“Kita tidak akan melakukan peperangan di atas ranjang,” gumam Keenan sambil tersenyum miring. Wajah Lily yang tadinya terlihat tegang kini tampak kemerahan. “Kenapa? Apa kau kurang belaian, hemm?”
“Jaga ucapanmu!” sentak Lily kemudian. Sungguh perkataan barusan sangat menyinggung harga dirinya. Ah. Dia hampir lupa kalau sudah lama kehilangan itu sejak memutuskan menikah dengan Adrian.
“Jadi bagaimana?” Keenan sama sekali tak peduli dengan perubahan diri lawan bicaranya tersebut yang tampak tertekan. “Karena kau diam, maka aku anggap setuju. Aku akan urus ini bersama pengacaraku. Jadi bilang pada anakmu bahwa aku akan kembali.” Tanpa ingin mendengar balasan dari Lily, pria arogan tersebut melenggang pergi begitu saja.
Kini Lily duduk di sofa ruang rawatan mewah putranya. Di sisi lain ada sang bibi yang sudah tertidur pulas di ranjang samping pasien. Sementara dirinya masih juga terjaga sejak dua jam yang lalu. Meratapi kemalangan hidup yang sepertinya tiada bertepi.
Dulu dia menikah dengan Adrian karena cinta. Sebentar lagi dia pun akan melakukan hal sama pula, tetapi kali ini demi sang buah hati. Apa keputusannya sudah benar? Entahlah. Lily hanya bisa pasrah dengan keadaan. Lagi-lagi dia mengorbankan diri demi kebahagiaan orang lain meskipun itu adalah putra kandungnya.
***
“Happy birthday, anak kesayangan mama!” Lily tersenyum dengan cake ukuran mini yang berada di tangannya.
“Papa! Ke mana papa?”
Lily hanya tersenyum getir ketika mendengar seruan pertama dari Farel. “Iya, Sayang. Tenang ya. Dia akan kembali.”
Ucapan penuh dengan keyakinan itu membuat sang bocah tersenyum lebar. Tidak ada lagi raut wajah gelisah yang sering didapati oleh Lily selama satu tahun terakhir ini.
“Hei, kue dari mama kok dianggurin?” tegur bibi yang bisa menangkap wajah sedih Lily.
“Maaf, Ma. Makasih ya.” Farel mengecup singkat pipi kedua wanita tersebut secara bergantian. Tak lupa melantunkan do’a yang hanya dia dan Tuhan saja mengetahui isinya. Cukup lama untuk harapan seorang anak yang kini sudah berusia genap empat tahun. Satu menit lebih durasinya. Hingga suara ketukan dari arah luar menyudahi aksi permohonan tersebut.
“Permisi. Waktunya sarapan,” sapa seorang petugas pengantar makanan pasien yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan. “Semoga cepat sembuh ya anak ganteng.”
“Makasih,” gumam Farel sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. Dia langsung mengambil alih nampan yang berisi makanan tersebut. “Aku bisa makan sendiri, Ma. Jadi nanti kalau papa datang aku sudah siap. Hari ini kita jadi pulang ‘kan?”
“Iya, Sayang. Kita tunggu dokternya datang dulu ya.”
Sesuai dengan perkataannya. Keenan datang tepat setelah Farel menghabiskan sarapannya. Pria itu tidak sendiri. Dia bersama dengan seorang pengacara.
“Kenapa tidak pulang sekarang saja?” protes Farel dengan wajah yang tampak heran.
“Bukankah ini adalah hari ulang tahunmu?” kata Keenan kemudian. “Kau tunggulah di sini. Kami akan bersiap-siap. Jadilah anak yang baik.”
“Kami pergi dulu ya, Sayang. Kamu tinggal di sini dengan nenek,” gumam Lily seraya membelai lembut surai anaknya.
Kepergian mereka dari rumah sakit diartikan Farel sebagai persiapan untuk acara ulang tahunnya yang mungkin akan digelar sore atau malam nanti. Namun, tanpa bocah itu ketahui bahwa para orang dewasa sedang melakukan hal lain.
Lily tidak mengatakan apa-apa ketika dia diperintah Keenan untuk masuk ke dalam mobil. Wanita itu menurut ketika pintu kabin belakang kendaraan mewah tersebut dibukakan oleh sopir. Duduk bersama sang empu dengan seorang pengacara yang juga siaga di samping si pengemudi.
“Bacalah. Tanda tangani kalau kau sudah mengerti!” ucap Keenan seraya menyodorkan map bewarna biru berisi lembaran kertas di dalamnya. Lily menyambar benda pipih itu segera. Mulai mengamati poin demi poin yang tercantum di sana. “Perjanjian ini berlaku selama tiga bulan. Seminggu sebelum waktunya berakhir, kau punya tugas penting. Menghadiri acara keluarga besarku di Bali sebagai seorang istri.”
“Hmmm,” gumam Lily sambil mengangguk pelan. “I-ini apa?” tunjuknya pada poin nomor tujuh.
“Anggap saja itu sebagai balasan dari pekerjaanmu. Kau akan mendapatkan rumah senilai 500 juta, asuransi pendidikan anakmu sampai kuliah tingkat sarjana dan tabungan sebesar 1 milyar. Aku rasa cukup. Setelah bercerai nanti kau bisa memperbaiki hidup bukan?”
“Iya.” Lily lagi-lagi menggerakkan kepalanya ke bawah. Menganggap hal tersebut terbilang pantas untuk pengorbanannya. Lantas membuka tutup pena dan membubuhkan tanda tangan di lembaran bagian akhir.
“Baguslah. Sekarang kita ke KUA,” ucap Keenan kemudian. “Pamanmu di mana?”
“Sudah di sana,” jawab Lily singkat.
Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Lily lebih dulu menggamit lengan sang paman ketika Keenan dan pengacaranya berjalan menuju bangunan berlantai dua di sana.
“Nak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya pamannya. “Bibi cuma cerita kalau Farel sibuk menceritakan kedatangan papanya, tapi ... itu bukan Adrian ‘kan? Apa orang yang tadi yang dia maksud? Makanya kamu jadi meminta paman kemari untuk menjadi wali nikahmu?” Lily hanya mengangguk sebagai jawaban. “Jangan mengambil tindakan yang gegabah, Nak. Pikirkan lagi.”
“Aku enggak ada pilihan, Paman,” gumam Lily yang kemudian menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman paksa. “Farel butuh sosok seorang ayah.” Lelaki paruh baya itu hendak berbicara lagi, tetapi mengurungkan niatnya ketika sang keponakan menggeleng lemah. “Aku butuh do’a saja. Jadi tolong jangan mempersulit ya.”
Setengah jam kemudian. Lily sudah tampil dengan dress panjang bewarna putih gading dengan riasan tipis di wajah cantiknya. Begitu juga dengan Keenan selaku mempelai pria. Setelan jas kerjanya kini tampak senada bersama pakaian yang dikenakan oleh sang wanita.
“Jangan tunjukkan wajah sedihmu. Aku butuh dokumentasi untuk ditunjukkan sebagai barang bukti,” bisik Keenan dengan suara datarnya.
“Apa bisa kita mulai?” tanya Pak Penghulu.
Tak sampai lima menit suara kata ‘sah’ kini terdengar oleh semua yang ada di ruangan sederhana itu. Keenan menyematkan cincin emas murni dengan model belah rotan seberat sepuluh gram sebagai mahar pernikahan mereka.
“Mulai sekarang kalian sah menjadi suami istri,” ucap sang penghulu yang segera diangguki oleh para saksi yang ada di sana. “Semoga pernikahan kalian menjadi sakinah, mawaddah, warohmah.”
“Aamiin.” Paman Lily mengucapkan dengan suara yang paling keras. “Selamat ya, Nak. Paman hanya bisa berdo’a yang terbaik buat kamu. Dan kamu?” tolehnya pada Keenan. “Tolong jaga Lily dan Farel. Mereka harta yang paling berharga buat saya.”
Ucapan tadi belum sempat direspon oleh Keenan lantaran mendengar suara deheman dari pria yang ada di dekatnya.
“Sekarang silakan istri sungkeman ke suaminya. Jangan lupa loh. Pak Suami juga sudah boleh kecup kening istrinya di dahi. Biar pernikahannya barokah.” Perkataan yang terdengar lumrah. Namun, bagi Lily dan Keenan justru sangat mengganggu sekali. “Loh, kok pada diem?”
Teguran tadi membuat sepasang suami istri baru tersebut mematung seketika. Keduanya saling memandang dengan tatapan entah. Hingga beberapa detik kemudian Keenan mengulurkan tangan kanannya pada Lily.“Nah begitu. Jangan lupa diambil buat dokumentasi ya,” kata Pak Penghulu pada orang suruhan Keenan yang tengah memegang kamera.Sementara itu Lily menempelkan dahinya ke arah punggung tangan Keenan. Tak pelak sang pria pun mendekatkan bibir ke telinganya.“Aku bersedia menjadi papa untuk anakmu, tetapi jangan pernah berharap agar aku menganggapmu layaknya seorang istri.” Ucapan yang hanya bisa didengar oleh Lily saja karena jarak mereka yang sangat dekat.CUP!! Suami barunya itu mengecup singkat dahinya. Lantas kembali memundurkan tubuh menjauhi Lily.Penderitaannya bukan berakhir. Malahan bertambah hanya karena status baru yang sekarang ia sandang. Sebagai istri dari seorang pria yang bahkan tidak dikenal sama sekali. Bodoh. Tentu saja. Namun, nalurinya sebagai se
“Maaf, Pak. Emm... Bb-Bang Keenan maksud saya,” cicit Lily dengan suara seraknya. “Kali ini aku maafkan.” Keenan menatapnya dengan tajam. “Dengar baik-baik, Lily. Aku tak suka kau memanggilku dengan nada yang tinggi. Jadilah penurut kalau mau aku memperlakukan kalian dengan baik.” Wanita itu mengangguk tanpa suara. Lalu kembali berjalan berdampingan dengan Keenan menuju mobil. Tempat di mana putranya kini sudah berada. “Pa, kita mau ke mana?” tanya Farel ketika keduanya sudah berada di masing-masing sisi kanan kirinya. “Kau tunggu saja. Nanti juga akan sampai,” jawab Keenan dengan wajah dingin dan datarnya. Hal itu membuat Farel menunduk dan tak lagi berkata-kata. “Hei, tadi papa bilang apa, hemm? Dia mau kasih kejutan loh. Jadi jangan diganggu dulu,” bisik Lily seraya mengusapi puncak kepala anaknya. “Papa begitu karena dia takut keceplosan bicara, Sayang.” “Oh. Iya,” sahut Farel bernada pelan. Keenan yang tadinya membuang pandangan ke arah luar melirik Farel yang t
Suara barusan membuat Lily terhenyak seketika. Dalam sekejap kehadirannya sudah menjadi fokus semua orang yang ada di ruang tengah itu. Sementara Keenan sama sekali tak peduli."Keenan, kau jangan membual." Wanita dengan baju kekurangan bahan yang berdiri di hadapannya tersebut begitu meradang. "Dia hanya pembantu baru di rumah ini 'kan? Kalian ... tidak mungkin menikah. Kau hanya berbohong!!" Keenan memutar balas bola matanya. Lantas segera merengkuh cepat tubuh Lily. "Apanya yang tidak mungkin? Dia adalah istriku. Kami baru saja menikah. Apa kau tuli, heh?""Terus, kau anggap apa aku??" sentak sang wanita menggeram marah. Dia tersenyum miring ketika melirik ke arah istri Keenan itu. "Ini sungguh tidak lucu. Kau tahu bahwa kita adalah pasangan yang serasi." "Itu hanya menurutmu." Setelahnya Keenan menarik lengan sang istri meninggalkan wanita tersebut. Keduanya berjalan menuju kamar utama dan diikuti oleh seorang kepala pelayan yang tadi menyapa mereka. Warna putih, abu-abu dan hi
“Awwh!!” Wanita itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat lalu disentakkan dengan kasar. Dia menggeram lalu menoleh ke arah si pelaku. “Kee-nan?”“Ini rumahku!” Keenan menatap tajam sang wanita lalu menariknya cepat ke luar dari kamar.“Keenan, ayolah. Sandiwara apa yang kau lakukan, heh? Aku tahu bahwa kau ditekan untuk segera menikah, tetapi mengapa harus dengan janda beranak satu pula? Lihat aku!” Dengan penuh rasa percaya diri wanita berambut perak itu mendekatkan. “Aku bisa jadi istrimu.”Sayangnya Keenan malah tertawa sumbang. “Lisna, berhentilah mengada-ngada. Lebih baik kau pulang sekarang.”“Aku serius. Aku kurang apa coba? Oh astaga. Jangan-jangan kau ini dipelet oleh perempuan itu.”Keenan mendengkus pelan lalu berucap. “Aku sedang tidak mau berdebat denganmu. Pergilah.” Sementara di dalam kamarnya Farel tengah mendengarkan penjelasan dari Lily terkait dengan insiden barusan.“Enggak pa-pa, Sayang. Tante yang tadi mungkin sedang kesal. Jadi ya berbicara asal
Farel terkesiap lalu mematung dalam sekejap. Sementara Lily lekas menahan tangan Keenan yang sudah mengepal erat.“Apa yang kau lakukan??” tanya Keenan dengan suara yang menahan geram. Tadinya dia hendak kembali ke ruang kerja. Namun, suara bising dari kamar Farel mengacaukan rencananya.Bocah usia empat tahun itu menunduk seraya meremas jari-jarinya sendiri. “A-aku hanya main rumah-rumahan.”“Dia hanya bermain. Tolong jangan memarahinya,” bisik Lily. Wanita itu menggeleng pelan dengan bola mata yang nyaris berhenti berkedip ketika Keenan mulai mengayunkan langkahnya. Tepat saat hampir mendekati Farel, suami dinginnya tersebut berhenti lalu mengambil posisi bersidekap.“Apa ranjangmu tidak nyaman?” tanyanya kemudian. “Kau tidak suka gambarnya?” Farel menggeleng. “Atau warnanya?” Lagi-lagi sang bocah menggeleng pelan. Keenan lantas mengernyit heran. Kepalan tangannya pun mulai mengendur.“Enggak ada yang salah kok. Semua yang ada di sini Farel suka,” gumam Lily
“Mbok Jum??” Lily yang barusan ke luar dari kamar dikejutkan oleh kehadiran ketua pelayan yang sudah berdiri di belakangnya. “Mbok nyariin siapa?”“Eh he.” Wanita paruh baya itu mengusap pelan tengkuknya sambil tersenyum keki. “A-anu. Tuan Keenan. Apa Tuan sudah bangun ya?”“Mungkin. Ranjangnya sudah rapi begitu.” Lily menjawab sekenanya. Jelas penuturan barusan membuat Mbok Jum mengernyit seraya membolakan mulutnya. Memangnya tadi malam sepasang pengantin baru tersebut tidak menghabiskan malam bersama? Itulah yang ada di dalam benaknya. Baru saja hendak bertanya lebih lanjut, suara derap langkah kaki membuat mereka lekas menoleh.“Tuan?”“Sudah jam berapa ini, Mbok? Kenapa telat membawakan teh untukku??” Tatapan Keenan begitu mengintimidasi. Membuat Mbok Jum menunduk karena merasa bersalah.“Maaf, Tuan. Saya pikir tadi malam Tuan dan Nyonya—““Apa??” potong Keenan cepat. “Jangan banyak bicara. Lakukan saja tugas Mbok di sini dengan benar.” Setelahn
Lily memejamkan mata sembari meremas kain yang ada di hadapannya. Belum lagi napas yang mulai terengah-engah. Sayang. Ketakutan wanita cantik itu tampaknya tak beralasan. Terlebih lagi karena dia sekarang baik-baik saja. Bahkan pinggangnya direngkuh erat oleh sebuah lengan kekar yang masih menempel di sana.“B-bang Keenan?” ringisnya dengan bola mata refleks melebar seketika.“Lain kali jangan ceroboh.” Keenan buru-buru berdiri tegak lalu melepas kaitan tangannya dari tubuh Lily.“Makasih ya.” Suaminya itu tak berniat membalas meskipun hanya dengan anggukan kepala. Lily pun bergegas menutup pintu kamarnya.“Huffh!”” Napasnya terembus kasar ketika mengingat kejadian barusan. Kalau saja Keenan tak cepat menahannya, maka sekarang entah tangan, kaki atau bokongnya yang sakit akibat terjatuh ke lantai marmer tadi. Saat ini putranya tengah bersiap-siap di kamar. Sementara Lily sedang was-was menunggui Keenan yang tengah mandi sejak lima menit
“Eh?” Lily menyipitkan matanya.“Iya,” sahut Farel cepat. “Tadi mama bilang di sana kalau aku sekolahnya cuma tiga bulan, hemm?” Sorot mata polos tersebut tampak menyudutkan Lily. Tahu bahwa putranya sedang menanti jawaban.“Enggak gitu, Sayang. Mama cuma mau mastiin kamu betah atau enggak di sekolah ini. Jadi dicoba dulu selama tiga bulan. Kalau dirasa kamu happy ya ... lanjut.” Farel mengangguk sembari memasukkan segala perlengkapan sekolahnya ke tempat semula. Lantas menyerahkan tangannya untuk digamit sang mama meninggalkan pelataran sekolah. Kini keduanya sudah kembali ke rumah. Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu jauh memang. Hanya lima belas menit jika menggunakan kendaraan roda dua.“Minggu depan kamu ‘kan sekolah. Besok mama juga udah balik kerja. Nanti kalau ada waktu kita jengukin kakek dan nenek ya.”“Iya, Ma. Kenapa kita tinggal terpisah? Di sini banyak kamar kosong. Mirip hotel seperti yang pernah kita datangi,” cengir Farel menampa