Share

5. Status Baru

“Kita tidak akan melakukan peperangan di atas ranjang,” gumam Keenan sambil tersenyum miring. Wajah Lily yang tadinya terlihat tegang kini tampak kemerahan. “Kenapa? Apa kau kurang belaian, hemm?”

“Jaga ucapanmu!” sentak Lily kemudian. Sungguh perkataan barusan sangat menyinggung harga dirinya. Ah. Dia hampir lupa kalau sudah lama kehilangan itu sejak memutuskan menikah dengan Adrian.

“Jadi bagaimana?” Keenan sama sekali tak peduli dengan perubahan diri lawan bicaranya tersebut yang tampak tertekan. “Karena kau diam, maka aku anggap setuju. Aku akan urus ini bersama pengacaraku. Jadi bilang pada anakmu bahwa aku akan kembali.” Tanpa ingin mendengar balasan dari Lily, pria arogan tersebut melenggang pergi begitu saja.

            Kini Lily duduk di sofa ruang rawatan mewah putranya. Di sisi lain ada sang bibi yang sudah tertidur pulas di ranjang samping pasien. Sementara dirinya masih juga terjaga sejak dua jam yang lalu. Meratapi kemalangan hidup yang sepertinya tiada bertepi.

            Dulu dia menikah dengan Adrian karena cinta. Sebentar lagi dia pun akan melakukan hal sama pula, tetapi kali ini demi sang buah hati. Apa keputusannya sudah benar? Entahlah. Lily hanya bisa pasrah dengan keadaan. Lagi-lagi dia mengorbankan diri demi kebahagiaan orang lain meskipun itu adalah putra kandungnya.

***

“Happy birthday, anak kesayangan mama!” Lily tersenyum dengan cake ukuran mini yang berada di tangannya.

“Papa! Ke mana papa?”

Lily hanya tersenyum getir ketika mendengar seruan pertama dari Farel. “Iya, Sayang. Tenang ya. Dia akan kembali.”

            Ucapan penuh dengan keyakinan itu membuat sang bocah tersenyum lebar. Tidak ada lagi raut wajah gelisah yang sering didapati oleh Lily selama satu tahun terakhir ini.

“Hei, kue dari mama kok dianggurin?” tegur bibi yang bisa menangkap wajah sedih Lily.

“Maaf, Ma. Makasih ya.” Farel mengecup singkat pipi kedua wanita tersebut secara bergantian. Tak lupa melantunkan do’a yang hanya dia dan Tuhan saja mengetahui isinya. Cukup lama untuk harapan seorang anak yang kini sudah berusia genap empat tahun. Satu menit lebih durasinya. Hingga suara ketukan dari arah luar menyudahi aksi permohonan tersebut.

“Permisi. Waktunya sarapan,” sapa seorang petugas pengantar makanan pasien yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan. “Semoga cepat sembuh ya anak ganteng.”

“Makasih,” gumam Farel sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. Dia langsung mengambil alih nampan yang berisi makanan tersebut. “Aku bisa makan sendiri, Ma. Jadi nanti kalau papa datang aku sudah siap. Hari ini kita jadi pulang ‘kan?”

“Iya, Sayang. Kita tunggu dokternya datang dulu ya.”

            Sesuai dengan perkataannya. Keenan datang tepat setelah Farel menghabiskan sarapannya. Pria itu tidak sendiri. Dia bersama dengan seorang pengacara.

“Kenapa tidak pulang sekarang saja?” protes Farel dengan wajah yang tampak heran.

“Bukankah ini adalah hari ulang tahunmu?” kata Keenan kemudian. “Kau tunggulah di sini. Kami akan bersiap-siap. Jadilah anak yang baik.”

“Kami pergi dulu ya, Sayang. Kamu tinggal di sini dengan nenek,” gumam Lily seraya membelai lembut surai anaknya.

            Kepergian mereka dari rumah sakit diartikan Farel sebagai persiapan untuk acara ulang tahunnya yang mungkin akan digelar sore atau malam nanti. Namun, tanpa bocah itu ketahui bahwa para orang dewasa sedang melakukan hal lain.

            Lily tidak mengatakan apa-apa ketika dia diperintah Keenan untuk masuk ke dalam mobil. Wanita itu menurut ketika pintu kabin belakang kendaraan mewah tersebut dibukakan oleh sopir. Duduk bersama sang empu dengan seorang pengacara yang juga siaga di samping si pengemudi.

“Bacalah. Tanda tangani kalau kau sudah mengerti!” ucap Keenan seraya menyodorkan map bewarna biru berisi lembaran kertas di dalamnya. Lily menyambar benda pipih itu segera. Mulai mengamati poin demi poin yang tercantum di sana. “Perjanjian ini berlaku selama tiga bulan. Seminggu sebelum waktunya berakhir, kau punya tugas penting. Menghadiri acara keluarga besarku di Bali sebagai seorang istri.”

“Hmmm,” gumam Lily sambil mengangguk pelan. “I-ini apa?” tunjuknya pada poin nomor tujuh.

“Anggap saja itu sebagai balasan dari pekerjaanmu. Kau akan mendapatkan rumah senilai 500 juta, asuransi pendidikan anakmu sampai kuliah tingkat sarjana dan tabungan sebesar 1 milyar. Aku rasa cukup. Setelah bercerai nanti kau bisa memperbaiki hidup bukan?”

“Iya.” Lily lagi-lagi menggerakkan kepalanya ke bawah. Menganggap hal tersebut terbilang pantas untuk pengorbanannya. Lantas membuka tutup pena dan membubuhkan tanda tangan di lembaran bagian akhir.

“Baguslah. Sekarang kita ke KUA,” ucap Keenan kemudian. “Pamanmu di mana?”

“Sudah di sana,” jawab Lily singkat.

            Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Lily lebih dulu menggamit lengan sang paman ketika Keenan dan pengacaranya berjalan menuju bangunan berlantai dua di sana.

“Nak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya pamannya. “Bibi cuma cerita kalau Farel sibuk menceritakan kedatangan papanya, tapi ... itu bukan Adrian ‘kan? Apa orang yang tadi yang dia maksud? Makanya kamu jadi meminta paman kemari untuk menjadi wali nikahmu?” Lily hanya mengangguk sebagai jawaban. “Jangan mengambil tindakan yang gegabah, Nak. Pikirkan lagi.”

“Aku enggak ada pilihan, Paman,” gumam Lily yang kemudian menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman paksa. “Farel butuh sosok seorang ayah.” Lelaki paruh baya itu hendak berbicara lagi, tetapi mengurungkan niatnya ketika sang keponakan menggeleng lemah. “Aku butuh do’a saja. Jadi tolong jangan mempersulit ya.”

            Setengah jam kemudian. Lily sudah tampil dengan dress panjang bewarna putih gading dengan riasan tipis di wajah cantiknya. Begitu juga dengan Keenan selaku mempelai pria. Setelan jas kerjanya kini tampak senada bersama pakaian yang dikenakan oleh sang wanita.

“Jangan tunjukkan wajah sedihmu. Aku butuh dokumentasi untuk ditunjukkan sebagai barang bukti,” bisik Keenan dengan suara datarnya.

“Apa bisa kita mulai?” tanya Pak Penghulu.

            Tak sampai lima menit suara kata ‘sah’ kini terdengar oleh semua yang ada di ruangan sederhana itu. Keenan menyematkan cincin emas murni dengan model belah rotan seberat sepuluh gram sebagai mahar pernikahan mereka.

“Mulai sekarang kalian sah menjadi suami istri,” ucap sang penghulu yang segera diangguki oleh para saksi yang ada di sana. “Semoga pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah.”

“Aamiin.” Paman Lily mengucapkan dengan suara yang paling keras. “Selamat ya, Nak. Paman hanya bisa berdo’a yang terbaik buat kamu. Dan kamu?” tolehnya pada Keenan. “Tolong jaga Lily dan Farel. Mereka harta yang paling berharga buat saya.”

            Ucapan tadi belum sempat direspon oleh Keenan lantaran mendengar suara deheman dari pria yang ada di dekatnya.

“Sekarang silakan istri sungkeman ke suaminya. Jangan lupa loh. Pak Suami juga sudah boleh kecup kening istrinya di dahi. Biar pernikahannya barokah.”          Perkataan yang terdengar lumrah. Namun, bagi Lily dan Keenan justru sangat mengganggu sekali. “Loh, kok pada diem?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status