Share

4 - Kecurigaan Seorang Istri

‘Tsk! Menyedihkan! Kehidupanmu begitu menyedihkan, Arjuna. Akan aku ubah itu, tenang saja. Akan aku kembalikan harga dirimu sebagai lelaki!’ Juna seakan menjanjikan itu pada Arjuna. Dia sendiri merasa geram ketika mengetahui ada perempuan yang memperlakukan lelaki dengan cara demikian.

Setidaknya, Juna mengharapkan sikap hormat yang pantas dari Lenita yang merupakan seorang istri. Jika ini di zamannya, Lenita sudah diceraikan begitu menyebut suaminya bodoh atau tolol.

“Huh! Kali ini Mama maafkan, ya!” Suara Leila kembali tertangkap pendengaran Juna. Wanita itu belum selesai mengomel, “Mama tak suka ada yang bersikap kurang ajar pada Mama!” Leila memang temperamen, terlihat dari cara dia berkata-kata pada Juna. Atau hanya pada Juna saja?

“Mamih, ini ….” Terdengar suara lain di pintu. Itu adalah Hartono, ayah dari Lenita. Beliau masuk ke kamar anaknya. “Kenapa aku mendengar suara mengomel Mamih? Terdengar sampai ke ruang tengah, loh! Masih ada banyak orang di sana, Mih! Tak enak kalau didengar mereka!”

“Papih! Bukan salah Mamih ya kalau Mamih kesal dan mengomel. Ini, menantu kamu ini sekarang berani kurang ajar pada Mamih!” Leila menuding Juna yang masih berbaring telentang di kasur.

“Kenapa lagi dengan Juna, Mih?” Hartono bertanya dengan suara sabar.

“Dia tidak bersikap hormat padaku! Sudah tahu aku datang, dia bukannya turun menyambutku, tapi malah mengusirku keluar hanya karena dia ingin tidur!” Leila mengadu pada Hartono dengan muka cemberut.

Hartono terkejut dengan penuturan istri pertamanya dan di dalam hatinya, dia tak mengira sang menantu bisa melakukan hal semacam itu. “Ehem! Yah, mungkin saja Juna benar-benar butuh istirahat, Mih! Justru sebaiknya kita tak usah mengganggu, kan?”

Ada sedikit penyesalan pada Hartono karena terlambat mengetahui kedatangan istri pertamanya ke rumah ini. Memang, Leila tinggal di  rumah lain sejak Hartono menikah lagi.

“Tapi, Pih ….” Leila masih belum ingin menyerah menyalahkan Janu.

“Sudah, sudah, Mih. Lebih baik kita ke ruang tengah saja, yuk! Ada banyak orang ingin bertemu Mamih! Ayo! Jangan ganggu anak-anak kita yang sedang ingin berduaan dan istirahat.” Hartono mencoba menggiring keluar istri tuanya.

Leila memang patuh digiring Hartono, tapi dia masih sempat menoleh ke Lenita dan berkata, “Nita, ayo, temui banyak saudaramu di luar!”

“Ergh ….” Mendadak saja, terdengar suara mengerang dari arah tempat tidur. Itu adalah Juna yang sengaja bersuara demikian.

Hartono dan yang lainnya menengok ke arah Juna, lelaki paruh baya itu segera berkata ke putrinya, “Nita, kamu di sini saja menemani suamimu!” Beliau bergegas mengajak keluar Leila dan menutup pintu.

Juna tertawa di hatinya. Lalu membatin, ‘Lihat, bahkan ayah mertuamu saja begitu tunduk dan takut pada istrinya. Ha ha ha, Arjuna, kenapa kau mirip ayah mertuamu? Hm, apakah semua pria di era aneh ini memang takluk di bawah tekanan wanita?’

Segera, Juna bertekad bahwa dia tak akan sudi bersikap lemah seperti Arjuna maupun Hartono. Baginya, lelaki macam itu sungguh memalukan!

Memikirkan ini, dia semakin ingin kembali ke eranya sendiri, di mana dia memiliki harga diri dan wibawa tanpa pernah dipanggil tolol atau bodoh oleh perempuan.

Hatinya juga berdenyut sakit ketika memikirkan tuan putri Sarnika. Tanpa sadar, dia membandingkan tuan putri dengan Lenita. ‘Jauh, sungguh jauh! Meski mereka berdua sama cantiknya, tapi tuan putri begitu lembut dan anggun.’

