***
“Tahan, Tiara!”
Suara dari arah belakang Tiara menghentikan wanita itu untuk meletuskan tembakan ke arah kepalaku. Terdengar suara langkah pria itu berjalan menghampiri kami berdua, sebuah cerutu besar menempel di mulutnya, berpakaian jas hitam dan kaca mata hitam layaknya pria di dalam SUV.
“Kita membutuhkannya hidup-hidup, jangan kamu bunuh dia karena perasaanmu,” ungkap pria di samping Tiara, wanita itu tiba-tiba mengangguk dengan pasrah layaknya anak yang sedang diceramahi oleh orang tuanya.
Darah yang keluar semakin deras dari bahuku, tampaknya proyektil peluru kembali bersarang di tubuhku akibat tembakan tersebut. Kepalaku begitu pusing, tangan dan kakiku sudah terlalu lemas untuk digerakan.
“Bawa dia sebelum dia kehabisan darah!” titah pria paruh baya tersebut seraya membalikan tubuhnya cuek meninggalkanku bersama anggota lain yang bertugas melakukan perawatan pertama pada lukaku.
Kulirik dengan mata lemah, Tiara tanpa ekspr
Tiara benar-benar dingin, apa sedalam itu rasa kecewa yang dialami olehnya? Lalu apakah dia akan menghentikan Risa yang mencoba membunuh Revan? Apakah rasa cintanya hilang karena kebenciannya pada Revan? Wah intriknya semakin kompleks, orang yang dulu ditindas datang untuk membalas. Seperti apa kelanjutannya, yah? Simak terus kisahnya, jangan sampai terlewat, yah:)
“Lepaskan dia, Risa,” titah Tiara.Risa tersenyum sembari menghela napas panjang, ia melepas suntikan tersebut begitu juga dengan cengkeraman tanganku. Ada hal yang tidak kumengerti dari Tiara, kenapa dia melindungiku dan memerintahkan Risa untuk berhenti?Tiara memerintahkan Risa untuk pergi dari ruang tersebut, sepertinya hanya ucapan Tiara yang akan didengar olehnya, mengingat kalau kuingat kembali ia melakukan hal sejauh ini hanya demi kebahagiaan Tiara.Dengan kata lain, membebaskan Tiara dari belenggu penderitaan dan kesedihan yang sedang dialaminya. Semua pangkal permasalahan yang terjadi berpusat padaku, karena hal itulah Risa mengambil langkah untuk melakukan percobaan pembunuhan.Tiara masih berdiri di lawang pintu yang terbuka, menatap ke bawah seraya berkacak pinggang. Kuyakin ia pasti kedinginan di malam hari seperti ini, mengingat aku yang masih mengenakan selimut tebal saja masih terasa dingin.“Terima kasih.”
***Hari ini, para polisi dan detektif berencana untuk memindahkanku ke rumah tahanan yang mereka telah sediakan. Mereka memperlakukanku dengan baik karena media dan pers banyak meliput dan mengikuti kasus pembunuhan ini.Mereka akan benar-benar menjagaku, bahkan dari luka goresan sedikit pun. Wartawan akan begitu kritis pada polisi jika terlihat ada luka goresan atau tembak di tubuhku.Tentu mereka menginginkanku untuk bekerja sama, memintaku untuk tutup mulut dan tak banyak bicara ketika ditanya wartawan. Padahal jika saja aku bicara, mungkin kepolisian akan lebih populer dari yang kasus pembunuhan itu sendiri.Terutama percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Risa dengan saksi mata Kapten Tiara. Jika satu kalimat saja terlontar dari mulutku perihal tersebut, mungkin Risa akan berada di situasi yang tak mengenakan.“Kamu tidak akan banyak bicara, kan?” tanya salah satu petugas polisi, ia berdiri untuk memberikanku ruang untuk berjalan
***Hari negosiasi akhirnya tiba, waktu istirahat jam makan siang yang begitu kutunggu-tunggu akhirya datang.Seperti biasa, aku berjalan dalam barisan napi sektor A menuju kantin rutan. Di sana, atensiku tertarik melihat tiga orang yang duduk di tempat yang sama seperti kemarin, merekalah orang yang akan membantuku keluar dari sini.“Aku sudah banyak mendengar tentang kalian,” ucapku singkat, aku berdiri di samping meja yang sontak mengejutkan mereka bertiga.Badan penuh dengan tato dan raut wajah yang begitu sangar sama sekali tidak membuatku takut, justru banyak orang seperti mereka yang hidup di bawah pimpinanku di Cincin Hitam.“Apa yang kamu dengar?” tanya salah satu pria, berkepala plontos dan berjanggut tebal, ia menatapku tajam seolah mencoba menakuti dan menguji mentalku.“Sesuatu yang buruk tentunya.”Kutarik satu kursi dari tempat lain dan duduk bersama ketiga orang tersebut. Awal perken
*** Tiara kembali datang ke rutan ini untuk menjemputku, hari ini adalah hari yang dijanjikan oleh pengadilan untuk memulai persidangan kasus pembunuhan Luqman. Hari persidangan menjadi sesuatu yang sangat ditunggu oleh banyak orang, mengingat kasus ini cukup menghebohkan dan banyak media yang sama penasaran akan akhir dari kasus ini. Itu berkaitan dengan statusku apakah akan berganti dari tersangka menjadi orang bebas. Sama seperti biasa, mereka memperlakukanku layaknya seorang binatang ternak, leherku dirantai begitu juga dengan tangan dan kakiku. Rantai-rantai itu tersambung menjadi satu menjadikanku domba yang mudah dituntun oleh penggembala. Tak hanya itu, mulutku juga dibekap menggunakan kain dan ditutup rapat dengan lakban hitam, dipasang juga penutup kepala yang hanya memiliki lubang untuk mata. Tindakan yang lebih agresif dan tegas dari kepolisian, pasalnya terakhir kali aku keluar dan menyapa dunia. Aku berbicara kepada media dan unt
“Apa pihak saksi pelapor ada yang ingin disampaikan?” tanya hakim, matanya berpaling dariku ke arah dua orang yang baru datang tersebut. Reno bangkit dari duduknya, seluruh mata kini memandang pria tersebut yang sudah kuanggap seorang pengkhianat ulung. Tak kusangka ia masih bisa tersenyum setelah semua yang ia lakukan padaku, luka yang masih berbekas di kepalaku tidak akan pernah hilang dengan senyum darinya. “Kesaksian yang Saudara Revan katakan sepenuhnya bohong,” ucap Reno, nada bicaranya begitu lantang dan tegas, matanya memandang hakim penuh kepercayaan diri. “Apa yang kamu katakan?!” erangku, sungguh tak beradab, punya hak apa dia mengatakan kalau semua usahaku adalah bohong belaka? “Ada pepatah yang mengatakan kejujuran akan menyelamatkanmu, meski kamu merasa takut akan hal itu,” ungkap Reno, ia berjalan melewatiku dan berdiri di tengah persidangan seraya menatap hakim. “Apa kamu menuduhku mengancammu?” tanyaku. “Aku tidak pern
***Persidangan pun berlanjut, Tiara masih menemaniku untuk mengantar dan menjemput dari rutan ke pengadilan dan sebaliknya. Hubungan kami jauh lebih dekat dan Tiara banyak bercerita padaku.Jika aku boleh jujur, momen saat ini adalah momen ketika ‘tembok berlin’ benar-benar runtuh di antara aku dengan Tiara. Tidak ada pembatas, penghalang, atau pun pemisah untukku berdekatan dengan kapten detektif tersebut.Sesekali Tiara kubuat tertawa akibat lelucon yang kulontarkan, terkadang jika keadaan jalan sedang macet, aku gunakan waktu berharga itu untuk bermesraan dengannya. Ia sama sekali tidak menolak, bahkan terang-terangan ingin terus keadaan manis ini tetap terjalin.“Persidangan ini akan sulit, mereka tampaknya tidak mau menyerah,” ucapku.“Benar, entah setelah mendengarkan semua penjelasanmu. Aku dilanda dilema, apa aku bisa benar-benar berada di pihakmu,” balas Tiara, kepalanya tersandar di bahuku yang besar s
***Bus tahanan yang membawaku langsung berputar balik dan pergi ke lokasi kecelakaan tersebut, yang kuhawatirkan dari kejadian itu adalah keselamatan dan nyawa Ridho, pasalnya Ridho adalah saksi kunci dari kasus yang sedang membelitku.Aku panik, cemas, dan gelisah. Aku tidak bisa terdiam dengan tenang, keringat dingin terus menerus mengalir dari atas kepala membasahi seluruh tubuhku. Tiara pasti menyadari perubahan sikapku yang mendadak, itu dibuktikan dari tatapan matanya yang sesekali melirik kearahku pelan.“Tidak perlu khawatir, personil polisi yang menjaga mereka adalah yang terbaik. Aku yakin mereka baik-baik saja saat ini,” ucap Tiara, nada bicaranya yang lembut membuatku nyaman, tapi tetap saja aku tidak bisa memikirkan hal lain untuk membuat diri ini tenang.“Kamu benar, mereka mungkin terselamatkan oleh personil polisi di sana. Namun, disitulah letak masalahnya.”“Apa maksudmu?” tanya Tiara.Ia
*** Mereka langsung mengembalikanku ke rutan setelah mengantar semua polisi yang terluka. Selama sisa perjalanan, Tiara hanya bercerita sedikit dan tak banyak bertanya. Hal itu mungkin diakibatkan karena sikapku yang cukup agresif tadi, pasalnya setiap kali aku mengingat Risa, selalu saja terbesit ucapan buruknya ketika mengunjungiku tempo hari. Ia tidak akan berkata demikian jika tidak memiliki maksud tertentu, jika perlu kuhubungkan dengan kasus ini, kemungkinan besar Risa bekerja sama dengan orang-orang Stefano. “Maafkan aku, tadi aku mengatakan sesuatu yang kasar. Bukan maksudku untuk menghardikmu, tapi aku merasa kesal saja jika sahabatku sendiri harus disangkut pautkan dalam kasus ini,” ungkap Tiara. Suaranya lirih dan lembut tetapi tatapannya masih enggan memandangku, kepalanya tertempel dengan kaca jendela bus dan pupilnya bergerak seiringan dengan gedung-gedung yang terlewati. “Aku yang salah, aku sudah tahu kalau kamu tidak t