Share

Panggil Aku Aisyah
Panggil Aku Aisyah
Penulis: Viand Wahyudi

1. Masa di Pesantren

-Masa SD-

          Dua belas tahun sudah aku menjalani hidup, mulai dari TK dan tak terasa kini sudah masuk di kelas enam SD. Setidaknya ku akan lebih banyak belajar dengan giat, jika dulu ku lebih banyak menggunakan waktu untuk bermain, tapi untuk saat ini mulai aku kurangi, karenaku menyadari bahwa sebentar lagi diriku akan lulus.

          Sekarang sudah memasuki tahun 2007, dan sudah masuk semester dua, jadi kurang enam bulan lagi aku pasti lulus dari sekolah. Bagiku, sekolah ini adalah sekolah yang luar biasa, karena telah banyak mengajarkanku menjadi seorang lelaki yang tangguh dan tahan baja. Cukup sering diriku kena hukum oleh guru-guru ketika tidak mengerjakan tugas, namun perlahan demi perlahan ku telah memiliki kesadaran penuh untuk menjadi seorang murid yang bertanggungjawab.

          Semua ini juga karena ibu, ibu yang selalu mendidikku dengan baik, walau pada awalnya aku adalah anak yang paling bandel. Dan pada akhirnya aku cukup merasa senang berada di sekolah, karenaku tak hanya memiliki banyak teman, namun juga punya seorang sahabat yang tidak lain adalah perempuan itu.

          Perempuan yang berseragam dengan rok panjang, serta berkerudung putih itu namanya Aisy, usianya lebih muda dariku, kurang lebih selisih enam bulanan. Sudah lama juga diriku bersahabat dengannya, tepatnya sejak kita berdua sama-sama duduk di bangku TK. Menurutku, dia adalah teman yang paling baik, di saat jam istirahat sekolah tiba, seringkali dia menawarkan sebuah jajanan kepadaku, yaitu kue serabi dengan kuah yang super enak, wajar saja karena ibunya juga jualan kue serabi di rumahnya.

          Selama berteman, jarang sekali kita bertengkar walaupun itu hanyalah masalah sepele. Uniknya lagi, kita selalu bersama ke mana pun kita pergi, entah itu mengerjakan PR, bermain petak umpet, ataupun mencuci baju di sungai Brantas. Aku dan Aisy memanglah satu kesatuan yang sangat erat dalam menjalin hubungan pertemanan, dan sudah sepantasnya jika ia telah kuanggap sebagai sahabatku sendiri.

          “Entar sore kita sholat di masjid bareng ya!” seru Aisy padaku saat kita hendak pulang bersama dari sekolah.

          “Ya pastilah. Shalat berjamaah itukan pahalanya lebih besar daripada shalat sendirian di rumah,” jawabku.

         Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara azan mulai berkumandang pada jam enam sore, menandakan bahwa diriku harus menjalani shalat Maghrib berjamaah. Setiap hari aku selalu berangkat bersama Aisy menuju masjid terdekat, bukan hanya di waktu Maghrib melainkan juga di waktu Isyak, lebih-lebih di waktu Ashar jika kita kebetulan bertemu. Orang tuaku dan orang tua Aisy memang orang tua yang hebat, karena sejak kita masih TK sudah diajarkan menjalani shalat lima waktu setiap hari.

          Hanya dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit, diriku kembali pulang ke rumah. Saatku mengucap salam, dan baru saja kaki ini kulangkahkan, ternyata bapak dan ibu telah menungguku di ruang tamu, karena ada sesuatu yang sepertinya ingin bapak dan ibu bicarakan untukku.

          “Aldi, duduk sini nak!” seru bapak.

          “Baik pak.” Jawabku, lalu aku duduk di samping ayah dan ibu.

          “Sebelumnya bapak dan ibu ingin meminta maaf sama kamu nak,”

          “Minta maaf untuk apa pak?” tanyaku.

            Lalu bapak dan ibu terdiam sejenak, mungkin mereka merasa berat yang ingin mengatakan sesuatu.

           “Bapak dan ibu belum bisa untuk mendaftarkan kamu masuk di SMP 3.”

           “Lohhh, kenapa pak, padahal kan itu sekolah favoritku, sejak kelas empat Aldi berharap agar bisa sekolah di situ.”

