‘Tsk! Menyedihkan! Kehidupanmu begitu menyedihkan, Arjuna. Akan aku ubah itu, tenang saja. Akan aku kembalikan harga dirimu sebagai lelaki!’ Juna seakan menjanjikan itu pada Arjuna. Dia sendiri merasa geram ketika mengetahui ada perempuan yang memperlakukan lelaki dengan cara demikian.
Setidaknya, Juna mengharapkan sikap hormat yang pantas dari Lenita yang merupakan seorang istri. Jika ini di zamannya, Lenita sudah diceraikan begitu menyebut suaminya bodoh atau tolol.
“Huh! Kali ini Mama maafkan, ya!” Suara Leila kembali tertangkap pendengaran Juna. Wanita itu belum selesai mengomel, “Mama tak suka ada yang bersikap kurang ajar pada Mama!” Leila memang temperamen, terlihat dari cara dia berkata-kata pada Juna. Atau hanya pada Juna saja?
“Mamih, ini ….” Terdengar suara lain di pintu. Itu adalah Hartono, ayah dari Lenita. Beliau masuk ke kamar anaknya. “Kenapa aku mendengar suara mengomel Mamih? Terdengar sampai ke ruang tengah, loh! Masih ada banyak orang di sana, Mih! Tak enak kalau didengar mereka!”
“Papih! Bukan salah Mamih ya kalau Mamih kesal dan mengomel. Ini, menantu kamu ini sekarang berani kurang ajar pada Mamih!” Leila menuding Juna yang masih berbaring telentang di kasur.
“Kenapa lagi dengan Juna, Mih?” Hartono bertanya dengan suara sabar.
“Dia tidak bersikap hormat padaku! Sudah tahu aku datang, dia bukannya turun menyambutku, tapi malah mengusirku keluar hanya karena dia ingin tidur!” Leila mengadu pada Hartono dengan muka cemberut.
Hartono terkejut dengan penuturan istri pertamanya dan di dalam hatinya, dia tak mengira sang menantu bisa melakukan hal semacam itu. “Ehem! Yah, mungkin saja Juna benar-benar butuh istirahat, Mih! Justru sebaiknya kita tak usah mengganggu, kan?”
Ada sedikit penyesalan pada Hartono karena terlambat mengetahui kedatangan istri pertamanya ke rumah ini. Memang, Leila tinggal di rumah lain sejak Hartono menikah lagi.
“Tapi, Pih ….” Leila masih belum ingin menyerah menyalahkan Janu.
“Sudah, sudah, Mih. Lebih baik kita ke ruang tengah saja, yuk! Ada banyak orang ingin bertemu Mamih! Ayo! Jangan ganggu anak-anak kita yang sedang ingin berduaan dan istirahat.” Hartono mencoba menggiring keluar istri tuanya.
Leila memang patuh digiring Hartono, tapi dia masih sempat menoleh ke Lenita dan berkata, “Nita, ayo, temui banyak saudaramu di luar!”
“Ergh ….” Mendadak saja, terdengar suara mengerang dari arah tempat tidur. Itu adalah Juna yang sengaja bersuara demikian.
Hartono dan yang lainnya menengok ke arah Juna, lelaki paruh baya itu segera berkata ke putrinya, “Nita, kamu di sini saja menemani suamimu!” Beliau bergegas mengajak keluar Leila dan menutup pintu.
Juna tertawa di hatinya. Lalu membatin, ‘Lihat, bahkan ayah mertuamu saja begitu tunduk dan takut pada istrinya. Ha ha ha, Arjuna, kenapa kau mirip ayah mertuamu? Hm, apakah semua pria di era aneh ini memang takluk di bawah tekanan wanita?’
Segera, Juna bertekad bahwa dia tak akan sudi bersikap lemah seperti Arjuna maupun Hartono. Baginya, lelaki macam itu sungguh memalukan!
Memikirkan ini, dia semakin ingin kembali ke eranya sendiri, di mana dia memiliki harga diri dan wibawa tanpa pernah dipanggil tolol atau bodoh oleh perempuan.
Hatinya juga berdenyut sakit ketika memikirkan tuan putri Sarnika. Tanpa sadar, dia membandingkan tuan putri dengan Lenita. ‘Jauh, sungguh jauh! Meski mereka berdua sama cantiknya, tapi tuan putri begitu lembut dan anggun.’
