Juna tak mungkin habis akal atau dia tak akan diangkat sebagai panglima oleh rajanya. Dia berkata pada Lenita, “Bagaimana mungkin aku bukan Juna? Aku ini Juna, suamimu! Aku Arjuna Prasojo, itu sudah jelas!”
Dahi Lenita masih berkerut tanda dia belum merasa yakin dan ikut melipat kedua lengan di depan dada seperti yang dilakukan Juna, wajahnya masih menyiratkan kecurigaannya. “Kalau memang kau Juna, kenapa kau berbeda sekali dengan suami yang aku kenal sebelum kau bangkit dari mati suri?”
“Tega sekali kau meragukan suamimu, Len?” Juna menampilkan raut wajah kecewa.
“Nah! Kau bahkan memanggilku Len dan bukannya Nita!” Lenita seakan menemukan celah terbesar.
“Memangnya aku tak boleh mengganti nama panggilan untuk istriku? Sejak kapan ada peraturan begitu? Undang-undang yang mana? Pasal berapa?” Jangan remehkan Juna yang sudah mengambil seluruh ingatan Arjuna sehingga dia jadi lebih paham akan tata cara dan istilah mengenai kehidupan di era modern ini.
“Yah, memang tidak ada, tapi tetap saja kau membuatku curiga!” Lenita tak mau kalah dan bersikeras pada pendapatnya.
“Aku Juna yang kau kenal, Len! Kita bertemu saat umurku 17 tahun, setahun setelah orang tuaku meninggal karena kecelakaan. Saat itu kamu berumur 13 tahun.” Juna bisa secara fasih menyebutkan mengenai pertemuan pertama mereka tatkala Arjuna diboyong Hartono ke rumah ini karena tak ada saudara yang mau merawat Arjuna.
“Hm ….” Lenita menatap lurus ke suaminya.
“Kau tahu sendiri, kan, saat itu aku bahkan sempat putus sekolah karena banyak diabaikan saudaraku dan untung saja ada papa mertua yang membawaku ke rumah ini sehingga aku bisa kembali sekolah sampai lulus SMA.” Juna sudah mengetahui semua kejadian ini berdasarkan ingatan Arjuna.
Di kepalanya, Arjuna mencibir Lenita. Jangan remehkan kemampuan seorang panglima! Apalagi hanya menghadapi wanita galak dan arogan seperti Lenita atau Leila.
“Len, kamu juga pastinya ingat kalau kita menikah ketika aku berumur 25. Saat itu, kamu hamil dan aku bertanggung jawab dengan menikahimu. Untung saja papa mertua tidak marah. Hanya mama Leila yang meributkannya.” Juna merasa di atas angin ketika melihat perubahan wajah Lenita yang tampak mengendur dari kecurigaannya.
“Itu karena kau bodoh di mata mama, makanya dia tak setuju aku menikah denganmu.” Lenita mengerucutkan bibirnya, roman wajahnya sudah jauh lebih santai dibandingkan sebelumnya.
“Jadi … kalau aku pintar ….” Juna sembari mendekat ke Lenita. Perempuan 23 tahun itu kembali tersudut di dinding dengan gugup. Apalagi ketika dia mengurung Lenita menggunakan satu lengan sembari tangan lain mengambil sejumput rambut sang istri dan meneruskan ucapannya, “… mama Leila akan menyetujui aku sebagai menantunya? Begitu?”
Lenita benar-benar tak berkutik. Juna sungguh berubah! Semenjak suaminya hidup kembali, Juna seakan menjadi sosok lain. Dia hendak meragukan suaminya, tapi sang suami mengetahui semua kejadian penting mereka di masa lalu.
“Itu ….” Lihat, baru kali ini Lenita tak punya kalimat sanggahan untuk suaminya seperti biasa. Dulu, dia yang selalu bisa menguasai percakapan antara dia dan Arjuna. Tapi, kenapa sekarang dia banyak menyerah tanpa bisa membalas dengan gagah seperti dulu setiap ucapan Juna yang ini?
Juna ketika masih di era kuno, berusia 28 tahun, tapi ketika masuk ke raga Arjuna, dia ternyata masih berumur 27 tahun. Tak masalah! Yang penting, sekarang dia memiliki istri cantik meski galak. Tak apa, dia bisa jinakkan si galak itu.
Tangan Juna masih memainkan rambut Lenita, dia tersenyum menyeringai dan mendekatkan wajahnya ke Lenita seraya berbisik di telinga sang istri, “Kalau begitu, kita lihat saja nanti, apakah aku diterima sebagai menantu atau tidak setelah ini.”
Lenita tak bisa menerima kekalahannya dan dia berjuang mendapatkan wibawanya kembali di depan sang suami. Juna tak boleh mendominasi dia! Juna adalah budaknya sejak dulu! Karena itu, dia mengangkat tangan hendak memukul pipi Juna. “Suami tak tahu diri!”
Tap!
Sayang sekali, tangan Lenita berhasil ditangkap Juna dengan mudah sembari berikan pandangan tajam ke istrinya, menusuk ke mata Lenita. Dia mendesis jelas, “Jangan pernah memukul suamimu atau kau akan menyesal!”
Setelah itu, Juna mundur dan pergi dari hadapan Lenita, kembali ke tempat tidur untuk rebahkan tubuhnya. “Sampaikan salamku ke semua saudaramu di luar. Katakan aku masih ingin istirahat dan tak mau diganggu.”
Setelah mengatakan itu, Juna memejamkan mata.
Sementara, Lenita masih membeku di tempatnya. Dia tertegun usai mendapatkan ucapan dan tatapan tajam suaminya tadi. Mendadak seakan-akan nyalinya lenyap begitu saja, seolah ada alarm dalam dirinya yang berdering memperingatkan dia untuk waspada pada Juna.
Lenita mengusap lengannya yang mendadak merinding tanpa sebab. Kenapa Juna setelah mati suri jadi sangat berbeda? Memangnya apa saja yang dialami lelaki itu di perjalanan mati surinya? Lenita ingin sekali mengorek itu dari Juna, tapi dia enggan dan gengsi.
Maka, tak mau dirinya makin emosi, dia memilih keluar dari kamarnya.
Mengetahui Lenita sudah keluar kamar, Juna menghela napas lega.
‘Jangan katakan aku kejam, Lenita. Seperti itulah harusnya suami menangani istrinya yang arogan dan kurang ajar.’ Setelahnya, Juna benar-benar tidur.
***
Sudah dua hari semenjak Juna mengalami mati suri. Hari ini, dia sudah siap menjalani hidup sebagai Juna yang baru, yang tidak boleh lagi diremehkan apalagi ditindas siapapun.
“Kamu sungguh ingin mengunjungi gudang stok, Jun?” tanya Hartono ketika pagi itu Juna mengungkapkan keinginannya mengunjungi perusahaan tempat dia menjadi CEO.
“Iya, Pa. Aku sudah tak sabar ingin bekerja lebih baik lagi sejak sekarang.” Juna berkata saat mereka sedang sarapan pagi bersama.
“Wah, bagus itu, Jun!” Wenti terdengar setuju. “Aku suka akhirnya kamu mau lebih perhatian pada pekerjaanmu.”
Akhirnya, karena istri mudanya sudah berkata demikian, maka Hartono mengangguk setuju. “Nanti pakai saja mobil Papa yang di depan.”
“Baik, Pa, terima kasih.” Juna melanjutkan makannya.
Namun, sepertinya Lenita di sampingnya tak mau tinggal diam dan menyela, “Untuk apa si bodoh ini pergi ke gudang atau perusahaan, Pa? Biasanya dia juga sibuk memancing atau melakukan hal tak berguna lainnya!”
“Oleh karena itu, Nita, harusnya kamu senang karena suamimu mulai ingin fokus pada tugasnya.” Wenti terdengar membela Juna.
Juna tersenyum seakan berterima kasih pada Wenti. Dari sekali lihat saja dia bisa mengukur karakter baik ibu mertua keduanya.
Seperti yang sudah direncanakan, menjelang siang, Juna mendatangi gudang sembako milik perusahaan Hartono, PT Kencana Buana.
Di sana, Juna disambut Heru, lelaki berumur 45 tahun, asisten merangkap sekretarisnya di perusahaan. Dia melihat-lihat stok barang menumpuk tinggi di rak-rak gudang, siap dikirim ke berbagai distributor serta agen di seluruh negeri, sembari mendengarkan penjelasan Heru.
Hingga kemudian, Juna melihat ada dua karyawan yang tidak melakukan apa-apa dan duduk santai sambil merokok tanpa peduli pada kedatangan Juna. Keningnya segera berkerut melihat kelakuan dua orang tersebut.
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug