Sang panglima masih berjuang mencerna berbagai informasi yang datang seperti air bah di kepalanya. Dari perubahan nama menjadi Juna , dan juga tempat tinggalnya saat ini.
Dia ada di negara Nusantara, bertempat di kota Samanggi dan ada di tahun 2017 Masehi! Bukan menggunakan penanggalan Jawa Purwa seperti yang dia ketahui.
Karena masih bingung, Juna memilih memejamkan matanya sambil terus mengolah informasi aneh yang ada di kepalanya. Dia biarkan orang-orang di sekitarnya berceloteh sesuka hati dan menganggap dia sedang beristirahat.
Juna butuh asupan informasi sebanyak mungkin akan kehidupan Arjuna andaikan benar jiwanya masuk ke dalam raga orang lain yang kebetulan saja elemen nama dan wajahnya hampir mirip.
‘Hm jadi saat ini tidak menggunakan penanggalan Jawa Purwa, melainkan penanggalan Masehi. Aku tak paham, tapi tak apa, berikan saja semuanya!’ seru Juna. Dulu, dia hidup di tahun 134 Jawa Purwa.
Mengenai penanggalan Masehi, mungkin nanti dia akan mencari tahu mengenai itu, entah dengan cara apapun, pasti bisa, karena dia bukan orang bodoh.
Setelahnya, kilasan-kilasan memori mengenai Arjuna yang lebih bersifat pribadi datang. Kening Juna berkerut. Usai itu, dia berkata, ‘Kau ternyata lelaki payah, Arjuna! Aku tak mau melanjutkan menjadi dirimu!’
Dia seketika memikirkan kilas balik mengenai kehidupannya di masa lampau, era yang sangat kuno, tepatnya pada tahun 777 SM.
Ketika itu, dia adalah panglima termuda kerajaan Trahujoyo yang berusia 28 tahun. Dia orang tegas dan teguh, tidak seperti orang yang sedang dia gantikan. Sangat jauh berbeda.
Teringat olehnya, di masanya dulu, dia banyak dipuja dan dipuji banyak orang dikarenakan prestasinya menjadi Panglima Selatan di usia yang begitu muda. Wanita berderet mengantri untuk menghangatkan ranjangnya meski kadang dia abaikan.
‘Keadaanku di sini sungguh berbeda dengan di Trahujoyo. Tapi … kenapa aku sampai ada di sini? Bukankah aku sedang mengantarkan tuan putri Sarnika ke kerajaan Prajumanggolo untuk menyerahkannya pada pangeran di sana yang menjadi calon suaminya?’ Juna masih terus mengingat-ingat saat terakhir yang masih dia ingat.
‘Ya, saat itu raja memintaku memimpin rombongan mengantar tuan putri ke calon suaminya. Betapa ironisnya, aku mengantarkan wanita yang aku cintai untuk menikah dengan lelaki lain. Tsk!’
Mengingat hal tersebut, menyebabkan Juna merasakan sakit di hatinya. Dia dipisahkan dengan wanita tercintanya dan malah terdampar di tempat yang tak dia kenali. Belum lagi harus mendapatkan raga lemah milik pria payah.
‘Kenapa Dewata kerap memberikan aku nasib malang? Apakah karmaku terlalu buruk? Dosa apa yang sudah aku perbuat hingga harus menggantikan orang payah ini? Terlebih istrinya sangat tak sopan!’ Juna kesal sendiri jika mengingat seperti apa perlakuan Lenita padanya.
Apakah selamanya dia harus hidup di lingkungan begini? Harus meneruskan menjalani kehidupan lelaki bernama Arjuna ini?
Saat Juna sedang kesal sendiri, suara Lenita sudah menyapa pendengarannya. “Juna … Jun? Juna, hei Juna!” Tangan Lenita menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.
Mau tak mau, Juna membuka mata. “Ada apa?” Suaranya dingin dan terdengar sedikit ketus. Dia masih kesal pada Lenita.
Di lain pihak, Lenita terkejut, tak mengira akan mendapatkan sahutan semacam itu dari suaminya. Bukankah biasanya Arjuna akan berkata-kata dengan suara lembut merayu penuh memuja? Apakah ini efek mati suri?
“Heh, Jun, mama datang dan ingin bertemu denganmu. Lekas bangun dan temui mama, sana!” Lenita menampar lengan Juna.
Bukannya menjawab istrinya, Juna justru berguling ke samping, memunggungi Lenita.
Melihat sikap suaminya, Lenita makin terkejut. Ada apa dengan suaminya? Mana Arjuna yang bertutur lembut dengan tatapan penuh cinta dan memuja seperti biasanya? Kenapa ini sangat berbeda?
Sayang sekali, Lenita mengabaikan keheranannya dan memukul lagi lengan suaminya sembari menghardik, “Juna! Mama datang! Cepat keluar untuk menemui mama!”
Juna mau tak mau menoleh ke belakang, mendapati wajah kesal Lenita. “Untuk apa aku menemui ibumu? Kalau dia ingin menjengukku, harusnya dia datang kepadaku, bukan sebaliknya!”
Kalau arwah Arjuna ada di sana, dia pasti terkejut bukan kepalang menyaksikan sikap macam apa yang ditunjukkan penggantinya.
Tak butuh waktu lama untuk membuat Lenita segera mengomeli Janu. “Dasar suami kurang ajar! Kau pikir kau ini siapa sampai berani bicara seperti itu kepadaku? Apa kau sudah merasa yang paling hebat? Apa kau lupa kau ini ada di mana? Kau lupa siapa yang memberimu makan dan tempat tinggal?”
Mengabaikan Lenita yang mengomelinya panjang lebar, Juna justru lebih tertarik mengakses informasi mengenai Arjuna di kepalanya sebanyak mungkin.
‘Arjuna, Arjuna … kau ternyata hanya lelaki payah dan kukatakan secara jujur, aku tak ingin menjadi dirimu yang begitu! Jangan harap!’ Juna kembali mengulang batinan yang sempat terhenti ketika istrinya datang ke kamar.
Kemudian, ada informasi baru. ‘Hm, Arjuna seorang CEO? Apa itu CEO?’ Segera, sesuatu di otaknya memberikan pengetahuan apakah CEO itu.
‘Baiklah, aku paham CEO. Tapi tetap saja kau payah, Arjuna! Kau menjadi budak bagi istrimu dan juga diremehkan ibu dari istrimu. Selain itu, kau beberapa kali ditipu rekan bisnismu sampai membuat ayah mertuamu kesal dan istrimu mengomelimu sepanjang malam sampai dia enggan disentuh olehmu. Kau bahkan—‘
Juna sampai harus mengambil napas banyak-banyak setelah memuntahkan opini buruk mengenai Arjuna. Dia seperti sedang memarahi pemilik lawas dari tubuhnya.
‘Arjuna, kenapa kau seperti berada di ketiak istrimu? Tak heran tadi istrimu menyebut kau tolol, ternyata kau sudah biasa disebut begitu oleh dia dan ibunya.’ Lalu, Juna geli sendiri ketika dia melihat adegan-adegan saat Arjuna sedang ditindas istri dan mertua perempuannya yang galak.
Apalagi di adegan Arjuna berlutut memohon agar Lenita tidak lagi mendiamkan dia karena dia tidak bergegas mengambilkan jus buah di lemari es. Juna mendengus keras dan berkata, ‘Hgh! Kalau bisa muntah, aku ingin muntah di mukamu, Arjuna!’ Dia justru memarahi Arjuna meski tahu itu sia-sia karena yang bersangkutan sudah tak ada.
Kemudian, dalam memori berikutnya, ada adegan Arjuna meratap ketika Lenita keguguran. “Tuhan, kenapa kau begitu jahat pada Nita sayangku? Apa salah dia hingga kau ambil anak kami, Tuhan?” Seperti itu.
‘Tuhan?’ Juna mengerutkan dahi. ‘Siapa itu Tuhan? Keluarga Arjuna lainnya?’ Dia sedikit bingung.
Setelahnya, otak Juna segera memberikan pengertian singkat mengenai Tuhan yang merupakan entitas tertinggi di jagat raya ini, pemilik alam semesta, pencipta segala yang ada di langit dan bumi.
‘Hm, pencipta dan pemilik semesta? Kenapa itu lebih terdengar seperti Sang Hyang Widhi di zamanku, ya?’ Juna berpikir ke arah itu.
Juna mendengus dan berkata, ‘Baiklah, pemilik tubuh ini adalah CEO sekaligus menantu yang payah dan sembrono, tapi tentu saja aku tak mungkin sembrono sepertinya. Lihat saja nanti, aku akan membuat perbedaan yang sangat nyata!’
