Share

4. Pilihan Ada Di Tanganmu

            Keenan mengatakan itu dengan sadar, tetapi wanita yang ada di hadapannya malah menuduh kalau dia sudah gila. Rahangnya pun mengeras dengan tatapan yang begitu menusuk pada Lily. “Kau akan menyesali ucapanmu.”

“Dasar pria aneh,” gumam Lily. Dia pun lekas berbalik badan dan bergerak cepat meninggalkan Keenan.

            Hal pertama yang ia lihat adalah wajah sayu sang putra yang tampak celingukan kian kemari. Lily mengulas senyumnya lalu mendekat ke arah brankar.

“Papa di mana, Ma?” tanya Farel tanpa mengindahkan kehadirannya sama sekali. “Aku enggak mimpi ‘kan? Tadi kita ketemu papa di taman rumah sakit. Nenek saja yang tidak percaya.” Diamnya sang mama membuat bocah itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang tadi menjaganya. “Beneran loh, Nek. Papa nemenin aku di sini. Iya ‘kan, Ma?”

“Beneran, Ly?” tanya bibi Lily yang terlihat masih ragu.

Lily menggeleng lemah. Dia pun segera mengalihkan pembicaraan. “Gimana, Sayang? Apa tadi bekas infusnya sakit, hemm?”

“Mama belum jawab yang tadi,” tukas Farel dengan suara ketusnya. “Aku mau papa. Tidak mau yang lain.”

            Sebagai seorang ibu, Lily paham betul arti dari ucapan sarkas barusan. Apapun yang dilakukannya tidak akan berpengaruh pada sikap Farel. Watak yang cerdas jauh dari umur seusianya membuat sang anak cenderung keras kepala dan sulit untuk dibohongi.

“Yang tadi itu bukan papa.”

Farel tak peduli dengan penutura tersebut. “Mobilnya saja seperti punya papa.”

“Sayang, hanya mobil ‘kan? Kalau yang bawa mobil seperti tadi kakek gimana? Kamu akan anggap papa kamu juga, heh??” serang Lily yang merasa tak tahu lagi harus bagaimana. “Ayo dong. Kamu anaknya mama yang cerdas. Dia tadi bukan papamu.”

“Tapi, Ma—“

“Jangan bertingkah, Sayang.”

            Lily hanya diam ketika anaknya hendak mencabut selang infus lagi. Hanya sang bibi yang berusaha membujuk agar tidak melakukan tindakan yang membahayakan.

BRAK!!

            Darah dari pergelangan tangan Farel kembali mengucur saat selang yang menancap di sana tadi terlepas. Namun, Lily masih tetap bertahan dengan pendiriannya.

“Panggilkan perawat, Ly. Cepat!” pinta bibi dengan wajah panik sekali.

“Mama sudah tidak sayang aku lagi. Aku benci Mama!!”

            Pernyataan yang tentuah membuatnya pilu. Lily bergegas ke luar ruang rawatan dan memanggil seorang petugas medis yang kebetulan melintas di sekitar sana. Lantas dia sendiri tak ikut masuk ke dalam lagi. Memilih menyendiri meresapi takdir yang terasa mencekik kali ini.

            Posisinya yang tadi dalam keadaan berjongkok lambat laun berubah menjadi duduk selonjoran di ubin rumah sakit. Pandangan wanita bertubuh kurus itu mengarah pada hamparan rerumputan hijau yang ada di depan mata. Rasa lelah fisik dan psikis kini berkumpul menjadin satu. Pun ditambah angin yang berembus sejuk menyapa wajah tirusnya. Kantuk mulai mendera secara perlahan.

            Cinta menjadi alasan dia dan Adrian memilih untuk menikah. Namun, ternyata itu saja tak cukup. Butuh fondasi yang kuat seperti kepercayaan dan pengertian satu sama lain. Hal yang tidak didapatkan olehnya selaku seorang istri. Hingga kemudian badai rumah tangga mulai menerjang. Bayangan indah seketika pupus ketika Lily sadar bahwa ibu mertuanya tak akan pernah merestui mereka meskipun sudah diberikan cucu seperti Farel.

Puncaknya ketika buah hati mereka berumur tiga tahun. Suaminya semakin kelihatan tidak pernah mampu bersikap bijaksana. Yang ada dia terus tertekan hingga pria yang pernah menyebutkan janji suci padanya kala itu bersedia untuk mengabulkan permintaan sang mami, yakni perceraian. Pria tersebut tidak tahu caranya menempatkan diri sebagai kepala rumah tangga dan seorang anak sebagaimana mestinya. Jadilah keputusan menyedihkan telah dibuat dan disepakati.

“Lily.” Suara tersebut langsung merenggut mimpi singkatnya barusan. Lily lekas menegakkan badan ketika mendapat sentuhan lembut di pundak kanannya.

“Farel? Dia ngobrol sama siapa, Bi?” tanya Lily seraya mengumpulkan kesadarannya lagi.

Sang bibi terlihat salah tingkah disertai dengan wajah yang kebingungan. “Kenapa, Bi?”

“Eng ... Kata Farel orang yang di dalam sana adalah papanya,” gumam si bibi dengan suara pelan.

            Mendengar ucapan tersebut jelas Lily tahu siapa sosok yang dimaksud. Dia pun lekas bangkit dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat dua orang pria beda usia tengah berbicara. Di mana Farel dengan wajah yang begitu ceria.

“Ma, Papa datang lagi,” adu Farel yang menatapnya sekilas. Sedetik kemudian bocah itu mengalihkan wajahnya ke hadapan Keenan.

“Nak, bibi enggak tahu harus gimana lagi. Tadi waktu kamu tidur, orang ganteng itu manggil dokter. Hasil pemeriksaan Farel normal, sepertinya benar yang dikatakan papa gadungannya kalau ... anak kamu depresi,” bisik bibinya dengan sangat hati-hati. “Kasihan Farel ya.”

            Lily masih bergeming di tempatnya. Memperhatikan sang putra yang terus saja mengoceh pada Keenan, sedangkan  pria dewasa itu tidak banyak berucap. Memilih menjadi pendengar saja.

            Di luar dugaan. Ternyata Keenan masih berada di rumah sakit setelah Lily tadi sempat meninggalkan ruangan tersebut untuk membeli sesuatu. Yang lebih mengejutkannya lagi saat bibi memberitahu bahwa putranya kini sudah dipindahkan ke bagian rawatan kelas VVIP.

“Cepatlah makan. Kau harus segera sembuh,” ucap Keenan dengan nada yang masih tak berubah. Dingin dan datar. Namun. Entah mengapa Farel sama sekali tak merasa aneh dengan sikap seperti itu.

“Mama suapin ya, Sayang,” gumam Lily yang sudah tiba di ruangan kelas termewah tersebut.

“Tidak usah, Ma. Aku bisa sendiri,” tolak Farel. Lekas tangan mungil bocah itu meraih peralatan makan yang ada di dekatnya. Mengunyah dengan lahap dengan senyum yang terlihat begitu merekah.

            Ketika seorang perawatan hendak memberikan obat berupa cairan ke dalam selang infusnya, Farel menggeleng cepat. “Nanti aku bangun papa tidak ada. Aku tidak mau.”

“Aku akan tetap di sini. Percayalah,” gumam Keenan dengan senyumannya yang terlihat tanggung.

“Bener ya?” tanya Farel yang langsung diangguki oleh Keenan. “Janji ya, Pa?”

“Tentu.”

            Setengah jam kemudian benar yang dikatakan oleh Farel. Bocah itu terlelap akibat pengaruh obat yang masuk ke dalam tubuhnya. Kini saatnya Keenan kembali berbicara pada Lily.

“Kenapa Anda muncul lagi? Sengaja ingin membuat putraku merasa tergantung padamu ya? Iya ‘kah?” tanya Lily dengan sorot mata tak sukanya.

“Kau sangat pintar ternyata,” aku Keenan kemudian. “Dengan begitu kau tidak punya pilihan bukan?”

“Anda sangat licik.”

“Aku hanya pandai menciptakan peluang. Pilihan ada di tanganmu. Membiarkan bocah itu gila atau kau yang harus mengikuti kemauanku.”

Lily terbahak seketika. Lagi. Dia kembali dipermainkan oleh takdir. “Apa yang akan kudapatkan kalau bersedia menikah denganmu?”

“Semua yang kau mau akan kupenuhi. Kecuali ...,” ucapan tadi terhenti ketika Keenan merasakan hawa kemenangan ada di pihaknya.

"Apa? Kecuali apa?" tanya Lily yang merasa sangat tertekan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status