           “Sekali lagi maafkan bapak nak.”

           “Terus kalau Aldi tidak sekolah di situ, lantas Aldi mau disekolahkan di mana pak.”

           “Bapak dan ibu sebenarnya ingin mengatakkan hal ini sejak lama. Karena yang jelas bapak ingin memasukkanmu di pesantren nak.”

           “Betul Aldi, karena bapak dan ibuk ingin agar kamu kelak bisa menjadi anak yang saleh,” imbah ibu.

           “Ya nggak bisa begitu dong pak, Aldi itu paling takut dan tidak biasa hidup di pesantren.”

           “Suatu saat kamu pasti akan menyadari nak, bahwa inilah jalan yang terbaik.”

        Aku dan bapak mulai sedikit berdebat. Namun sebagai anak, aku tidaklah pantas untuk membantah. Biarlah, akan kuturuti saja apa kemauan bapak meski sebenarnya kumerasa sangat kecewa sekali, karena tidak bisa satu sekolah SMP dengan Aisy nantinya.

-Pesantren Impian-

          Selama diriku menjalani pendidikan di pesantren, banyak sekali kegiatan yang telah kuikuti, mulai dari sekolah, mengaji, atau mengikuti kegiatan keagamaan seperti acara shalawat’an. Tahun demi tahun telah kulewati, dan kumerasa sangat nyaman tinggal di pesantren ini, karenaku bisa memiliki banyak teman dan seorang sahabat sejati, dia bernama Rahma, sahabatku yang paling setia sejak diriku masih duduk di kelas satu SMP. Dan Rahma adalah sahabat yang selalu mengerti akan keadaanku serta bisa memahami segala kekuranganku, sehingga tanpa sadar kumulai memiliki perasaan dengan sangat dalam yang tak bisa kuungkapkan untuk saat ini.

-Sepuluh tahun kemudian-

         Sepuluh tahun sudah diriku menjalani pendidikan di pondok pesantren. Dan tak terasa juga besok kuharus menjalani wisuda sarjana, karenaku baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Islam Pontianak. Di sore ini, akan menjadi hari terakhir bagiku untuk menjalani pendidikan di madrasah diniyah, karena seminggu lagi aku akan menjalani ujian kelulusan. Entah tak tahu bagaimana nasib ataupun rencana yang akan kulakukan nantinya, tentu sudah pasti akan kujalani hari demi hari ini dengan  baik.

          “Baik murid-muridku semua. Ini adalah hari terakhir kalian mengikuti pembelajaran diniyah di sore hari ini, karena sebentar lagi kalian semua harus menjalani ujian akhir sebagai persiapan kelulusan.” Ucap seorang guru yang sedang mengajar di kelasku saat ini.

       Pembelajaran pun telah usai. Kita semua dalam satu kelas mulai saling meminta maaf antar teman dan juga kepada guru-guru kita, karena sebentar lagi kita akan berpisah. Aku mulai keluar dari kelas, tanpa sengaja kumelihat Rahma yang juga baru keluar dari kelasnya, kucoba untuk menghampirinya, karena sebenarnya kujuga ingin tahu mengenai rencana apakah yang akan dilakukan nanti ketika kita sudah berpisah.

           “Assalamualaikum Rahma.”

           “Iya walaikum salam Aldi.”

           “Hmmm. Oh ya Rahma, sebentar lagi usai lulusan kamu ada rencana apa?” tanyaku dengan iseng.

           “Alhamdulillah, Insya Allah saya mau menikah Aldi, karena ayah sudah mencarikan Rahma jodoh.”

           “Oh begitu ya.” Jawabku dengan perasaan yang penuh kaget.

           “Kalau kamu sendiri gimana Aldi?” tanyanya.

           “Emm, aku masih belum ada rencana Rahma. Tapi Insya Allah aku mau lanjut S2.”

           “Oh begitu ya. Bagus dong, ya sudah aku kembali ke pondok dulu ya.” Imbuhnya.

           “Iya Rahma, semangat terus ya.”                                                                          

           “Iya Aldi, kamu juga tetap semangat ya.”

        Rahma kembali berjalan menuju asramanya meninggalkanku sendiri. Aku masih tetap berdiri di sini sambil memandangi dirinya di saat melangkah pergi, dan saat itulah kumulai terdiam bercampur rasa sedih yang cukup menyiksa. Mengapa hati ini terasa perih di saat telinga baru saja mendengar kabar bahwa dirinya akan melangsungkan pernikahan. Aku dan dirinya sudah berteman selama sepuluh tahun, di saat itu juga kita sempat menjalin persahabatan sehingga tanpa sadar telah tumbuh sebuah rasa suka, kagum dan cinta yang selama ini kupendam dengan sangat dalam.

        Aku terus merenungi akan hal itu hingga tanpa sadar mata ini mulai terbendung air mata. Kucoba tuk menahan, dan pada akhirnya terjatuh juga membasahi bumi.

          “Ya Allah, mengapa ini terjadi padaku. Sudah sekian lama kumenginginkan dirinya, berharap di waktu yang tepat ini kubisa mengungkapkan rasa sekaligus melamarnya,” batinku.

          Namun apalah daya jika pada akhirnya dia akan bersanding dengan pria lain. Terpaksa kuharus mengikhlaskan semua itu, karena ini sudah menjadi kehendak Allah yang tak bisa ku tolak. Demi Allah, aku belum siap merelakan dirinya, karena ia sudah kuanggap sebagai matahari yang senantiasa menyinari hari-hariku di pesantren ini, demi Allah aku ikhlas.

        Waktu di malam hari telah tiba, dan ini adalah waktu pesantren akan menyelenggarakan acara shalawatan. Sudah menjadi rutinitas jika kegiatan ini dilakukan setiap satu bulan sekali, dan kebetulan juga aku mendapati jadwal memberikan Mauidzah Hasanah atau ceramah terhadap seluruh santri, dan untuk kali ini ku akan memberikan ceramah dengan judul menggapai cinta sang Rasul dengan banyak bershalawat.

          Syukurlah, topik ini sudah kusiapkan sejak minggu kemarin, agar kudapat menyampaikannya secara baik dan juga maksimal. Setelah acara demi acara mulai terlewati, kini tiba saatnya waktuku untuk memasuki acara terakhir, yaitu ceramah yang akan kusampaikan. Di saat aku baru saja naik di atas panggung, kucoba untuk melirik ke sebelah utara, tentu barisan para santri akhwat.

          Dengan perlahan, kumulai menyampaikan dengan baik dari materi yang akan kusampaikan. Tanpa sengaja, kusempat melihat wajah Rahma di mana dia telah duduk di barisan paling depan. Dengan hati yang cukup gembira, dia mulai tersenyum ke arah wajahku, begitu juga sebaliknya. Bisa jadi ini adalah malam yang terakhir aku bisa menampilkan diri kepadanya, maka dari itu, aku akan persembahkan momen ini dengan sebaik-baiknya, mengingat sebentar lagi kita akan berpisah dan dirinya juga akan menikah.

***

        Kumulai membuka mata ini dan terbangun dari tidurku. Suara adzan belum terdengar karena waktu masih menunjukkan jam tiga pagi. Segera kubasuh tubuh ini dengan air wudhu, serta bersiap diri menjalani Qiyamullail. Kumulai membasuh diri ini, namun entah kenapa tiba-tiba kuteringat dengan ayah dan ibu di rumah, sepertinya aku merindukan mereka. Dalam waktu tiga tahun, hanya dalam sebulan ku bisa menikmati kebersamaan dengan mereka, mungkinkah aku harus segera kembali sedangkan diriku masih ingin menetap di pesantren untuk dua tahun ke depan. Sudahlah, tak perlu diriku merisaukan hal itu, lebih baik kujalani saja dari apa yang ingin kulakukan, Insya Allah pasti akan ada solusi serta jalan terbaik dari Allah SWT.

-Wisuda Sarjana-

          Setelah sepuluh tahun menjalani pendidikan di pesantren, akhirnya kiniku telah berhasil meluluskan diri dari pendidikan tinggi dengan gelar terakhir S1. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku, yang telah berhasil lulus dari perguruan tinggi. Entah nanti kedepannya harus bagaimana, yang jelas aku masih belum memiliki satu rencana, tetapi yang jelas, aku akan tetap berusaha lagi menjadi lebih baik sebagai anak yang bisa berbakti pada kedua orang tua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status