Kemudian, giliran informasi mengenai latar belakang Arjuna muncul. ‘Hm, Arjuna anak yatim piatu sejak remaja. Orang tuanya berkawan baik dengan orang tua Lenita. Makanya, dia dibawa ke rumah Hartono, diasuh dan disekolahkan sampai tamat SMA, dan bisa bertemu dengan Lenita.’‘Arjuna bertemu Nita dan jatuh cinta sampai tergila-gila dengan wanita kasar itu, kemudian bersikeras mendekati Nita padahal aku rasa Nita tidak menyukainya.’ Juna langsung memiliki penilaian sendiri mengenai sikap Lenita pada Arjuna. Dia merasa iba akan itu, sekaligus mencemooh kebodohan pemilik raga terdahulu.‘Hn, Arjuna payah itu terus mengejar Nita, sampai akhirnya suatu hari, Nita merayu dia dan mereka bercinta, lalu Nita dinyatakan hamil, tapi kemudian keguguran.’ Juna menghela napas ketika dia diberikan adegan ketika Lenita keguguran.Sekali lagi, ingatan Juna mengenai kehidupan lamanya di era kuno terbayang tanpa bisa dia hentikan.‘Di sini sungguh tak enak. Baru datang saja aku sudah ingin kembali. Tapi,
‘Tsk! Menyedihkan! Kehidupanmu begitu menyedihkan, Arjuna. Akan aku ubah itu, tenang saja. Akan aku kembalikan harga dirimu sebagai lelaki!’ Juna seakan menjanjikan itu pada Arjuna. Dia sendiri merasa geram ketika mengetahui ada perempuan yang memperlakukan lelaki dengan cara demikian.Setidaknya, Juna mengharapkan sikap hormat yang pantas dari Lenita yang merupakan seorang istri. Jika ini di zamannya, Lenita sudah diceraikan begitu menyebut suaminya bodoh atau tolol.“Huh! Kali ini Mama maafkan, ya!” Suara Leila kembali tertangkap pendengaran Juna. Wanita itu belum selesai mengomel, “Mama tak suka ada yang bersikap kurang ajar pada Mama!” Leila memang temperamen, terlihat dari cara dia berkata-kata pada Juna. Atau hanya pada Juna saja?“Mamih, ini ….” Terdengar suara lain di pintu. Itu adalah Hartono, ayah dari Lenita. Beliau masuk ke kamar anaknya. “Kenapa aku mendengar suara mengomel Mamih? Terdengar sampai ke ruang tengah, loh! Masih ada banyak orang di sana, Mih! Tak enak kalau d
Juna tak mungkin habis akal atau dia tak akan diangkat sebagai panglima oleh rajanya. Dia berkata pada Lenita, “Bagaimana mungkin aku bukan Juna? Aku ini Juna, suamimu! Aku Arjuna Prasojo, itu sudah jelas!”Dahi Lenita masih berkerut tanda dia belum merasa yakin dan ikut melipat kedua lengan di depan dada seperti yang dilakukan Juna, wajahnya masih menyiratkan kecurigaannya. “Kalau memang kau Juna, kenapa kau berbeda sekali dengan suami yang aku kenal sebelum kau bangkit dari mati suri?”“Tega sekali kau meragukan suamimu, Len?” Juna menampilkan raut wajah kecewa.“Nah! Kau bahkan memanggilku Len dan bukannya Nita!” Lenita seakan menemukan celah terbesar.“Memangnya aku tak boleh mengganti nama panggilan untuk istriku? Sejak kapan ada peraturan begitu? Undang-undang yang mana? Pasal berapa?” Jangan remehkan Juna yang sudah mengambil seluruh ingatan Arjuna sehingga dia jadi lebih paham akan tata cara dan istilah mengenai kehidupan di era modern ini.“Yah, memang tidak ada, tapi tetap s
Juna melirik jam di pergelangan tangan kirinya, dan berkata dalam hati, ‘Bukankah ini sudah masuk ke jam kerja? Lalu kenapa mereka masih bersantai di sana?’Karena itu, Juna menghampiri dua pekerja tadi dan mau tak mau menegur mereka, “Kenapa kalian ada di sini dan tidak bekerja?”Juna belum mengetahui siapa nama karyawan tersebut tapi dia tidak ingin mengungkapkannya agar tidak ketahuan bahwa dia bukan Arjuna, apalagi di memori pemilik raga sebelumnya juga tidak nampak data mengenai mereka.“Pekerjaan kami sudah selesai.” Salah satu dari karyawan menjawab santai sembari membanting rokoknya di lantai dan memadamkan menggunakan alas sepatunya.Melihat itu, Juna mengernyitkan kening, tak suka. “Bersihkan.” Suaranya terdengar tenang tapi tegas.“Hah?” Orang itu menoleh ke Juna dengan sikap meremehkan.“Kubilang, bersihkan lantai yang baru saja kau kotori!” Juna menaikkan sedikit suaranya. Kemudian, dia menatap ke arah CCTV di atasnya, dia sudah tahu fungsi benda tersebut dan berkata ke o
