Share

3. Tawaran Gila

“Papa di sini saja. Jangan pergi ke mana-mana lagi,” pinta Farel dengan wajahnya yang masih kelihatan pucat.

“Sayang, sudah ya. Susternya mau pasang infus kamu dulu. Sebentar lagi obatnya mau dimasukkan. Dengerin kata mama ya, Nak,” ucap Lily yang hampir frustrasi.

            Farel hendak memberontak, tetapi tubuh pria dewasa yang dianggapnya adalah sang papa tadi mulai mendekat. Jadilah dia mengangguk dan akhirnya menurut untuk tidak bergerak lagi.

“Sakit itu tidak enak. Jadi kau harus cepat sembuh,” katanya dengan suara datar. Namun, ternyata berhasil membuat Farel senang karena merasa diperhatikan.

“Papa janji ya tidak akan jauh-jauh dari kami lagi,” gumam Farel dengan sorot matanya yang sendu. “Besok aku ulang tahun. Teman-teman pasti akan bertanya lagi di mana papa. Jadi jangan pergi.”

“Aku ada—“

Ucapan tadi terjeda saat dokter yang menangani Farel muncul ke dalam ruangan. “Selamat pagi. Wah. Infusnya terlepas ya?”

“Maaf, Dokter,” cengir Farel seraya menunjukkan cengiran kudanya. “Aku tadi terlalu senang karena bertemu dengan papa.”

Dokter tadi pun menoleh ke arah pria yang dimaksud. “Pak Keenan?”

“Jangan banyak bertanya. Anak ini sedang sakit. Kau cepatlah selesaikan pekerjaanmu,” tukas pria yang bernama Keenan itu.

“Baik, Pak.” Sang dokter lekas meraih map berisi kumpulan hasil pemeriksaan pasien lengkap dengan laporan dari laboratorium juga. “Syukurlah tidak ada yang mengkhawatirkan. Besok jagoan kecil yang cerdas ini bisa pulang.”

“Apa tidak bisa sekarang? Besok aku ulang tahun,” pinta Farel menunjukkan rasa kecewanya.

“Maaf ya, Boy. Ada obat yang harus dimasukkan lewat infus sampai besok pagi. Jadi pulangnya memang harus sesuai dengan yang saya katakan.”

            Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. Sepasang orang dewasa yang tadi hanya diam kini saling menoleh.

“Aku ada meeeting. Jadi harus pergi,” ucap Keenan tanpa basa-basi.

Lily mengangguk paham. “Terimakasih ya. Yang Anda lakukan tadi sangat membantu.”

            Keenan tak mengatakan apapun setelahnya. Lantas dia bangkit dari posisi yang semula duduk dan berjalan cepat menuju luar ruangan. Sebelum benar-benar pergi dari sana, dia menyempatkan diri untuk melirik sejenak Farel yang tengah tertidur di atas brankar. Ada perasaan bersalah karena tadinya sempat menuduh yang bukan-bukan pada kedua ibu dan anak itu. Jadilah dia bungkam dan tak protes saat sang bocah mengajaknya ke ruang rawatan.

            Sementara kini Lily menatap iba putranya. Sama sekali tak menyangka jika sakit Farel yang sekarang karena bisa saja sangat merindukan sosok seorang papa. Hingga suara ketukan pelan dari arah luar membuyarkan lamunannya.

“Bibi?”

“Maaf ya, Ly. Bibi baru selesai beres-beres di rumah. Tadi pelanggan sayur bibi pada banyak yang nitip buat besok makanya baru kemari. Oh ya. Kamu sudah sarapan?” tanya bibinya sembari mengeluarkan bungkusan nasi dari dalam tas plastik. “Ke kantin gih. Makan pake teh hangat biar enggak masuk angin. Kamu juga ‘kan belum tidur dari tadi malam.”

“Iya, Bi. Titip Farel sebentar ya. Kalau dia kebangun telepon aku aja.”

            Karena terlambat mengisi perut, jadilah dia merasakan mual ketika menyuapkan nasi ke dalam mulut. Lily meneguk isi teh manis pesanannya hingga tersisa hanya setengah. Selera makan pun hilang lantaran sibuk memikirkan solusi dari keinginan putranya yang masih belum dipenuhi.