Juna ingat bahwa tuan putri tercintanya yang dia cintai secara diam-diam merupakan putri ketujuh dari rajanya. ‘Tuan putri pernah menjalani pernikahan politik di usianya yang ke-16 tahun, tapi ketika tuan putri tiba di kerajaan calon suaminya, ternyata di sana terjadi perang berdarah dan saat itu aku sangat gembira. Hanya saja, dia harus dinikahkan lagi di usia 19 tahun dengan pangeran lain dan aku yang ditugaskan mengantarnya.’

Senyum masam tak bisa dia hentikan terpasang di wajahnya sambil rebah tidur di kasur ketika membayangkan gadis tercintanya.

‘Tuan putri sangat pendiam, tidak seperti kakak-kakaknya. Tuan putri tak banyak tingkah dan hanya berkegiatan di keputren, menghabiskan waktu untuk belajar memasak, tak pernah bermain di luar seperti kakak-kakaknya.’

Setelah itu, Juna menghela napas. Kerinduannya pada kampung halamannya semakin bergelora. ‘Semua ini gara-gara kepala penyamun sialan yang mengejar kereta kuda kami waktu itu! Kalau tak ada dia, tentunya aku tak akan terpisah dengan tuan putri dan terlempar ke tempat aneh ini.’

‘Haahh! Tuan putri, apakah aku bisa bertemu lagi denganmu di kehidupan mendatang?’ 

Sementara itu, masih ada Lenita berdiri diam, berdua saja dengan Janu di kamar itu. Dia dilema. Menuruti ibunya atau ayahnya?

“Len … Lenita … ugh! Len, aku ingin minum.” Juna sengaja berkata dengan suara lemah pada istrinya.

Lenita memutar tubuh ke arah Juna, menatap sang suami. “Ambil saja sendiri.” Dia masih kesal atas tindakan kurang ajar Juna pada ibunya.

“Tsk! Kau ini istri yang tidak berbakti ke suami!” Tidak disangka-sangka, Juna bangun dari tempat tidur dan turun dari sana untuk berjalan ke arah Lenita. “Kenapa kau durhaka sebagai istri? Padahal aku hanya minta diambilkan minum.”

Mata Juna melirik ke lemari es kecil di sudut kamar. Dia sudah mengetahui dari pengetahuan di kepalanya mengenai benda apa itu ketika dia meminta minum pada Lenita tadi.

“Durhaka apanya? Berbakti, kepalamu! Kau yang seharusnya berbakti padaku karena kau sudah diselamatkan papaku!” Lenita mendelik ke Juna.

Tapi, Juna malah tak gentar dan justru maju mendesak Lenita hingga punggung wanita itu akhirnya menyentuh dinding di belakangnya tanpa memiliki tempat lain untuk menghindari Juna.

Tangan Juna terulur memegang rahang istrinya dan mendekatkan wajah ke Lenita, seakan-akan dia hendak mencium wanita itu.

Hal ini membuat Lenita secara otomatis memejamkan mata. Jantungnya berdebar kencang menantikan apa yang akan dilakukan suaminya.

Namun, baru saja Lenita memejamkan mata, yang dia terima bukan sebuah ciuman, melainkan ucapan.

Juna berbisik dengan suara rendah di dekat wajah Lenita, “Lain kali, kalau suamimu meminta sesuatu, lekas laksanakan atau aku harus memukul pantatmu terlebih dahulu?”

Mendengar penuturan suaminya, Lenita segera membuka mata dan mendorong dada Juna sembari menyahut, “Me—Memukul pantat?” Dia tidak siap diberi kalimat vulgar semacam itu.

“Kau bukan kuda yang perlu kupukul dulu pantatnya bila aku ingin kau bergerak, bukan?” Kedua lengan Juna dilipat di depan dada sambil menyeringai menatap Lenita.

Perlakuan yang benar-benar bukan Juna! Lenita paham itu! Suaminya mana pernah melakukan hal demikian! Arjuna bukan lelaki yang pandai menjawab dia! Arjuna bukan lelaki yang bisa bersikap percaya diri di depannya!

“Kau … kau bukan Juna!” Lenita tak bisa tidak berasumsi demikian karena dia mulai meragukan apakah ini sungguh suaminya atau bukan. Tatapan matanya mengarahkan kecurigaan kepada Juna sembari dahinya berkerut.

Oh tidak! Juna harus bergegas melakukan sesuatu agar bisa meyakinkan Lenita bahwa dia benar-benar suami wanita itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edyuanzza
masih nyimak alurnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status