Share

Bab 5: Berdagang

Pagi itu para penduduk sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kotak-kotak, sebagian besar adalah pakaian tapi ada juga kerajinan tangan kecil yang dibuat dari kayu atau daun yang didapat dari hutan dekat desa. Kotak-kotak itu kemudian diangkut ke sebuah kereta kuda dengan kereta besar untuk mengangkut banyak barang.

Amers berjalan menghampiri kereta kuda itu saat kotak terakhinya diangkat ke kereta. Setelan hitamnya yang rapi membuatnya terlihat mencolok di antara para penduduk desa.

“Apa semua pakaian dan barang dagangan lainnya sudah diangkut?” tanyanya.

“Sudah, Tuan Amers. Kuda-kuda juga sudah siap untuk perjalanan jauh ke desa lain,” jawab seseorang di samping kereta. Rambut pria itu diikat di belakang kepalanya.

“Bagus kalau begitu,” sahut Amers, “seperti yang aku yakin sudah bisa kalian duga, desa kita tidak akan bisa bertahan hanya dengan bergantung pada kemampuan kita sendiri. Apalagi waktu panen juga masih lama, jadi kita perlu berdagang dengan desa lain untuk memenuhi kebutuhan kita. Neca, aku percayakan padamu untuk berdagang dengan desa lain.”

Pria dengan rambut diikat di belakang kepalanya menyahut, “Percayakan pada saya, Tuan Amers. Saya sudah sering berdagang dengan suku lain sewaktu kami masih jadi nomaden.”

Amers tersenyum kemudian menoleh ke Arekh dan Lifnes yang ada di dekat kereta, “Kalian berdua, aku percayakan perlindungan kereta ini selama di perjalanan kepada kalian. Sebenarnya aku yakin Arekh sendiri sudah cukup, tapi untuk jaga-jaga aku juga ingin Lifnes menemani. Keselamatan kereta ini ada di tangan kalian.”

“Tenang saja Amers, kau bisa percayakan keselamatan Neca dan kereta ini pada kami,” ujar Arekh.

Lifnes menoleh ke arah Matahari Pagi dan Delthras, “Kalian berdua tolong jaga desa selama kami tidak ada ya. Tolong lindungi desa dengan baik.”

Matahari Pagi tersenyum lebar, “Tenang saja nya! Kamu tidak perlu khawatir, di tanganku desa ini pasti aman.”

Lifnes tersenyum, “Baguslah kalau begitu.”

Arekh menaiki kereta, dia duduk di sela-sela kotak dagangan sambil mengintip belakang kereta dari celah tirai. Lifnes mengikuti kereta kuda dari belakang saat Neca memacu kuda ke arah utara. Desa Leheath yang terlihat di belakang mereka semakin lama semakin menjauh.

Cuaca saat ini cerah, langit biru yang indah tanpa awan memenuhi langit. Matahari bersinar dengan cahaya yang tidak terlalu terik. Kereta kuda melewati beberapa kubangan air yang mengumpul di tanah berkat hujan semalam, dan angin sepoi-sepoi yang berhembus membawa aroma tanah hujan yang khas. Suara kicauan burung yang merdu menambah keindahan hari ini.

“Omong-omong Tuan Arekh, berapa lama kira-kira perjalanan sampai ke desa terdekat?” suara tanya Neca memecah kesunyian perjalanan.

“Hmm, kira-kira akan memakan waktu tiga hari perjalanan,” jawab Arekh.

Jawaban itu mengagetkan Neca, “Tiga hari? Jauh sekali, saya kira kita cuma akan butuh satu atau dua hari perjalanan saja.”

Arekh menjawab dengan santai, “Wajar kan? Daerah sini memang sejak dulu terkenal sebagai daerah yang berbahaya. Yah, biarpun salah satu alasannya karena perang dengan suku nomaden sih. Sekarang perang memang sudah berakhir, tapi kalau tidak ada alasan untuk orang-orang pergi ke selatan, daerah ini juga akan tetap sepi dari pelancong.”

“Begitu kah Tuan Arekh? Kalau begitu apa kita perlu takut dengan bahaya bandit?” tanya Neca lagi.

“Para bandit cuma menyerang daerah yang sering dilewati orang, terutama pedagang kaya. Tempat sepi seperti ini sih tidak terlalu menarik untuk para bandit, jadi mereka tidak akan menyerang kita di sini. Sekarang ini, kita cuma perlu khawatir serangan monster saja.”

“Lalu bagaimana dengan prajurit? Kenapa ibu kota tidak mengirim lebih banyak pasukan ke Leheath untuk menjaga desa lebih baik lagi?”

“Mungkin orang-orang awam tidak tahu, tapi tidak segampang itu lho untuk mengirim prajurit. Pertama-tama kita harus memastikan kita bisa memberi makan prajurit, kemudian kita juga harus menyediakan tempat tinggal buat mereka, barak misalnya. Dan juga, biarpun itu semua sudah terpenuhi, kadang ada juga orang yang tidak mau ditugaskan berjaga di tempat yang jauh dari keluarganya.”

Neca mengangguk-angguk mendengar penjelasan Arekh, dia tidak pernah menduga masalah prajurit ternyata sekompleks itu. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Amers memberinya tugas untuk membeli gandum dan bahan makanan lain.

Saat malam tiba, mereka membuat api unggun di tepi sungai. Arekh memasak makan malam dengan daging dan bahan makan yang mereka bawa dari desa, dia mengaduk sup berisi daging dan kentang. Neca dan Lifnes memuji hasil masakan Arekh ketika mereka menyantapnya.

Ketika tiba saatnya tidur, Arekh berkata, “Kamu tidurlah dulu. Nanti aku bangunkan kamu saat waktumu berjaga.

Lifnes menolaknya, “Kau saja yang tidur dulu Arekh. Kau kan sudah memasak tadi, kau pasti capek.”

“Tapi, aku benar-benar masih bisa-”

“Aku memaksa. Kau tidurlah dulu, akan kubangunkan kau nanti,” Lifnes memotong omongan Arekh.

Arekh yang sudah tidak bisa memprotes, akhirnya memutuskan untuk tidur.

Beberapa jam telah berlalu.

“AAAAAAKKH!”

Arekh terbangun mendadak sambil berteriak. Keringat bercucuran dari dahinya dan nafasnya pun cepat.

“Mimpi buruk lagi?” tanya Lifnes dengan suara lembut.

Arekh tidak langsung menjawab, tapi dia menutupi wajahnya dengan tangan, seolah dia tidak ingin melihat sesuatu.

“Aku serasa masih berada di perrtarungan itu. Melawan monster yang buas dan kuat itu. Satu per satu dari para petualang gugur, hanya aku yang tersisa,” ujarnya dengan nafas terengah-engah.

Lifnes mendekati Arekh, kemudian dia mengelus kepala Arekh.

“Kau tenang saja, Arekh. Itu semua hanya mimpi, kau sudah melewati itu. Kau tidak perlu takut lagi.”

“Tapi.. aku tidak bisa menyelamatkan…”

“Jangan pikirkan itu lagi, jangan pikirkan apa-apa lagi. Tenanglah dan kembalilah tidur, kau tidak akan melihat mimpi buruk itu lagi.”

“Tapi, aku harus ganti jaga.”

“Kau tidak perlu memikirkan itu, istirahatlah saja.”

sesudah ditenangkan oleh Lifnes, Arekh pun kembali tidur. Kali ini, dia tidak mengalami mimpi buruk.

Perjalanan mereka di hari-hari berikutnya berjalan dengan lancar. Arekh berhasil mengatasi monster-monster yang menghalangi jalan mereka, dan di pagi hari keempat mereka sampai di desa terdekat.

Mereka membuat toko sementara di dekat gerbang desa, bersebelahan dengan pedagang lain, dan mulai berjualan. Barang dagangan mereka kebanyakan pakaian dari kulit hewan buruan, tapi ada juga guci dan pot, juga kerajinan tangan lainnya.

Barang-barang ditata di atas meja, Neca berdiri di belakang meja dengan wajah yang meyakinkan, sorot matanya adalah mata yang membuatnya mudah dipercaya orang lain.

Pakaian yang dia jual bukanlah pakaian biasa, tapi dibuat dari kulit dan bulu hewan yang hanya ada di hutan dan padang rumput di selatan. Hal itu membuat desain pakaiannya berbeda dengan dagangan penjual lain. Guci yang dia jual juga memiliki motif khas suku di selatan, ukirannya yang khas dan eksotis menambah daya tariknya di mata pembeli.

Setiap kata yang Neca ucapkan mampu menarik orang-orang ke stan dagangannya. Rayuan ahlinya dan keunikan barang dagangannya membuat orang-orang susah untuk tidak membeli.

Matahari sudah bergeser ke ufuk barat ketika guci terakhir berpindah tangan ke pembeli. Dagangan mereka kali ini sukses besar. Mereka bertiga memutuskan untuk tidur di penginapan desa malam ini.

Keesokan harinya, Neca menggunakan kemampuan yang sama untuk membeli gandum, rempah-rempah dan bahan makanan lain untuk desa. Setelah mengangkut semuanya ke kereta kuda, mereka bertiga mulai perjalanan kembali ke Leheath.

Malam harinya, Arekh kembali memasak di kamp mereka. Ia menghaluskan lada hitam kemudian menaburkannya di atas sepotong daging sebelum memanggangnya di api unggun. Setelah masakannya matang, ia menawarkannya pada Lifnes dan Neca.

“Bagaimana rasanya?” tanya Arekh.

Ekspresi wajah Lifnes terlihat sangat menikmati makan malamnya, “Wah ini enak sekali Arekh. Lebih enak dari masakanmu kemarin.”

“Anu, Lifnes… terima kasih.”

Sekarang wajah Lifnes melihatkan ekspresi kebingungan, “Ada apa? Kenapa kau berterima kasih padaku?”

“Tidak ada alasan khusus… cuma… aku merasa ingin berterimakasih.”

Lifnes tersenyum kecil sebelum menjawab, “Sama-sama.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status