Home / Rumah Tangga / Papa Baru untuk Anakku / 4. Pilihan Ada Di Tanganmu

Share

4. Pilihan Ada Di Tanganmu

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2023-05-23 18:18:18

            Keenan mengatakan itu dengan sadar, tetapi wanita yang ada di hadapannya malah menuduh kalau dia sudah gila. Rahangnya pun mengeras dengan tatapan yang begitu menusuk pada Lily. “Kau akan menyesali ucapanmu.”

“Dasar pria aneh,” gumam Lily. Dia pun lekas berbalik badan dan bergerak cepat meninggalkan Keenan.

            Hal pertama yang ia lihat adalah wajah sayu sang putra yang tampak celingukan kian kemari. Lily mengulas senyumnya lalu mendekat ke arah brankar.

“Papa di mana, Ma?” tanya Farel tanpa mengindahkan kehadirannya sama sekali. “Aku enggak mimpi ‘kan? Tadi kita ketemu papa di taman rumah sakit. Nenek saja yang tidak percaya.” Diamnya sang mama membuat bocah itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang tadi menjaganya. “Beneran loh, Nek. Papa nemenin aku di sini. Iya ‘kan, Ma?”

“Beneran, Ly?” tanya bibi Lily yang terlihat masih ragu.

Lily menggeleng lemah. Dia pun segera mengalihkan pembicaraan. “Gimana, Sayang? Apa tadi bekas infusnya sakit, hemm?”

“Mama belum jawab yang tadi,” tukas Farel dengan suara ketusnya. “Aku mau papa. Tidak mau yang lain.”

            Sebagai seorang ibu, Lily paham betul arti dari ucapan sarkas barusan. Apapun yang dilakukannya tidak akan berpengaruh pada sikap Farel. Watak yang cerdas jauh dari umur seusianya membuat sang anak cenderung keras kepala dan sulit untuk dibohongi.

“Yang tadi itu bukan papa.”

Farel tak peduli dengan penutura tersebut. “Mobilnya saja seperti punya papa.”

“Sayang, hanya mobil ‘kan? Kalau yang bawa mobil seperti tadi kakek gimana? Kamu akan anggap papa kamu juga, heh??” serang Lily yang merasa tak tahu lagi harus bagaimana. “Ayo dong. Kamu anaknya mama yang cerdas. Dia tadi bukan papamu.”

“Tapi, Ma—“

“Jangan bertingkah, Sayang.”

            Lily hanya diam ketika anaknya hendak mencabut selang infus lagi. Hanya sang bibi yang berusaha membujuk agar tidak melakukan tindakan yang membahayakan.

BRAK!!

            Darah dari pergelangan tangan Farel kembali mengucur saat selang yang menancap di sana tadi terlepas. Namun, Lily masih tetap bertahan dengan pendiriannya.

“Panggilkan perawat, Ly. Cepat!” pinta bibi dengan wajah panik sekali.

“Mama sudah tidak sayang aku lagi. Aku benci Mama!!”

            Pernyataan yang tentuah membuatnya pilu. Lily bergegas ke luar ruang rawatan dan memanggil seorang petugas medis yang kebetulan melintas di sekitar sana. Lantas dia sendiri tak ikut masuk ke dalam lagi. Memilih menyendiri meresapi takdir yang terasa mencekik kali ini.

            Posisinya yang tadi dalam keadaan berjongkok lambat laun berubah menjadi duduk selonjoran di ubin rumah sakit. Pandangan wanita bertubuh kurus itu mengarah pada hamparan rerumputan hijau yang ada di depan mata. Rasa lelah fisik dan psikis kini berkumpul menjadin satu. Pun ditambah angin yang berembus sejuk menyapa wajah tirusnya. Kantuk mulai mendera secara perlahan.

            Cinta menjadi alasan dia dan Adrian memilih untuk menikah. Namun, ternyata itu saja tak cukup. Butuh fondasi yang kuat seperti kepercayaan dan pengertian satu sama lain. Hal yang tidak didapatkan olehnya selaku seorang istri. Hingga kemudian badai rumah tangga mulai menerjang. Bayangan indah seketika pupus ketika Lily sadar bahwa ibu mertuanya tak akan pernah merestui mereka meskipun sudah diberikan cucu seperti Farel.

Puncaknya ketika buah hati mereka berumur tiga tahun. Suaminya semakin kelihatan tidak pernah mampu bersikap bijaksana. Yang ada dia terus tertekan hingga pria yang pernah menyebutkan janji suci padanya kala itu bersedia untuk mengabulkan permintaan sang mami, yakni perceraian. Pria tersebut tidak tahu caranya menempatkan diri sebagai kepala rumah tangga dan seorang anak sebagaimana mestinya. Jadilah keputusan menyedihkan telah dibuat dan disepakati.

