligus memohon doa agar ilmu yang telah aku dapat dari pesantren selama sepuluh tahun ini bisa membawa berkah serta manfaat ketika nanti kusudah kembali ke tanah kelahiranku. Alhamdulillah beliau juga sempat memberikanku sebotol air minum, di mana air minum itu sudah diberikan doa agar keberkahan dari setiap ilmu yang aku punya bisa membawa manfaat yang baik bagi orang-orang sekitar nantinya.
-Perpisahan-
“Alhamdulillah Aldi, sepuluh tahun sudah kamu menimba ilmu di sini, saya doakan semua dengan ilmu yang kamu dapatkan bisa membawa manfaat serta keberkahan terhadap orang-orang disekitarmu nantinya.” Ucap kyai.
“Alhamdulillah Kyai, insya Allah Aldi siap untuk mengamalkan ilmu pada masyarakat di desa Aldi nantinya.” Jawabku.
“Syukurlah kalau begitu. Satu pesan yang terpenting untukmu Aldi. Tetap jagalah Akhlak, di manapun kamu berada, terutama pada ibumu.” Seru beliau.
“Baik kyai, sekarang Aldi izin pamit untuk kembali pulang. Assalamualaikum.” Ucapku.
“Walaikum salam Aldi.” Jawab beliau kembali.
Alhamdulillah wa syukurillah. Baru saja aku menjalani pertemuan serta perpisahan dengan kyai Qosim, dan sekarang sudah tiba saatnya diri ini kembali ke asrama, dikarenakan kujuga masih ingin berpamitan dengan para pengurus pondok dan juga teman-temanku.
Besok pagi adalah waktu di mana ku harus segera berangkat menuju pulau Jawa, sudah pasti segala perlengkapan mulai Aku siapkan dari sekarang. Selain itu, kujuga meminta maaf kepada seluruh orang-orang yang berada di pesantren ini, karena ku menyadari jika ini adalah pertemuan kita semua untuk yang terakhir kalinya. Waktu malam pun mulai tiba usai diriku menjalani shalat Isya. Kumulai melangkah keluar menuju taman di pesantren. Ku hanya terduduk sembari diam dalam merenungi diri. Sekarang adalah malam terakhir aku berada di sini, dan sekarang juga adalah malam terakhir di mana ku masih bisa memandang langit yang penuh akan bintang di atas tempat yang Aku pijak ini. Kuingin tidur dalam pelukan bintang itu hingga sinar matahari akan membangunkanku.
Satu malam telah berlalu, dewi malam mulai menyembunyikan sinarnya, tergantikan cahaya mentari yang mulai datang menyapa. Assalamualaikum warahmatullah, baru saja ku menyelesaikan shalat Dhuha, dan kini sudah tiba saatnya diri ini berangkat dalam melakukan perjalanan ke pulau Jawa.
Tas-tas besar beserta koper mulai ku masukkan ke dalam bagasi mobil travel, sebelum diri ini masuk ke dalam mobil, sudah saatnya aku kembali berpamitan pada kyai dan juga kepada guru-guruku. Tangis pada mata ini mulai pecah, tak mampu membendung atas pahitnya perpisahan. Selamat tinggal kyai, selamat tinggal teman-temanku dan selamat tinggal juga para guru-guruku tercinta, semoga Allah SWT senantiasa melindungimu, serta diberikan umur yang panjang dan barokah.
-Perjalanan-
Perjalanan yang kan aku lalui, mungkin akan memakan waktu sekitar tiga hari. Ku harus sabar menunggu untuk tiba di rumah. Entah diriku masih belum tahu, akankah ada banyak perubahan yang nantinya bisa kulihat saat diriku telah tiba di kampung desa. Kuyakin pasti ada banyak sekali perubahan yang nantinya bisa kuamati. Wajar saja, karena selama ini bila diriku pulang kampung dari pesantren, hanya dilakukan setiap tiga tahun sekali.
-Perjalanan- Ku mulai membuka mata dari tidur malamku. Sebuah Alarm yang kupasang telah berbunyi pada pukul setengah tiga di pagi hari ini. Sudah menjadi kebiasaan semenjak diriku masih tinggal di pesantren, bahwa shalat di sepertiga malam terakhir merupakan bagian dari kewajiban seorang santri. Ya, meskipun kini diriku sudah tidak lagi menjadi seorang santri, tetapi kelakukan serta perilaku harus tetap seperti seorang santri. Tak terasa juga matahari mulai terlihat di ufuk timur, dan ayam mulai berkokok, sebagai tanda bahwa matahari akan menampakkan sinarnya dalam menerangi bumi yang penuh akan kegelapan. “Aldi.” Panggil oleh ibu. “Iya buk.” Jawabku. Lalu diriku segera berdiri dengan sigap menghampiri i
-Di pagi itu- Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Di pagi inilah kumulai merasakan aroma kesegaran, hembusan angin serta dinginnya udara di pagi hari mulai aku nikmati, sehingga kesejukkan mulai merasuk sampai ke dasar jiwaku. Jam enam pagi, adalah waktu di mana aku mulai terduduk sambil menikmati indahnya pesona alam. Kesepian dan kesendirian memang aku rasakan sekarang, namun jiwaku tidak hanya sendiri, karena ada Allah yang senantiasa menemani hari-hariku di setiap waktu. Saat ku terduduk di sini, saat itulah ku kembali teringat atas sosok wanita yang akhir-akhir ini mulai menghantui pikiranku di setiap waktu. Entah kenapa hal ini bisa terjadi aku sama sekali tak mengerti, mungkinkah ini sudah menjadi pertanda akan datang masa di mana aku akan menuai bahagia. “Aldi.”
-kebiasaan rutin Aisy- Kehidupan yang saat ini Aisy jalani memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan dulu di saat dia masih duduk di bangku sekolah. Hubunganku dengannya begitu sangat dekat karena kita berdua sudah menjadi satu sahabat yang selamanya akan terus erat. Yang aku tahu, dulu Aisy adalah anak yang rajin, bakti pada orang tua serta senantiasa menjaga tali silaturahim kepada siapapun, siapa sangka jika pada akhirnya dirinya telah berubah drastis, menjadi anak yang selalu membangkang dari nasihat orang tua. Semua itu karena dia salah dalam memilih pergaulan, dia sepertinya sudah terjebak dalam sebuah sumur kenistaan yang dengan perlahan akan menghancurkan jati dirinya sebagai seorang wanita. Setelah aku mengetahui akan hal itu, aku bukannya menghindar dan menjauh dari dirinya, karena aku bukanlah lelaki yang dengan mudah menilai keburukan seorang wanita
-sangat khawatir- Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak. Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamit
-tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena
-pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me
-kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “
-kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.