Share

5. Status Baru

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2023-05-24 08:59:31

“Kita tidak akan melakukan peperangan di atas ranjang,” gumam Keenan sambil tersenyum miring. Wajah Lily yang tadinya terlihat tegang kini tampak kemerahan. “Kenapa? Apa kau kurang belaian, hemm?”

“Jaga ucapanmu!” sentak Lily kemudian. Sungguh perkataan barusan sangat menyinggung harga dirinya. Ah. Dia hampir lupa kalau sudah lama kehilangan itu sejak memutuskan menikah dengan Adrian.

“Jadi bagaimana?” Keenan sama sekali tak peduli dengan perubahan diri lawan bicaranya tersebut yang tampak tertekan. “Karena kau diam, maka aku anggap setuju. Aku akan urus ini bersama pengacaraku. Jadi bilang pada anakmu bahwa aku akan kembali.” Tanpa ingin mendengar balasan dari Lily, pria arogan tersebut melenggang pergi begitu saja.

            Kini Lily duduk di sofa ruang rawatan mewah putranya. Di sisi lain ada sang bibi yang sudah tertidur pulas di ranjang samping pasien. Sementara dirinya masih juga terjaga sejak dua jam yang lalu. Meratapi kemalangan hidup yang sepertinya tiada bertepi.

            Dulu dia menikah dengan Adrian karena cinta. Sebentar lagi dia pun akan melakukan hal sama pula, tetapi kali ini demi sang buah hati. Apa keputusannya sudah benar? Entahlah. Lily hanya bisa pasrah dengan keadaan. Lagi-lagi dia mengorbankan diri demi kebahagiaan orang lain meskipun itu adalah putra kandungnya.

***

“Happy birthday, anak kesayangan mama!” Lily tersenyum dengan cake ukuran mini yang berada di tangannya.

“Papa! Ke mana papa?”

Lily hanya tersenyum getir ketika mendengar seruan pertama dari Farel. “Iya, Sayang. Tenang ya. Dia akan kembali.”

            Ucapan penuh dengan keyakinan itu membuat sang bocah tersenyum lebar. Tidak ada lagi raut wajah gelisah yang sering didapati oleh Lily selama satu tahun terakhir ini.

“Hei, kue dari mama kok dianggurin?” tegur bibi yang bisa menangkap wajah sedih Lily.

“Maaf, Ma. Makasih ya.” Farel mengecup singkat pipi kedua wanita tersebut secara bergantian. Tak lupa melantunkan do’a yang hanya dia dan Tuhan saja mengetahui isinya. Cukup lama untuk harapan seorang anak yang kini sudah berusia genap empat tahun. Satu menit lebih durasinya. Hingga suara ketukan dari arah luar menyudahi aksi permohonan tersebut.

“Permisi. Waktunya sarapan,” sapa seorang petugas pengantar makanan pasien yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan. “Semoga cepat sembuh ya anak ganteng.”

“Makasih,” gumam Farel sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. Dia langsung mengambil alih nampan yang berisi makanan tersebut. “Aku bisa makan sendiri, Ma. Jadi nanti kalau papa datang aku sudah siap. Hari ini kita jadi pulang ‘kan?”

“Iya, Sayang. Kita tunggu dokternya datang dulu ya.”

            Sesuai dengan perkataannya. Keenan datang tepat setelah Farel menghabiskan sarapannya. Pria itu tidak sendiri. Dia bersama dengan seorang pengacara.

“Kenapa tidak pulang sekarang saja?” protes Farel dengan wajah yang tampak heran.

“Bukankah ini adalah hari ulang tahunmu?” kata Keenan kemudian. “Kau tunggulah di sini. Kami akan bersiap-siap. Jadilah anak yang baik.”

“Kami pergi dulu ya, Sayang. Kamu tinggal di sini dengan nenek,” gumam Lily seraya membelai lembut surai anaknya.

            Kepergian mereka dari rumah sakit diartikan Farel sebagai persiapan untuk acara ulang tahunnya yang mungkin akan digelar sore atau malam nanti. Namun, tanpa bocah itu ketahui bahwa para orang dewasa sedang melakukan hal lain.

            Lily tidak mengatakan apa-apa ketika dia diperintah Keenan untuk masuk ke dalam mobil. Wanita itu menurut ketika pintu kabin belakang kendaraan mewah tersebut dibukakan oleh sopir. Duduk bersama sang empu dengan seorang pengacara yang juga siaga di samping si pengemudi.

“Bacalah. Tanda tangani kalau kau sudah mengerti!” ucap Keenan seraya menyodorkan map bewarna biru berisi lembaran kertas di dalamnya. Lily menyambar benda pipih itu segera. Mulai mengamati poin demi poin yang tercantum di sana. “Perjanjian ini berlaku selama tiga bulan. Seminggu sebelum waktunya berakhir, kau punya tugas penting. Menghadiri acara keluarga besarku di Bali sebagai seorang istri.”

“Hmmm,” gumam Lily sambil mengangguk pelan. “I-ini apa?” tunjuknya pada poin nomor tujuh.

“Anggap saja itu sebagai balasan dari pekerjaanmu. Kau akan mendapatkan rumah senilai 500 juta, asuransi pendidikan anakmu sampai kuliah tingkat sarjana dan tabungan sebesar 1 milyar. Aku rasa cukup. Setelah bercerai nanti kau bisa memperbaiki hidup bukan?”

“Iya.” Lily lagi-lagi menggerakkan kepalanya ke bawah. Menganggap hal tersebut terbilang pantas untuk pengorbanannya. Lantas membuka tutup pena dan membubuhkan tanda tangan di lembaran bagian akhir.

“Baguslah. Sekarang kita ke KUA,” ucap Keenan kemudian. “Pamanmu di mana?”

“Sudah di sana,” jawab Lily singkat.

            Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Lily lebih dulu menggamit lengan sang paman ketika Keenan dan pengacaranya berjalan menuju bangunan berlantai dua di sana.

“Nak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya pamannya. “Bibi cuma cerita kalau Farel sibuk menceritakan kedatangan papanya, tapi ... itu bukan Adrian ‘kan? Apa orang yang tadi yang dia maksud? Makanya kamu jadi meminta paman kemari untuk menjadi wali nikahmu?” Lily hanya mengangguk sebagai jawaban. “Jangan mengambil tindakan yang gegabah, Nak. Pikirkan lagi.”

“Aku enggak ada pilihan, Paman,” gumam Lily yang kemudian menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman paksa. “Farel butuh sosok seorang ayah.” Lelaki paruh baya itu hendak berbicara lagi, tetapi mengurungkan niatnya ketika sang keponakan menggeleng lemah. “Aku butuh do’a saja. Jadi tolong jangan mempersulit ya.”

            Setengah jam kemudian. Lily sudah tampil dengan dress panjang bewarna putih gading dengan riasan tipis di wajah cantiknya. Begitu juga dengan Keenan selaku mempelai pria. Setelan jas kerjanya kini tampak senada bersama pakaian yang dikenakan oleh sang wanita.

“Jangan tunjukkan wajah sedihmu. Aku butuh dokumentasi untuk ditunjukkan sebagai barang bukti,” bisik Keenan dengan suara datarnya.

“Apa bisa kita mulai?” tanya Pak Penghulu.

            Tak sampai lima menit suara kata ‘sah’ kini terdengar oleh semua yang ada di ruangan sederhana itu. Keenan menyematkan cincin emas murni dengan model belah rotan seberat sepuluh gram sebagai mahar pernikahan mereka.

“Mulai sekarang kalian sah menjadi suami istri,” ucap sang penghulu yang segera diangguki oleh para saksi yang ada di sana. “Semoga pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah.”

“Aamiin.” Paman Lily mengucapkan dengan suara yang paling keras. “Selamat ya, Nak. Paman hanya bisa berdo’a yang terbaik buat kamu. Dan kamu?” tolehnya pada Keenan. “Tolong jaga Lily dan Farel. Mereka harta yang paling berharga buat saya.”

            Ucapan tadi belum sempat direspon oleh Keenan lantaran mendengar suara deheman dari pria yang ada di dekatnya.

“Sekarang silakan istri sungkeman ke suaminya. Jangan lupa loh. Pak Suami juga sudah boleh kecup kening istrinya di dahi. Biar pernikahannya barokah.”          Perkataan yang terdengar lumrah. Namun, bagi Lily dan Keenan justru sangat mengganggu sekali. “Loh, kok pada diem?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Papa Baru untuk Anakku   141. Keluarga Yang Hangat (TAMAT)

    “Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber

  • Papa Baru untuk Anakku   140. Menjelang Persalinan

    “Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima

  • Papa Baru untuk Anakku   139. Lily Yang Manja

    Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu

  • Papa Baru untuk Anakku   138. Persiapan Tujuh Bulanan

    “…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya

  • Papa Baru untuk Anakku   137. Detak Cinta

    “Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham

  • Papa Baru untuk Anakku   136. Jangan Jadi Ayah Seperti Daddy

    “Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status