Juna ingat bahwa tuan putri tercintanya yang dia cintai secara diam-diam merupakan putri ketujuh dari rajanya. ‘Tuan putri pernah menjalani pernikahan politik di usianya yang ke-16 tahun, tapi ketika tuan putri tiba di kerajaan calon suaminya, ternyata di sana terjadi perang berdarah dan saat itu aku sangat gembira. Hanya saja, dia harus dinikahkan lagi di usia 19 tahun dengan pangeran lain dan aku yang ditugaskan mengantarnya.’
Senyum masam tak bisa dia hentikan terpasang di wajahnya sambil rebah tidur di kasur ketika membayangkan gadis tercintanya.
‘Tuan putri sangat pendiam, tidak seperti kakak-kakaknya. Tuan putri tak banyak tingkah dan hanya berkegiatan di keputren, menghabiskan waktu untuk belajar memasak, tak pernah bermain di luar seperti kakak-kakaknya.’
Setelah itu, Juna menghela napas. Kerinduannya pada kampung halamannya semakin bergelora. ‘Semua ini gara-gara kepala penyamun sialan yang mengejar kereta kuda kami waktu itu! Kalau tak ada dia, tentunya aku tak akan terpisah dengan tuan putri dan terlempar ke tempat aneh ini.’
‘Haahh! Tuan putri, apakah aku bisa bertemu lagi denganmu di kehidupan mendatang?’
Sementara itu, masih ada Lenita berdiri diam, berdua saja dengan Janu di kamar itu. Dia dilema. Menuruti ibunya atau ayahnya?
“Len … Lenita … ugh! Len, aku ingin minum.” Juna sengaja berkata dengan suara lemah pada istrinya.
Lenita memutar tubuh ke arah Juna, menatap sang suami. “Ambil saja sendiri.” Dia masih kesal atas tindakan kurang ajar Juna pada ibunya.
“Tsk! Kau ini istri yang tidak berbakti ke suami!” Tidak disangka-sangka, Juna bangun dari tempat tidur dan turun dari sana untuk berjalan ke arah Lenita. “Kenapa kau durhaka sebagai istri? Padahal aku hanya minta diambilkan minum.”
Mata Juna melirik ke lemari es kecil di sudut kamar. Dia sudah mengetahui dari pengetahuan di kepalanya mengenai benda apa itu ketika dia meminta minum pada Lenita tadi.
“Durhaka apanya? Berbakti, kepalamu! Kau yang seharusnya berbakti padaku karena kau sudah diselamatkan papaku!” Lenita mendelik ke Juna.
Tapi, Juna malah tak gentar dan justru maju mendesak Lenita hingga punggung wanita itu akhirnya menyentuh dinding di belakangnya tanpa memiliki tempat lain untuk menghindari Juna.
Tangan Juna terulur memegang rahang istrinya dan mendekatkan wajah ke Lenita, seakan-akan dia hendak mencium wanita itu.
Hal ini membuat Lenita secara otomatis memejamkan mata. Jantungnya berdebar kencang menantikan apa yang akan dilakukan suaminya.
Namun, baru saja Lenita memejamkan mata, yang dia terima bukan sebuah ciuman, melainkan ucapan.
Juna berbisik dengan suara rendah di dekat wajah Lenita, “Lain kali, kalau suamimu meminta sesuatu, lekas laksanakan atau aku harus memukul pantatmu terlebih dahulu?”
Mendengar penuturan suaminya, Lenita segera membuka mata dan mendorong dada Juna sembari menyahut, “Me—Memukul pantat?” Dia tidak siap diberi kalimat vulgar semacam itu.
“Kau bukan kuda yang perlu kupukul dulu pantatnya bila aku ingin kau bergerak, bukan?” Kedua lengan Juna dilipat di depan dada sambil menyeringai menatap Lenita.
Perlakuan yang benar-benar bukan Juna! Lenita paham itu! Suaminya mana pernah melakukan hal demikian! Arjuna bukan lelaki yang pandai menjawab dia! Arjuna bukan lelaki yang bisa bersikap percaya diri di depannya!
“Kau … kau bukan Juna!” Lenita tak bisa tidak berasumsi demikian karena dia mulai meragukan apakah ini sungguh suaminya atau bukan. Tatapan matanya mengarahkan kecurigaan kepada Juna sembari dahinya berkerut.
Oh tidak! Juna harus bergegas melakukan sesuatu agar bisa meyakinkan Lenita bahwa dia benar-benar suami wanita itu.
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug