***
Seharian kemarin aku hanya bisa berbaring di atas kasur, tak banyak yang bisa kulakukan bahkan polisi tidak mau melewatkan satu jam saja meninggalkanku sendirian di ruang perawatan ini.
Setiap enam jam sekali akan ada pergantian jaga, personil yang menjagaku juga berubah dari semula satu orang kini menjadi dua orang. Aku semakin sulit berpikir untuk melarikan diri dari sini.
Hanya ada satu momen ketika aku memang benar-benar sendirian, momen itu datang ketika perawat masuk untuk membasuh tubuhku karena aku tidak diperbolehkan untuk turun dari atas kasur.
Dan itu akhirnya tiba, seorang perawat masuk sembari membawa ember yang penuh dengan air dan lap basah yang ada di bawah ember tersebut. Perawat perempuan itu mulai menyingsingkan lengan bajuku hingga siku, dan celanaku hingga lutut.
Aku berbual kepada polisi dengan mengatakan aku memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, dengan kata lain, aku cukup sensitif jika orang luar selain perawat meli
Memalsukan hasil interogasi? Itu melawan hukum, tapi dalam posisi Revan itu sama sekali tidak membantu jika punya bukti kuat. Simak terus kisahnya, yah. Dijamin pasti semakin seru dan complicated.
***Interogasiku selesai, mereka memerintahkan untuk memindahkanku ke Jakarta secepatnya. Sejak semalam, aku tidak melihat keberadaan Tiara di ruanganku berada.Hanya Risa yang datang padaku, terkadang ia datang untuk kembali menanyaiku tanpa menggunakan alat pendeteksi kebohongan, terkadang juga ia hanya datang untuk berkunjung atau mengobrol ringan.Aku tidak bisa mengusirnya, jika boleh jujur aku sangat membenci wanita bermuka iblis itu. Ia dengan sengaja mengubah isi interogasi sesuai dengan yang diinginkannya. Sontak saja hal itu mengundang emosiku.“Apa yang kamu butuhkan lagi padaku?” tanyaku, setiap kali kulihat wajahnya, selalu saja terbayang ucapan semalam yang begitu mengejutkan lagi menyakitkan.“Tidak, aku hanya ingin mengobrol sesuatu denganmu. Ini berkaitan dengan Tiara.”Kudengar wanita ini sudah mendapatkan lencana dan pangkat yang jauh lebih tinggi dari pada polisi kota ini, karena hal itu juga membu
Tiara tampak mengeluarkan benda dari saku seragamnya, sebuah borgol besi yang menggantung di tangannya. Ia berjalan menghampiriku sembari menyeka air mata dari kedua matanya tepat di depanku.“Akh! Tunggu, Tiara! Aku benar-benar tidak bersalah.”“Hanya hakim yang memutuskan apakah kamu bersalah atau tidak, tugas kami hanya menangkap pelaku utama pembunuhan,” timpal Tiara.Jarak kami cukup dekat hingga tak sadar wanita itu ternyata sudah berada di depanku, berjongkok seraya menarik tanganku dengan kasar.“Aku tidak boleh mengesampikan perasaanku demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Ini sudah menjadi tugasku dan kumohon … kumohon jangan menghalangiku.”Aku terdiam, perlahan lingkaran borgol itu mulai membelenggu tangan kananku sebelum ke tangan kiri. Tiara menangkapku dengan berlinang air mata, tampaknya ia tidak kuasa menahan gejolak dilema yang ia alami.“Sayang … sebelum aku diadili,
*** Cukup lama aku berbincang dengannya. Ia akhirnya mengetahui apa yang terjadi padaku, meskipun di beberapa bagian cerita mereka menyangkal kebenaran yang terjadi. Contohnya adalah Alberto yang mantan seorang mafia. Sinta habis-habisan mengelak dan membantah apa yang kujelaskan, bahkan ia menambahkan kalau ayahnya seseorang yang shaleh dan rajin beribadah. Mungkin itu adil baginya, mengingat Sinta lahir tepat setelah Beto vakum dari dunia mafia. Namun, sekali tinta hitam tercoret di atas kertas, maka sulit baginya terhapus. Begitulah yang terjadi pada kehidupan masa lalu Beto. Calista –Istri Beto– justru tidak membantah apa yang kukatakan. Tepat ketika kuceritakan semuanya, ia hanya terdiam sembari menundukan kepalanya, sesekali ia beranjak pergi untuk mengambil minuman. Hal-hal tidak transparan seperti inilah yang dikemudian hari berpotensi membuat keluarga tidak stabil, adanya hal yang ditutup-tutupi akan menyebabkan anak merasa dihindarka
***Pada akhirnya, Calista dan Sinta bisa tersenyum kembali. Wanita itu kini tengah dirawat selepas operasi usus buntu yang di jalaninya.Beberapa kali ia berterima kasih padaku karena telah membayar seluruh administrasi rawat Calista, aku hanya mengangguk dan menjawab semua itu kulakukan atas dasar balas budi.Kini, Calista tidak akan mengeluh tentang penyakitnya lagi. Begitu juga dengan Sinta, gadis muda itu bisa kembali bersekolah dengan tenang tanpa harus mengkhawatirkan Calista berlebih.Calista tidak mempunyai sanak saudara, kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa bulan lalu, hanya Sinta dan Beto keluarga yang ia miliki.Di samping Beto yang belum kembali, dan Sinta yang harus pergi bersekolah. Terpaksa aku harus merawat dan menjaga Calista hingga ia sembuh total.“Bagaimana dengan lukamu? Apa sudah sembuh?” tanya Calista.Aku sudah menjalani operasi pengangkatan proyektil tepat ketika operasi Calista sedang berl
*** Esok harinya, aku langsung memutuskan untuk pergi dari rumah Beto. Kuberikan uang sejumlah sepuluh juta untuk mereka bertahan hidup, aku memilih bungkam ketika mereka menanyakan alasanku. Jelas! Uang yang kuberikan semoga bisa membuat mereka berpikiran untuk tidak mengharapkan Beto kembali. Harapanku adalah semoga mereka bisa mulai berinvestasi atau berdagang dengan uang itu, dan aku percaya Calista bukanlah wanita yang boros. “Hati-hati di jalan.” Calista tersenyum, wajah pucat dan sedih darinya hilang berbarengan dengan naiknya matahari di atas kepalaku. Sinta pergi bersekolah, aku sudah berpamitan dengannya semalam dan ia mengaku senang mengenalku. Memang begitulah, kita tidak bisa menilai seseorang dari penampilannya saja. Hal itu yang kuyakinkan kepada Sinta, dengan kata lain, kita harus berbuat baik bahkan kepada orang asing sekali pun. Ia tersenyum masam, ternyata sifat juteknya masih melekat erat di gadis muda itu. Mereka b
***Keadaanku jauh lebih berbeda dibanding sebelumnya, sudah dua minggu aku sembunyi dengan penampilan yang baru, kepala plontos dan tumbuh janggut tebal di pipi dan daguku. Sekilas aku sudah mirip orang lain dalam ingatanku.Wajahku muncul di depan layar televisi, mereka memberitakan kalau aku adalah dalang utama pembunuhan Anggota Dewan Luqman. Kuyakin rekan-rekanku melihat berita ini dan berpikiran kalau identitasku pasti sudah terbongkar.“Pak Hassan, apa kamu punya obeng?” tanya petugas yang sedang membenarkan selang air di kontrakanku, kini aku tinggal di selatan Bawen, dekat dengan pertokoan kuno yang menjajakan oleh-oleh khas Semarang.“Obeng? Tunggu sebentar.”Kuberikan benda itu kepadanya dan ia menerima obeng itu dengan ramah, hanya aku seorang diri yang tinggal di tempat itu, mereka tidak tahu kalau akulah buronan yang tengah dicari seantero negeri.“Baiklah, sudah selesai. Lain kali jika ingin menya
*** Penjelasan Ridho sangat singkat, terukir di wajahnya raut ketakutan ketika kutanya penyebab kematian Beto. Ia bercerita malam itu setelah dirinya ditangkap, beberapa petugas membawanya pergi dengan mobil berbeda. Tangannya gemetar, kulihat keringat mulai deras membasahi wajah dan tangannya. Aku menyadari sesuatu, apa yang ditakuti Ridho ternyata lebih besar dari yang kuduga. Mereka menyebutnya lingkar dewan, organisasi yang sama ketika Ani menceritakannya di ruang kamar Gisele selama di rumah sakit. Merekalah yang berada di dalang pembunuhan Beto, dengan alih menutup bukti, mereka justru membuka bukti baru pembunuhan Beto. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau mereka adalah lingkar dewan?” tanyaku. Ia masih terdiam, mungkin pertanyaanku terlalu membingungkan bagi Ridho yang tampak masih shock dengan kejadian tersebut. “Biar kuganti pertanyaanku, apa ada seseorang di sana yang kamu kenali?” tanyaku. Ridho mulai merespon, ia terus
*** Alhasil kami mengobrol di luar, di sebuah warung angkringan yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Kami mengobrol hangat, tawa canda menghiasi perbincangan ringan antara aku dengan Ridho. Perlahan topik pembicaraanku mulai mengarah ke kejadian penculikan tersebut, tapi aku tidak blak-blakan menanyakannya secara langsung. “Terkait pembicaraan kita yang terhenti siang tadi,” ucapku. Posisi duduk kuubah dan kini tengah menghadap ke pria tersebut, Ridho tampak terkesiap sembari menghabiskan gorengan yang ada di piringnya. “Pembicaraan? Apa itu tentang dia?” tanya Ridho. Aku mengangguk, Ridho tampaknya dalam keadaan tenang, dilihat dari wajahnya yang tidak gelisah dan cemas seperti siang tadi. Malam itu, wajahnya begitu tenang layaknya air di danau. “Namanya Stefano, mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui siapa dia sebenarnya,” jelas Ridho. Udara semakin dingin menit ke menit, kulirik jam di tanganku su