Share

Baku tembak

Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.

Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.

“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.

Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.

Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.

Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”

Ia menunjukan jari telunjuk kearah langit-langit lorong, mengisyaratkan lantai teratas dari hotel. Gisele menggelengkan kepalanya, sedangkan aku mencoba mengecoh mereka dengan membuat keterangan palsu.

“Kulihat dua orang pria berpakaian jas hitam pergi ke arah kiri di persimpangan itu, apa mereka yang kalian cari?” tanyaku.

Aku menunjuk arah persimpangan tempat polisi itu bertemu denganku. Polisi itu mengangguk dan segera berlari sesuai dengan arah yang kutunjukan. Sangat mudah ternyata mengelabui mereka semua.

“Tidak apa-apa membohongi mereka?” tanya Gisele.

“Asalkan kamu bersikap biasa dan tidak mencurigakan. Aku pikir mereka akan langsung percaya,” ujarku.

Segera kulangkahkan kembali kaki ini melewati persimpangan tersebut dan turun hingga ke lantai dasar. Beberapa kali kami bertemu dengan polisi di dalam elevator. Namun, penyamaran yang kami buat tampaknya berhasil.

Sampailah kami di lantai dasar. Sungguh tak terduga, banyak aparat penegak hukum dan beberapa organisasi masyarakat yang datang ke hotel ini. Mereka berkerumun di depan hotel dengan berbaris rapi layaknya tengah upacara.

“Ada apa ini?” tanyaku kepada salah satu resepsionis.

Wanita itu berbicara santai padaku, karena mungkin dia melihat aku yang hanya mengenakan pakaian staf. Ia mengatakan kalau mereka datang untuk menangkap perampok-perampok yang berada di lantai 30.

“Perampok katamu?” tanyaku dengan nada cukup tegas dan meninggi.

Wanita yang berada di depanku sontak terkejut, ia melihatku dengan wajah ketakutan. Aku sangat kesal ketika anak buahku sendiri, pekerja di hotel ini mengatakan kalau Cincin Hitam adalah perampok, meskipun itu tidak ada yang salah sama sekali.

“Kenapa kamu marah? Apa kamu salah satu dari mereka?” tanya wanita itu dengan penuh telisik.

Aku segera memalingkan pandangan dan wajahku darinya. Sangat berbahaya jika ia sampai berteriak dan mengatakan yang sebenarnya tentang diriku.

“Aku … tentu saja tidak, aku hanya pelayan di sini,” ujarku dengan tegas.

Wanita itu tertawa keras setelah mendengar apa yang kukatakan. Ia duduk santai di belakang meja resepsionis sambil memainkan ponselnya, sedangkan aku berdiri dan terus memerhatikan kerumunan polisi yang seolah-olah tengah menunggu mangsa.

“Kalau begitu, ambilkan saya kopi di vending machine di sana. Jangan pakai lama,” tegas wanita itu seraya menunjuk mesin penyedia minuman.

Matanya fokus pada layar ponsel sedangkan mulut dan sikapnya begitu angkuh dan semena-mena padaku, yang notabene atasannya sendiri. Aku terdiam, aku tentunya tersentak dengan perintah darinya. Apa ia sama sekali tidak mengenaliku?

“Apa? Kopi di vending machine?” tanyaku memastikan kembali.

Kutatap wajah wanita itu dengan tajam, tak lama ia berbalas menatapku dengan hal serupa. Wajahnya berubah kesal ketika aku tidak meladeni keinginannya.

“Yaampun! Kamu itu pelayan tapi sikapmu layaknya seorang raja! Dasar keras kepala!” bentak wanita cantik nan anggun yang berubah menjadi sombong dan menjijikan.

Salah satu rekan kerjanya menghampiri wanita tersebut dan berbisik di telinganya, rekan kerja itu sesekali memandangku takut. Sepertinya dia mengetahui siapa aku sebenarnya.

“Jadi … kamu adalah Revan?” Atensi wanita tersebut sontak langsung berpaling menatapku.

“Kamu takut sekarang, hah?!” ketusku.

Wanita itu berjalan pelan menghampiriku dan menundukan kepalanya, ia berjongkok dan berkali-kali mengucapkan banyak permintaan maaf.

“Kumohon maafkan dia, dia rekanku dan masih baru di sini.” Rekan kerjanya ikut menundukan kepala dan membantu temannya agar segera kumaafkan.

Sialnya lagi, ketika mereka berjongkok dan menundukan kepala. Salah satu polisi melihat apa yang keduanya lakukan. Ia segera bersiap memegang senapannya dan berjalan kearahku.

“Tuan! Jangan bergerak,” tegas polisi tersebut sambil mencoba mendekatiku.

Gawat! Ini bisa berbahaya jika ia terus mendekat dan memeriksa kalau aku membawa revolver. Kulirik Gisele yang berada di ruang lobby tersebut dan menatapku dengan tatapan takut.

Aku tidak bisa membiarkannya tertinggal di sini. Terpaksa harus kugunakan senapan tersebut dan menembak polisi itu dengan cepat.

Kusuruh kedua resepsionis itu untuk pergi dan menghampiri polisi tersebut, mereka segera patuh dan berjalan meninggalkanku. Perhatian polisi itu teralihkan kepada kedua wanita tersebut yang begitu ahli dalam menggoda pria.

“Cepat menyingkir! Kalian bertiga bertingkah sangat aneh, apa kalian ada kaitannya dengan Cincin Hitam?” tanya polisi tersebut.

“Tentu….”

Kutodongkan revolver tersebut kearah kepala polisi, sangat dekat bahkan kupikir tembakanku tidak akan meleset. Kedua wanita yang memeluk polisi tersebut sontak terdiam dengan wajah pucat, melihat sebuah senapan mengacung ke kepala pria yang mereka peluk.

“Apa kamu berani menembakku? Silakan saja, tapi nyawamu akan segera berakhir di sini!” ancam pria tersebut, ia mengangkat kedua tangannya dan menjatuhkan senapan laras panjang yang ia kalungkan di leher.

“Tentu saja, lagi pula membunuh seorang polisi bukan hal sulit bagiku.” Kutarik pelatuk senapan itu dan sebuah peluru tajam menembus dan melubangi kepala pria tersebut.

Suara yang sangat keras dan nyaring membuat polisi dan orang-orang yang berkerumun di depan hotal Viscara terkejut, mereka sontak memeriksa ke arah sumber suara tersebut dengan bergerombol.

“Kita tidak punya waktu, kalian berdua larilah dan jangan berbicara apa pun, ajak Gisele bersama kalian.” Aku segera mengambil senapan laras panjang milik polisi tersebut, jenis M-16 yang sering digunakan oleh kepolisian itu sangat familiar bagiku.

Kulepas pengaman dan kujalan berlari menuju pintu belakang yang terhubung kepada gang kecil di luar hotel. Kurasa mereka tidak akan mengetahui pintu tersebut.

Malang tidak dapat dielakan. Kulihat dari ujung gang, beberapa polisi yang mulai mengarahkan senapan mereka kearahku. Tampaknya mereka mengenakan peredam suara sehingga tembakan-tembakan mereka tidak terdengar jelas.

Posisiku begitu terdesak, pilihan terakhir aku hanya bisa menggunakan bom kilau yang kuambil dari polisi tadi dan melemparkan jauh ke polisi tersebut.

Kilau cahaya putih yang mengejutkan membuat mereka semua tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan mereka. Kugunakan momen ini untuk membunuh mereka semua dan menembaki dengan membabi buta.

“Sial! Ada berapa banyak orang yang datang kemari sebenarnya?” gumamku.

Setelah dirasa aman, aku segera berlari dengan kencang menghindari kejaran polisi tersebut. Mereka terlalu sibuk mengurusi teman mereka yang tumbang setelah kuhujani beberapa peluru tajam di tubuh mereka.

Pilihan buruk, aku mengambil jalan buntu di gang tersebut. Kanan dan kiri tubuhku hanya ada rumah-rumah yang sudah sunyi karena penghuni mereka yang tertidur.

Aku tidak punya pilihan lain, aku harus melawan mereka dan mengakhiri semuanya di sini. Setidaknya itu yang terbaik dari pada harus tertangkap karena kasus yang tidak kulakukan.

Tiba-tiba, pintu rumah di kananku terbuka, seorang pria menatapku dan mengajakku untuk masuk. Tak kusia-siakan apa yang ia berikan, aku langsung masuk dan bersembunyi di dalam.

Pria itu langsung menutup pintu dan menguncinya. Aku sama sekali tidak mengenal siapa pria itu dan alasan kenapa ia menyelamatkanku.

“Kenapa kalian menyelamatkanku?” tanyaku kepada beberapa orang yang duduk satu lantai sama denganku.

“Entahlah, tapi sebaiknya kamu tetap di sini dan berlindung,” ungkap pria tersebut, ia menyuguhkan secangkir teh hangat padaku.

“Kenapa kamu dikejar oleh banyak polisi? Apa yang sudah kamu perbuat?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status