***
Cukup mudah aku menghindari mereka, para antek jaksa tidak pernah tahu kalau aku berada di dalam perjalanan menuju bandara. Mereka akan mengetahuinya esok pagi ketika mendapati pasien yang ada di atas ranjang bukanlah aku.
“Kamu akan melintas dengan identitas baru,” jelas Nathan.
Kedua tangannya terkunci di kemudi mobil dan matanya masih fokus melihat jalanan di depannya. Sesekali ia melirik kearahku dan tak lama pria itu menunjuk lemari mobil di depanku.
“Bukalah,” pinta Nathan, aku mengangguk dan ternyata di sana sudah muncul paspor dan kartu nama warga Filipina-ku.
“Rodrigo Fellos?” tanyaku, kugenggam id card tersebut seraya menunjukannya kearah Nathan.
Aku merasa tidak asing dengan nama Rodrigo, nama itu bahkan begitu umum di Filipina yang mana mereka adalah negara penganut agama Katolik terbesar di Asia.
“Nama barumu, jangan khawatir, tidak ada seorang pun yang memilikinya selain dirimu,” balas Nathan, ia mengambil bel
Ini yang terbaik, Revan harus rehat sejenak dari kekacauan di Indonesia. Lalu dengan bersembunyinya Revan di Filipina, apa yang akan terjadi dengan kasus tersebut? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian yah. Selamat berakhir pekan:)
***Hari pertama di kediaman Missa. Pagi itu, aku mendapati tubuhku benar-benar polos tak berbusana, hanya selimut kasur yang hangat dan menutup seluruh tubuhku semalaman itu.Sinar surya menerangi ruang kamarku, masuk melalui celah jendela dan pintu balkon yang terbuka. Masih samar dalam pandanganku, seorang wanita berbalutkan jubah mandi dengan rambut hitam basah berdiri tepat di balkon yang menghadap ke kompleks perumahan mewah Misa.Kufokuskan pandanganku dan melihat wanita itu tak lain adalah sang pemiliki rumah, Missa. Lekukan tubuhnya begitu ramping membuat siapa pun pria pasti jatuh hati dalam pandangan pertama mereka.“Apa yang kulakukan semalam?” tanyaku, memecah keheningan di ruangan tersebut.Tubuh Misa tersentak, ia segera berbalik dan menatapku dengan penuh nafsu. Apa hormonnya sedang meninggi pagi ini?“Kamu tidak mengingatnya? Itu momen paling menyenangkan yang pernah kurasakan.”“Momen? M
Tak terasa, setelah kami puas berkeliling Kota Manila dalam satu hari, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Manila Bay untuk kedua kali setelah siang tadi. Bianca bilang tempat ini akan sangat indah jika didatangi ketika malam tiba.Aku tidak bisa menemukan kemiripan Manila Bay dengan sesuatu di Jakarta, suasananya cukup tenang, tiang-tiang tinggi dihiasi lampu terang berwarna warni.Yang menarik perhatianku, mayoritas pengunjung Manila Bay ketika malam hari tak lain adalah sepasang kekasih. Mereka berpegangan tangan, saling rangkul satu sama lain dan mungkin hanya aku dan Bianca yang tidak melakukannya.“Terima kasih untuk hari ini, kupikir perjalanannya cukup menyenangkan,” ucapku.Kami berdua duduk di sebuah kursi kosong dekat dengan pohon rindang, angin dari laut sungguh kencang dan kurasakan lebih dingin dari pada hawa di Jakarta.Bianca tersenyum, ia masih berekspresi sama seperti yang kulihat di dalam mobil, kuat dan mencoba m
*** Hari ini, Misa tidak pergi ke mana pun. Ia tetap berada di kediamannya sampai tengah hari. Sedangkan aku masih menyimak pemberitaan di Indonesia melalui laptop milik Misa. Mayoritas membahas terkait politik, perdagangan dan hukum. Salah satunya terkait denganku, kulihat salah satu media ikut memberitakan kalau aku kabur dari rumah sakit. “Sayang, apa kamu sedang sibuk?” tanya Misa, wanita itu dengan percaya diri mulai memanggilku dengan panggilan romantis, mungkin ia hanya ingin dilihat mesra oleh orang lain. Kuputar kursi tersebut dan menghadap kearah Misa, kugelengkan kepala sembari menutup layar laptop ketika ia berjalan menghampiriku. “Apa yang sedang kamu tonton?” tanya Misa, matanya sesekali melirik ke laptopnya yang tertutup. “Bukan apa-apa, aku hanya sedang menyimak pemberitaan di Indonesia.” “Oh, bukankah terlalu dini untuk kembali pulang?” tanya Misa. Seperti biasa, jika tidak ada orang, maka Misa akan ber
“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak membutuhkannya,” balasku, singkat. “Aku ingin kamu memilikinya, anggap saja hadiah dariku karena kamu sudah melakukan yang terbaik selama ini,” jawab Misa. Ia begitu keras kepala menyuruhku menerima saham dan kepemilikan dari perusahaan tersebut. Jika dilihat dari pengalamanku sebelumnya, aku sama sekali tidak merasa kesulitan jika harus mengurus sebuah perusahaan. Akan tetapi aku masih awam jika harus dihadapkan dengan perusahaan besar yang berada di luar Indonesia, terutama di bagian administrasi dan birokrasi yang masih tak kumengerti. “Apa yang sudah kulakukan hingga kamu bersikeras ingin memberikan perusahaan itu padaku?” tanyaku, kulihat kedua pandangan Misa terangkat menatap langit-langit restoran. “Banyak hal, terutama kamu sudah memberikanku pengalaman yang berarti beberapa hari belakangan ini.” Apa pengalaman yang ia maksud adalah sesuatu terkait hubungan intim? Apa sebenarnya isi kepala d
*** Sudah satu bulan aku menetap di Manila, aku mulai terbiasa dengan kehidupan, makanan dan tradisi masyarakat di sini. “Permisi, Tuan. Tuan dipanggil Nyonya untuk turun sarapan.” Pintu kamar terbuka, terdengarlah suara lirih dan lembut dari seorang wanita yang mengenakan pakaian pembantu rumah. Aku yang masih berdiri di depan balkon kamar yang terbuka sontak berbalik seraya mengangguk pelan, menjawab perintah dari Misa yang terlontar melalui perantara wanita tersebut. Hidupku benar-benar berubah, begitu juga dengan Misa. Hubungan kami cukup erat belakangan ini dan itu dibuktikan dengan wajah Misa yang selalu cerah dan berseri di setiap pagi hari datang. Jika kupikir, aku sudah melakukan dosa yang tak akan mungkin dimaafkan oleh Tiara. Wanita itu masih berada di sana, jauh dari dekapanku dan tak pernah tahu kalau aku masih hidup bersembunyi. “Tuan…?” “Iya aku akan ke sana, aku perlu mengganti pakaianku,” balasku singkat.
*** Terdengar dari earphone yang kugunakan, mereka terdengar membahas proyek tadi dan memuji kepemimpinanku dalam perusahaan ini. Jujur saja aku tersanjung mereka berkata demikian. Namun, bukan pujian yang tengah kucari. “… apa kita perlu memberitahu Tuan Stefano tentang ini?” Jackpot! Mereka adalah komplotan yang satu grup dengan Stefano, aku sudah menduganya lewat tekstur tangan mereka. “Jangan dulu, kita perlu bukti kuat kalau dia adalah Revan.” Ucapan mereka terdengar jelas dari alat penyadap yang kusimpan di jas mereka, sampai detik ini pun aku masih mendengarkan pembicaraan mereka hingga ke bagian private. Kumatikan dan segera kaki-kakiku bangkit menopang tubuh ini, berjalan menghampiri jendela kantor sambil memperhatikan landscape Kota Manila dari langit. “Kecurigaanku benar,” ujarku. “Tentang mereka?” tanya Misa sambil berdiri dan menghampiriku. “Iya.” “Tapi bagaimana bisa merek
*** Dua hari kemudian. Aku terbangun di pagi buta karena dering ponselku yang kusimpan di atas meja. Dengan pandangan yang masih kabur dan berat karena kantuk, kuangkat telepon itu tanpa melihat nama si penelepon. “Halo … dengan siapa aku bicara?” tanyaku lirih. “Halo, ini denganku, Nathan. Apa aku membangunkanmu?” tanya Nathan. Segera aku bangkit dari posisi telentang dan duduk di tepi kasur. Kulihat di sampingku, Misa masih terlelap tidur tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya. “Siapa juga orang gila yang menelepon di jam tiga pagi,” ketusku. Nathan tertawa kecil seraya melontarkan beribu maaf karena sudah membangunkanku, aku tak keberatan jika memang Nathan memiliki tujuan penting untuk meneleponku. “Lalu ada apa? Apa ada hal penting yang kamu temukan?” tanyaku sambil berjalan menghampiri lemari pakaian dan mengambil jubah tidur berwarna putih yang tergantung di dalam lemari. “Iya, ini terkait Tiara,” ba
*** “Lakukanlah!” Mereka semua segera bergerak sesuai perintahku, tidak ada yang mau membantah. Nancy datang menghampiriku sembari meletakan secangkir teh hangat di atas meja. “Ada apa denganmu hari ini? Apa ada yang salah terjadi di rumah?” tanya Nancy, berani sekali ia bertanya seperti itu kepadaku. “Lakukan tugasmu dan diam!” Perkataan itu mengunci bibir Nancy untuk tetap bungkam, meski pendingin ruangan sudah menyala tapi entah kenapa tubuhku rasanya begitu gerah dan panas. “Bagaimana persentase penjualan kita bulan ini?” tanyaku. Aku bangkit dan berbalik membelakangi wajah Nancy, wanita itu masih berdiri tegap di depan meja kerjaku sambil tertunduk sunyi. “Semuanya sektor berada di trend positif, aku pikir investor akan senang melihat perkembangan ini,” ungkap Nancy. “Itu benar.” Terdengar langkah kaki di belakangku yang cukup nyaring, kulirik pelan dan melihat wanita itu tengah duduk di atas sofa.