Ketika mobil kembali ke rumah, Hartono dan Wenti terkesima melihat bagasi mobil sudah dipenuhi tumpukan map.“Itu … apa, Jun?” tanya Hartono ketika menyaksikan menantunya sibuk mengeluarkan satu demi satu ikatan map dari bagasi.“Ini laporan keuangan dan dokumen penting lainnya, Pa. Tadi aku memeriksa di kantor, tapi karena terlalu banyak, aku ingin melanjutkan memeriksa di rumah. Tak apa, kan?” Juna menatap mertuanya.“O—oh! Tentu saja boleh! Ha ha ha! Mana mungkin Papa melarang kamu yang ingin serius mengelola perusahaan?” Hartono tertawa senang diikuti Wenti yang tersenyum lebar di sampingnya. “Pak Atmo! Iwang!” Beliau memanggil pekerja rumah.Segera, lelaki berusia 57 tahun dan 32 tahun datang dengan sikap hormat di depan Hartono.“Ya, Tuan?” Atmo mengangguk diikuti Iwang.“Kalian bantu Juna membawa barang-barang itu ke kamar atau manapun dia inginkan!” perintah Hartono.“Baik, Pak!” Atmo dan Iwang mengangguk dan melaksanakan perintah majikan mereka.“Ini hendak dibawa ke mana, Ma
Alangkah terkejutnya Lenita mendengar sahutan dari suaminya. Dengan suara melengking, dia berkata, “Kau hendak memecat mereka? Kau berani, Juna?!” Kilatan amarah muncul di matanya beserta kedua tangan berkacak pinggang.Tingkahnya benar-benar sudah seperti tokoh antagonis di serial drama televisi. Lenita tak terima suaminya bersikap berani terhadap dirinya. Juna itu harus selalu di bawah kakinya! Itu nasehat yang selalu ditekankan oleh ibunya untuk mengendalikan sang suami dan Lenita setuju mengenainya.Namun, kenapa sekarang justru berantakan semenjak Juna terbangun dari mati suri?Mental panglima yang kokoh mana mungkin gentar hanya dari bentakan seorang istri durhaka? Oleh sebab itu, Juna tak segan membalas dengan ucapan, “Tentu saja berani! Kalau mereka bekerja tidak sesuai kemauanku dan menjadi hambatan di perusahaan, maka aku sebagai pemimpin, sudah selayaknya menertibkan semua pekerjaku.” Kemudian, dia menoleh ke Hartono di belakang, “Bukankah ini prinsip yang seharusnya dimili
Di dalam kamar, Lenita tentu saja mendengar suara suaminya di luar, tapi dia tetap bergelung nyaman di bawah selimut sambil rebah menikmati acara televisi di tempat tidurnya tanpa memiliki niat membukakan pintu. Salah siapa berani melawan dia? Lenita mana mungkin merelakan dirinya ditentang suami payah seperti Arjuna! Tak mendapatkan jawaban segera dari pihak lain, Juna kembali mengetuk pintu sambil memanggil istrinya, “Len, Len? Len, buka pintunya! Aku sudah mengantuk, ingin tidur!” Tak lama kemudian, terdengar teriakan jawaban Lenita dari dalam kamar, “Tidur saja sana di sofa! Atau di ruang baca sekalian!” Usai mengatakan itu, hatinya merasa gembira karena merasa sudah menang dan mendapatkan lagi harga dirinya sebagai istri penuh kuasa. Kamar Juna dan Lenita berada di lantai bawah, sedangkan kamar Hartono dan Wenti ada di lantai atas. Karenanya, si ayah mertua dan istri barunya tidak mungkin mendengar adanya insiden di kamar anak mereka. Bahkan, pastinya saat ini pun Hartono se
Lenita berusaha menjauh dengan bergerak mundur menggunakan pantatnya di kasur. Namun, dengan begitu, dia justru makin tersudut dan menemui jalan buntu.Juna terkekeh melihat raut ketakutan dan waspada Lenita. “Mau ke mana, Istriku sayang?” ledeknya. Tercetak jelas senyum miring menyeringai ke istrinya disertai pandangan laksana harimau sedang mengintai mangsa.Juna hanya sengaja bertingkah demikian untuk membuat Lenita takut dan dia bisa memberikan sikap dominasinya. Walaupun sang istri galak serta kerap meneriaki dia, tetap saja untuk urusan kekuatan, dia yang berada di atas keunggulan.Saat ini, menyaksikan sikap panik Lenita merupakan hiburan tersendiri bagi Juna setelah dia merasakan jungkir balik kehidupan beberapa hari ini.Sepertinya tidak buruk juga terjebak di zaman berbeda ini jika dia ternyata memiliki istri secantik begini. Meski kasar dan menyebalkan, namun penampilan Lenita tidak buruk. Setidaknya itu bisa menjadi pengganti kerugian atas perlakuan kurang ajar sang istri