“Lily.” Suara tersebut langsung merenggut mimpi singkatnya barusan. Lily lekas menegakkan badan ketika mendapat sentuhan lembut di pundak kanannya.

“Farel? Dia ngobrol sama siapa, Bi?” tanya Lily seraya mengumpulkan kesadarannya lagi.

Sang bibi terlihat salah tingkah disertai dengan wajah yang kebingungan. “Kenapa, Bi?”

“Eng ... Kata Farel orang yang di dalam sana adalah papanya,” gumam si bibi dengan suara pelan.

            Mendengar ucapan tersebut jelas Lily tahu siapa sosok yang dimaksud. Dia pun lekas bangkit dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat dua orang pria beda usia tengah berbicara. Di mana Farel dengan wajah yang begitu ceria.

“Ma, Papa datang lagi,” adu Farel yang menatapnya sekilas. Sedetik kemudian bocah itu mengalihkan wajahnya ke hadapan Keenan.

“Nak, bibi enggak tahu harus gimana lagi. Tadi waktu kamu tidur, orang ganteng itu manggil dokter. Hasil pemeriksaan Farel normal, sepertinya benar yang dikatakan papa gadungannya kalau ... anak kamu depresi,” bisik bibinya dengan sangat hati-hati. “Kasihan Farel ya.”

            Lily masih bergeming di tempatnya. Memperhatikan sang putra yang terus saja mengoceh pada Keenan, sedangkan  pria dewasa itu tidak banyak berucap. Memilih menjadi pendengar saja.

            Di luar dugaan. Ternyata Keenan masih berada di rumah sakit setelah Lily tadi sempat meninggalkan ruangan tersebut untuk membeli sesuatu. Yang lebih mengejutkannya lagi saat bibi memberitahu bahwa putranya kini sudah dipindahkan ke bagian rawatan kelas VVIP.

“Cepatlah makan. Kau harus segera sembuh,” ucap Keenan dengan nada yang masih tak berubah. Dingin dan datar. Namun. Entah mengapa Farel sama sekali tak merasa aneh dengan sikap seperti itu.

“Mama suapin ya, Sayang,” gumam Lily yang sudah tiba di ruangan kelas termewah tersebut.

“Tidak usah, Ma. Aku bisa sendiri,” tolak Farel. Lekas tangan mungil bocah itu meraih peralatan makan yang ada di dekatnya. Mengunyah dengan lahap dengan senyum yang terlihat begitu merekah.

            Ketika seorang perawatan hendak memberikan obat berupa cairan ke dalam selang infusnya, Farel menggeleng cepat. “Nanti aku bangun papa tidak ada. Aku tidak mau.”

“Aku akan tetap di sini. Percayalah,” gumam Keenan dengan senyumannya yang terlihat tanggung.

“Bener ya?” tanya Farel yang langsung diangguki oleh Keenan. “Janji ya, Pa?”

“Tentu.”

            Setengah jam kemudian benar yang dikatakan oleh Farel. Bocah itu terlelap akibat pengaruh obat yang masuk ke dalam tubuhnya. Kini saatnya Keenan kembali berbicara pada Lily.

“Kenapa Anda muncul lagi? Sengaja ingin membuat putraku merasa tergantung padamu ya? Iya ‘kah?” tanya Lily dengan sorot mata tak sukanya.

“Kau sangat pintar ternyata,” aku Keenan kemudian. “Dengan begitu kau tidak punya pilihan bukan?”

“Anda sangat licik.”

“Aku hanya pandai menciptakan peluang. Pilihan ada di tanganmu. Membiarkan bocah itu gila atau kau yang harus mengikuti kemauanku.”

Lily terbahak seketika. Lagi. Dia kembali dipermainkan oleh takdir. “Apa yang akan kudapatkan kalau bersedia menikah denganmu?”

“Semua yang kau mau akan kupenuhi. Kecuali ...,” ucapan tadi terhenti ketika Keenan merasakan hawa kemenangan ada di pihaknya.

"Apa? Kecuali apa?" tanya Lily yang merasa sangat tertekan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Papa Baru untuk Anakku   141. Keluarga Yang Hangat (TAMAT)

    “Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber

  • Papa Baru untuk Anakku   140. Menjelang Persalinan

    “Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima

  • Papa Baru untuk Anakku   139. Lily Yang Manja

    Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu

  • Papa Baru untuk Anakku   138. Persiapan Tujuh Bulanan

    “…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya

  • Papa Baru untuk Anakku   137. Detak Cinta

    “Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham

  • Papa Baru untuk Anakku   136. Jangan Jadi Ayah Seperti Daddy

    “Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status