            Lambungnya hanya menerima hingga suapan keempat saja. Atensi wanita malang itu lekas beralih pada kucing berbulu putih yang langsung membuatnya terenyuh. Kasihan. Begitu yang dipikirkan Lily. Lantas dia pun beriniatif untuk memberikan ikan yang ada di dalam bungkusan nasi tadi pada hewan tersebut.

“Pusss, sini!!” pekiknya dengan suara setengah berbisik.

            Entah mengapa kakinya melangkah mengikuti arah sang kucing yang berjalan ke bagian selatan mata angin. Setelah membuntuti selama satu menit Lily lekas mengeluarkan sisa makanannya tadi.

[“Come on, Dad. Ini jaman apaan coba? Sekarang udah enggak berlaku hal yang kayak begituan.”]

            Suara samar-samar tadi membuat Lily menghentikan aktifitasnya. Niat hati hendak pergi, tetapi kaki enggan beranjak sama sekali. Seolah ada perekat yang membuat ibu satu anak itu terpaku di sana.

[“Aku belum mau menikah. Lagi pula aku rencananya tidak ingin punya anak. Tidak bisakah kalian menghargai pendapatku, hah??”]

[“...”]

            Pria yang tengah tersulut emosi itu menyugar kasar rambutnya ke arah belakang. Dia menendang angin saking begitu kesal dengan orang di seberang sana yang menjadi lawan bicaranya.

[“Sumpah ya. Kalian benar-benar menyebalkan.”]

[“...”]

[“Halo! Daddy! Aku belum selesai bicara.”]

            Tampaknya panggilan tadi terputus begitu saja. Membuat sang pria berdecak kesal. Sialnya ketika dia menoleh ke arah kanan, wajah Lily tampak dalam hitungan detik.

“Kau??” tunjuknya dengan kilatan amarah. “Mau apa kau membuntutiku, hah??”

Lily pun tergagap. Rasa takut pun muncul ketika melihat pria yang tak lain adalah Keenan. Dia berubah seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. “Ma-af. A-aku ke sini tidak sengaja. Aku ... hemmm memberi makan kucing. Iya. Dia di sini tadi.” Tak pelak jarinya menunjuk ke arah bawah di mana terdapat tulang-tulang ikan yang sudah berserakan.

            Belum sempat mendengar respon dari pria di hadapannya, ponsel Lily mulai bergetar. Lekas dia merogoh benda pipih tersebut dari dalam saku celana.

“Halo, Bi. Kenapa?” tanyanya dengan suara yang masih meredam rasa ngeri akibat menatap dua bola mata penuh emosi milik Keenan.

            Sayangnya dia tak mendengar dengan jelas lantaran saat itu juga suara ambulans menyamarkan ucapan sang bibi. Jadilah Lily mengaktifkan mode lain di dalam ponselnya.

[“Farel udah bangun. Dia bilang mau ketemu papanya. Memang tadi Adrian kemari ya?”]

“Ah itu.” Lily menatap sekilas Keenan yang masih dalam posisi mengintimidasi sedari tadi. “Aku ke sana sekarang ya.”

“Kau mau ke mana??” sentak Keenan masih dengan suara yang meninggi. “Aku tidak suka ada orang yang tahu tentang kehidupanku.”

            Sumpah. Lily sama sekali tak berniat menguping atau apa. Lagian dia ingin membagi informasi yang didengarnya tadi pada siapa? Toh bertemu dengan Keenan juga baru tadi pagi. Mereka jelas tidak mengenal satu sama lain.

Dia pun menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka mulut, “Maaf, Pak untuk hal yang  barusan. Saya sama sekali tidak ada maksud lain. Lagipula masalah saya masih banyak. Permisi.”

“Tunggu!” Keenan membentangkan satu tangan kekarnya ke hadapan Lily yang hendak beranjak pergi. “Aku benci mengatakan ini, tapi aku sedang terdesak.”

“Maaf. Apa maksud Anda ya?” tanya Lily tak mengerti ke mana arah pembicaraan tersebut.

“Dari pengamatanku tadi, sepertinya anakmu mengalami depresi ringan.”

“Terimakasih atas pemberitahuannya,” ucap Lily singkat.

“Aku butuh status baru untuk mengambil alih perusahaan. Anakmu pun butuh seorang ayah. Jadi ... mari menikah.”

Menikah? Ide macam apa itu? Lily pun terkekeh mendengar tawaran barusan. “Anda gila ya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status