Kemudian, giliran informasi mengenai latar belakang Arjuna muncul. ‘Hm, Arjuna anak yatim piatu sejak remaja. Orang tuanya berkawan baik dengan orang tua Lenita. Makanya, dia dibawa ke rumah Hartono, diasuh dan disekolahkan sampai tamat SMA, dan bisa bertemu dengan Lenita.’
‘Arjuna bertemu Nita dan jatuh cinta sampai tergila-gila dengan wanita kasar itu, kemudian bersikeras mendekati Nita padahal aku rasa Nita tidak menyukainya.’ Juna langsung memiliki penilaian sendiri mengenai sikap Lenita pada Arjuna. Dia merasa iba akan itu, sekaligus mencemooh kebodohan pemilik raga terdahulu.
‘Hn, Arjuna payah itu terus mengejar Nita, sampai akhirnya suatu hari, Nita merayu dia dan mereka bercinta, lalu Nita dinyatakan hamil, tapi kemudian keguguran.’ Juna menghela napas ketika dia diberikan adegan ketika Lenita keguguran.
Sekali lagi, ingatan Juna mengenai kehidupan lamanya di era kuno terbayang tanpa bisa dia hentikan.
‘Di sini sungguh tak enak. Baru datang saja aku sudah ingin kembali. Tapi, bagaimana caraku kembali? Dewata, apakah ini hukuman untuk hamba?’
Terakhir kali dia berada di era kuno, dia masih berusia 28 tahun, namun kini menempati raga Arjuna, usianya menjadi 27 tahun. Memang bukan sebuah masalah untuknya. Hanya saja, dia tak suka dengan orang-orang di sekitarnya, terutama istri dan ibu mertua pertamanya.
‘Sungguh, di eraku dulu, mana ada yang berani menentangku? Aku cukup mengucapkan kata sekali saja, maka tak ada yang menyanggahku. Hanya raja dan keluarganya saja yang berhak memerintahku. Meski begitu, raja pun segan padaku, tapi di sini, orang begitu mudah meremehkan aku!’ Dia masih belum bisa melupakan kekesalannya pada Lenita.
Bagi Juna, wanita seperti Lenita harus dipukul supaya tahu diri dan tahu status. ‘Dia hanyalah istri, tapi kenapa tingkahnya sudah melebihi raja?’
Belum lagi mengenai Hartono, ayah mertua empunya raga. Dari sekali lihat, Juna menduga ayah mertuanya bukanlah lelaki yang mampu bersikap tegas. Dia tidak melihat adanya wibawa pada diri Hartono.
‘Hartono itu … apakah dia memiliki istri ketiga?’ tanya Juna secara monolog.
Segera, informasi datang kepadanya memberikan gambaran mengenai galaknya istri pertama Hartono, Leila. Hartono menikah dengan Wenti saja sudah membuat gaduh kehidupan Leila sampai hampir saja Leila mengacaukan akad pernikahan kedua Hartono dengan Wenti..
Kening Juna berkerut sambil masih memejamkan mata dan berkata dalam hatinya, ‘Kalau memang istri pertamanya seganas itu, kenapa nekat menikah lagi? Aku tak habis pikir dengan ayah mertuamu, Arjuna. Sepertinya dia hanya mengandalkan uang dan napsunya saja. Tsk!’
Bisa Juna lihat, betapa Arjuna sangat membanggakan Hartono dalam hidupnya. Itu wajar, karena yang mengentaskan Arjuna dari kehidupan suram setelah kematian kedua orang tuanya adalah Hartono. Dia dibawa ke kota Samanggi, disekolahkan sampai SMA, dan bahkan diberi jabatan CEO di salah satu bisnisnya. Mana mungkin Arjuna tidak menaruh hormat begitu besar terhadap Hartono?
Melalui ingatan berikutnya, Juna melihat seperti apa tingkah Arjuna saat menghamba kepada istrinya. Itu sungguh memuakkan di mata Juna yang merupakan panglima tegas dan keras.
‘Entah aku harus salut pada ketabahanmu atau mengasihanimu karena memiliki istrimu yang keras dan angkuh, Arjuna. Dia memang cantik, tapi perangainya tidak secantik wajahnya, dan itu sungguh sesuatu yang harus disayangkan.’ Juna berdecak kecewa.
Lalu, ada banyak adegan saat Arjuna merendahkan dirinya sekaligus memuja Lenita begitu tinggi meski Lenita tidak menunjukkan perhatian dan sikap kasih sayang pada suaminya. Ini seperti cinta bertepuk sebelah tangan.
Menghela napas, Juna berujar, ‘Oh, astaga … budak cinta ….’
Juna masih ingin mengorek apalagi informasi yang harus dia ketahui dan pelajari mengenai dunia baru ini. Saat ini, dia hanya bisa menerima takdir yang diberikan padanya, yaitu menjadi penduduk di tempat yang sangat asing ini, entah sampai kapan.
“Jadi masih saja di sini, hah?!” Mendadak, terdengar suara melengking tinggi dari seorang wanita berumur 50 tahun.
‘Itu Leila.’ Juna segera paham siapa yang berteriak karena suara itu ada banyak di memorinya. Dia meyakini bahwa Arjuna takut pada ibu mertua pertamanya.
Mengenai Leila, bagi Juna, wanita semacam itu tidak pantas mendapatkan rasa hormat darinya. ‘Apa-apaan wanita yang bersikap arogan semacam itu? Apakah dia pikir dia permaisuri? Apa dia kira dia seorang ningrat dari keluarga bangsawan?’ Dia mencemooh Leila di hatinya.
“Kenapa tidak menyambut Mama datang, Juna?” Leila seperti tak bisa mengendalikan emosinya. “Ditunggu sejak tadi kenapa malah enak-enakan tidur?” Matanya melotot kesal dan beralih ke putrinya, “Nita! Kau ini apa tak bisa mendidik suamimu?”
Leila geram atas kelakuan anak dan menantu yang dianggap mengabaikan dirinya yang sudah duduk menunggu di luar. Ini merupakan tindakan kurang ajar di matanya.
“Ma—Mama, Mama jangan salah paham!” Lenita segera menghampiri ibunya yang sedang kesal. Dia meraih lengan sang ibu sambil bersikap manja. “Itu salah Juna, Ma! Dia malah menolak bangun dari kasur ketika aku memberitahu kalau Mama datang menjenguk dia. Katanya, kalau Mama hendak menjenguk dia, maka Mama yang harus mendatangi dia, bukan sebaliknya! Begitu, Ma!”
“Oh! Jadi begitu sekarang kelakuan kamu, Jun?” Leila mendelik usai mendapatkan laporan dari putrinya.
Juna bisa melihat tabiat Lenita sebagai orang hipokrit dan ingin mencari selamat sendiri. Dia segera rebah telentang di atas kasur sambil berkata santai, “Mama Mertua, aku ini baru saja mengalami hal besar dan menakutkan. Aku butuh istirahat. Bisakah Mama keluar sekarang?”
Mata Leila mendelik lebar saat menatap menantunya yang tergolek lemah di atas kasur, dia geram dengan ucapan Juna yang dia anggap kurang ajar. “Menantu tak punya sopan santun! Cepat turun dari sana dan sambut mertuamu ini dengan sikap pantas!”
“Oh, Mama Mertua, tentunya kau tahu, aku masih sangat lemah dan masih terkaget-kaget akan pengalaman mati suriku, sehingga aku tak kuat berdiri. Mohon Mama Mertua saja yang ke sini.” Juna mengatakan dengan suara dibuat lemah. Bahkan matanya dipejamkan untuk melengkapi kesan sedang sakit.
Leila masih membelalakkan matanya. Bagaimana bisa menantunya bersikap seperti itu? Beliau menoleh putrinya, ini membuat Lenita jadi serba salah.
“Ma … dia … si bodoh itu … dia sedang sakit, Ma. Sudah, abaikan saja dia, Ma!” Lenita bingung, tak tahu kalimat macam apa yang patut dia keluarkan. Jujur saja, baru kali ini dia mengalami sikap aneh suaminya.
Juna memutar bola matanya ketika dia mendengar ucapan istrinya. Lagi-lagi disebut bodoh oleh Lenita. Apakah Arjuna begitu payah sampai-sampai diperlakukan seperti itu oleh istri dan ibu mertuanya?
‘Tsk! Arjuna, kau ini ternyata sungguh payah sampai tak tertolong lagi! Sungguh menyedihkan!’ ledek Juna pada sosok lama pemilik tubuh tersebut. ‘Apakah kau terbiasa berjalan dengan ekormu mengibas jika istri dan ibu mertuamu datang? Kau begitu patuh dan takut pada mereka?’
Sebenarnya Juna merasa iba pada nasib Arjuna, tapi apa mau dikata, sebagai seseorang dengan watak dan pembawaan keras seorang panglima, mana mungkin dia bisa tahan dengan perilaku Arjuna yang begitu lemah dan tak berdaya di hadapan istri dan mertuanya? Lelaki di zamannya adalah sosok yang teguh, kokoh, dan kuat secara mental maupun hati.
Juna justru curiga, apakah di zaman ini, banyak lelaki yang seperti Arjuna?
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug