Beruntung Lily mengatakannya dengan suara pelan. Jadi tidak ada yang mendengar. Perempuan itu kini menyipitkan mata untuk melihat sosok sang pemegan saham terbesar di perusahaan roti tempatnya bekerja sekarang. “Gimana? Ganteng ‘kan?” bisik Nina dari belakang. “Namanya Pak Keenan, bukan atasan kita yang kamu bilang kemarin-kemarin. Kalau itu sih aku juga enggak mau. Dih amit-amit ya.” “Oh hiya,” gumam Lily sambil manggut-manggut. Tak pelak menundukkan kepala begitu manajer mereka kembali berbicara pada Keenan. “Sebenarnya yang bekerja di bagian ruangan baking yang ini ada empat orang, Pak. Sama seperti yang di depan tadi, tetapi kebetulan dua orang sedang cuti,” ucap sang manajer. “Lily, Nina. Ini Pak Keenan. Mungkin kalian baru melihat. Beliau adalah orang yang paling berkuasa di sini.” “Malam, Pak!” sapa mereka kompak. Keenan hanya mengangguk sebagai respon. Dia menatap Lily sekilas dengan mata mendelik lalu segera memalingkan wajah. Hah. Sungguh dia tak menyangka jika sang
Kedua alis Lily saling bertaut usai mendengar suara Keenan barusan. Bukankah tadi suaminya itu sudah melarang? Kenapa malah jadi begini? Sementara Farel memandang sepasang suami istri tersebut secara bergantian.“Kalian boleh pergi, tetapi jangan menginap,” gumam Keenan usai mengakhiri sarapannya.“Eh?” Lily mengangguk samar meskipun hatinya terasa dongkol. “Baiklah. Kalau gitu kita pergi sebentar lagi. Oke?”“Sekarang saja. Aku tunggu di mobil.” Farel pun bersorak girang. Namun, Lily mendesah panjang karena tak bisa protes lagi. Alhasil dia pun lekas kembali ke kamar untuk mengambil tasnya.“Papa tampan sekali. Iya ‘kan, Ma?” gumam Farel yang sekarang duduk di tengah-tengah mereka. Lily dan Keenan saling pandang lalu sama-sama lekas memutus kontak mata keduanya. “Ma?”“I-iya,” jawab Lily singkat.“Oh iya. Mama juga cantik ‘kan?” Kali ini bocah tersebut meminta pengakuan dari sang papa sambung.Keenan mengangguk tanpa menoleh ke arah Lily sama sekali. Setelahny
“Sudah, Ly. Jangan didengerin,” bisik bibinya dengan suara pelan.Lily menggeleng cepat. Telinganya bukan tidak mendengar apa yang disampaikan oleh ibu julid tadi, tetapi dia hanya ingin memastikan sekali lagi. “Bu, siapa maksudnya? Saya?”Ibu tersebut terkekeh. “Eh. Kamu ngaku sendiri ternyata. Padahal saya belum nanyain langsung loh.”“Udah nih. Belanjaannya jadi tiga puluh ribu.” Sang bibi memotong obrolan dengan lekas memberikan sekantong plastik berisi gula, minyak dan bubuk teh ke tangan pembelinya. Dengan begitu, orang yang memancing kemarahan Lily sudah pergi.“Bi, jadi ini alasannya kenapa tadi kalian ngelarang aku kemari? Iya?”Bibi menghela napa panjang lalu duduk menyandarkan punggungnya. “Biasalah, Ly. Namanya juga tetangga. Ada yang gosipin. Kamu kayak baru kenal warga di sini aja. Ada yang mulutnya baik, ada juga kayak Bu Tinah tadi.” Mendengar penuturan barusan Lily seketika merasa bersalah. Selama satu tahun menumpang hidup di sana keluarga pamannya banyak
Tak hanya Lily yang terkejut dengan kedatangan orang barusan. Para ibu yang tengah menghakiminya tadi pun sama kagetnya. Mereka saling berbisik sembari melirik pria tersebut.“Ada apa ini?” Keenan bertanya demikian sembari melingkarkan tangannya di pundak Lily. Lantas dia menatap satu demi satu orang-orang julid tadi.“Enggak kok. Kami cuma nanya sama Lily,” jawab seorang dari mereka. “Ya wajar sih kami curiga. Lily dan anaknya tiba-tiba aja pergi dari sini. Eh pas ditanya ke paman bibinya malah dibillang dia nikah. Kami ya merasa ada yang aneh.”“Iya. Seharusnya ‘kan ada kabar gitu sejak jauh hari,” tambah yang lain pula. Lily menunduk seraya meremas ujung bajunya. Takut kalau Keenan berbicara penuh dengan emosi atau malah jadi merendahkan keluarga pamannya. Hingga kemu
“Hai!” Wanita pengganggu tadi sudah tersenyum kecentilan. Mendekat ke arah Keenan yang sama sekali memandangnya dengan tatapan muak.“Mau apa? Ini sudah malam,” gumam Keenan dengan suara datarnya. Alih-alih menjawab pertanyaan barusan. Sang wanita malah bergelayut manja di lengannya. “Lisna, aku lelah.”“Benarkah? Kalau begitu ayo kita ke kamarmu. Aku akan pijat agar kau jadi lebih rileks. Bagaimana?” rengek wanita bernama Lisna itu.Keenan menggeleng lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Namun, siapa sangka jika Lisna malah justru membuntutinya dari arah belakang.“Ayolah, Keenan. Aku hanya ingin memijatmu saja.” Dia masih berusaha dengan menampakkan senyuman paling manis menurutnya. “Kau lupa ya kalau kita bahkan pernah—““Itu hanya kesalahan. Berhentilah untuk mengungkitnya lagi,” potong Keenan yang lekas menyela pembicaraan tersebut. “Pulanglah.” Lisna berdecak sebal lalu menyentakkan kakinya dengan mode manja. Sengaja berbuat ulah agar Keenan mau mengiku
Farel lantas meninggalkan ruang makan begitu saja. Tak pedulikan Mbok Jum yang berusaha mengejarnya dari arah belakang.“Tuan Farel. Ini si Mbok. Tolong bukain pintunya dong.” Tak ada sahutan dari dalam sana. Hanya sesekali isakan tangis dari bocah tersebut. Membuat kepala asisten rumah tangga itu mendesah pelan sambal geleng-geleng kepala. Cukup lama dia berada di depan pintu. Namun, suaranya sama sekali tidak ditanggapi oleh Farel. Sementara Keenan yang baru saja menyudahi sarapannya bangkit dengan cepat. Pun begitu juga dengan Lisna masih tampak tak merasa bersalah dengan kekacauan yang dibuatnya beberapa saat lalu.[“Mundurkan jadwal meeting pagi ini hingga jam makan siang tiba. Aku sedang ada urusan.”] Keenan segera menyudahi titahnya pada seseorang di seberang sana. Menyimpan gawainya ke dalam saku dalam jas lalu melangkah menaiki gundukan anak tangga.“Berhenti mengikutiku!”Lisna mencebik lalu mengangguk seketika. “Oke. Aku akan tunggu
“Udah, Ma. Aku kenyang.” Farel menggeleng sembari menjauhkan mulutnya dari sendok yang dipegang sang mama.“Oke. Kata papa tadi kamu sakit perut ya?” tanya Lily usai menyudahi sarapannya juga. “Mules atau bagaimana, hemm?”“Sekarang sudah tidak sakit. Aku mau ke kamar saja.”“Nanti mama datang ya, Nak. Mama mau mandi dulu,” gumam Lily sambal membelai lembut puncak kepala putranya.Farel mengangguk. Bocah itu lantas segera pergi meninggalkan ruang makan. Dia menunduk begitu melihat Keenan yang berpapasan dengannya. Kini Lily sudah tiba di kamar. Baru saja membersihkan diri dan duduk tenang di atas sofa. Tak berapa lama Keenan masuk lalu mengambil posisi bersidekap di hadapannya.“Apa dia sudah tidak marah padaku lagi?” tanya pria tampan berhati dingin itu.“Kami masih belum bicara. Tadi aku hanya bisa membujuknya untuk sarapan,” jawab Lily yang kemudian lekas menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. “Abang pergi saja. Tidak pa-pa.” Setelahnya Lily lekas m
Bagaimana ini? Permintaan Farel barusan sangat memberatkan. Lily tidak mungkin membujuk sang suami untuk mengiyakannya bukan?“Maaf ya. Mama benar. Kau tak bisa ikut,” kata Keenan memberikan jawaban.“Kenapa? Aku janji tidak akan mengganggu papa,” rengek Farel manja. “Dulu papa bilang aku masih kecil makanya belum boleh ikut kerja. Sekarang aku sudah besar.” Ada rasa perih yang seketika menjalar di hati Lily usai mendengar kalimat putranya tadi. Terbayang bagaimana banyak caci maki yang dilontarkan pihak keluarga mantan suaminya kala itu. Ternyata Farel bisa mengingat luka tersebut sampai sekarang.“Waktunya tidak tepat. Lain kali saja ya.”“Aku mau sama papa.” Farel masih memohon.Keenan pun menghela napas berat. Lantas berbisik pada Lily. “Apa yang bisa kulakukan agar dia tidak menganggu?”Lily berpikir sejenak kemudian memberikan saran pada Keenan yang langsung disanggupi oleh pria dingin itu. “Kita makan siang di luar saja yuk. Papa masih punya waktu. N