Share

Partner Life
Partner Life
Author: Cheezyweeze

PL 1. Catharina Berntsen

Hallo selamat datang di storyku yang ke empat dengan judul Partner Life. Semoga kalian menyukai ceritanya.

HAPPY READING

Catharina berjalan begitu cepat. Langkah kakinya menapaki trotoar kota Bremen. Gadis ceria yang baru berusia 20 tahun itu mempunyai senyuman yang menawan, bermata biru, berambut pirang, berkulit putih mulut serta memiliki tubuh yang sangat indah.

Cat, begitulah dia sering dipanggil. Dia bekerja sebagai pemandu karaoke. Namun demikian, dia merahasiakannya pada ibunya dan sang adik serta sahabat dekatnya sendiri.

Binar bahagia terus terpancar di wajahnya, tidak henti-hentinya dia menatap bungkusan yang dia bawa. Ya, hari itu adalah hari di mana Catharina menerima upah pertamanya sebagai pemandu karaoke. 

"Aku bisa membelikan Ibu nasi bungkus," senyumnya. 

Catharina berasal dari keluarga yang bisa dibilang serba kekurangan, bahkan dirinya sering kali dicemooh. Tapi Cat bukanlah gadis yang cengeng dan mudah menyerah begitu saja. Ayahnya sendiri adalah seorang pemabuk berat. Dia sering memukuli Ibunya dan bahkan sempat hampir akan memperkosa Catharina.

"Ibu … Ibu ..," panggilnya.

Sayup-sayup Cat mendengar suara orang terbatuk-batuk. Dia pun mencari asal suara tersebut. Ternyata sang ibu sedang duduk di belakang rumah. Wanita itu duduk di sebuah kursi kayu.

"Ibu …." Cat mendekatinya. Paula Berntsen itulah namanya, wanita itu menoleh dan tersenyum.

"Kau sudah pulang," senyumnya mengembang ketika melihat sang anak pulang.

"Aku membawakan ini untuk ibu." Catharina mengangkat tangan kanannya, dia menunjukan sesuatu pada Paula.

"Apa itu?" tanya Paula.

"Ini nasi bungkus, bu," jawabnya.

"Dari mana kau mendapatkan uang?" tanya Paula.

"Apakah ibu lupa kalau aku ini sudah bekerja," imbuh Catharina.

"Ah, ibu lupa. Ibu harap kau bisa memakluminya." Paula bangkit dari duduknya. Catharina segera membantunya dan membawa Paula masuk ke dalam rumah.

Catharina membuka bungkusan nasi dan memberikannya pada sang ibu. Namun, sesaat setelah itu Catharina menarik lagi bungkusan tersebut.

"Aku ingin menyuapi ibu, jadi biarkan aku melakukannya." Catharina meraih sendok dan menyuapi Paula dengan telaten. Tangan Paula terulur dan membelai lembut rambut Catharina.

"Ibu berharap, kelak kau mendapatkan seorang pendamping yang akan menjaga dan melindungimu," ucapnya tersenyum dan mencolek hidung mancung Catharina.

"Terima kasih atas doanya, Bu." Catharina menoleh kanan dan kiri mencari sesuatu. "Di mana Celine?" tanyanya.

"Celine belum pulang sekolah," jawab Paula. "Apa kau hanya membeli satu bungkus saja?" lanjut Paula bertanya.

Catharina menggelengkan kepala, "tidak. Aku membeli empat bungkus nasi."

"Empat?" Paula mengulang satu kata dan menatap bungkusan yang dikeluarkan Catharina dari kantung plastik. "Kenapa kau membeli empat bungkus?" 

"Empat bungkus. Untuk Ibu, Celine, aku, dan Ayah," balasnya.

"Kenapa kau membelikan dia nasi bungkus? Padahal dia selalu berbuat jahat padamu, Nak."

"Ibu, aku memang membencinya, tapi—" Catharina menggantungkan kalimatnya.

"Sudah … jangan diteruskan lagi," potong Paula. "Ayo kita makan," ajaknya.

"Ibu saja dulu yang makan. Aku menunggu Celine pulang," tutur Catharina.

Paula pun menuruti apa kata anak sulungnya. Dia tidak ingin membuat hati Catharina sakit. Paula sangat tahu, jika Catharina begitu sangat tersiksa. Di umurnya yang baru menginjak 20 tahun, dia sudah bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga. Catharina melakukannya karena sang ayah selalu lepas tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja Catharina-lah yang harus menggantikannya. Namun, gadis cantik itu tidak pernah mengeluh. Dia melakukannya dengan ikhlas dan sabar, karena pada saat itu mencari pekerjaan yang basically tidak punya pengalaman sangat susah. Apa yang Catharina dapat saat itu dia terima dan dia jalankan.

Paula melahap makanan yang ada di depannya sampai habis dan Catharina sangat senang melihatnya. Bagi Catharina, Ibunya adalah sumber kekuatan dan semangatnya.

"Setelah ini, ibu harus minum obat." Catharina sibuk membuka botol dan mengeluarkan sebutir pil. "Ibu harus minum secara rutin obat ini." Memberikannya pada Paula. Setelah menelan obat itu, Catharina memberikan segelas air putih.

"Terima kasih, Nak. Oh iya, tadi Aaric datang ke rumah. Dia mencarimu," ujar Paula.

Aaric Fischer adalah sahabat dekat di masa Catharina masih sekolah. Pemuda tampan itu begitu setia menemani Catharina, bahkan dia tidak sungkan mendengarkan curhatan Catharina tentang kehidupannya. Aaric memang bukan anak orang kaya, tapi dia adalah seorang pemuda baik hati dan suka menolong.

"Ada apa dia mencariku, Bu?" tanya Catharina.

"Ibu juga tidak tahu. Dia bilang akan berkunjung lagi nanti."

"Ibu, aku pulang!" teriak seseorang yang tidak lain adalah Celine, adik kandung Catharina.

Celine masih sekolah menengah atas, dia berusia 17 tahun. Celine tidak kalah cantik dari kakaknya. Celine menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping ibunya.

"Kau pasti lapar. Ini makanlah." Paula membukakan bungkusan nasi pada Celine.

"Wah, kelihatannya enak," ujar Celine. "Apa Kak Catharina sudah menerima upah kerjanya?" 

Catharina mengangguk dan tersenyum.

"Iya, hari ini kakak sudah menerima upah kerja. Walaupun tidak seberapa tapi cukup untuk biaya hidup," balasnya.

"Kak Catharina belum makan?" tanya Celine yang melihat masih ada dua bungkus nasi.

"Ini juga akan makan. Kakak memang sengaja menunggumu pulang."

"Lalu ibu?"

"Ibu sudah makan, bahkan sudah minum obat," kata Catharina.

"Lalu itu buat siapa?" tanya Celine.

"Itu buat ayah," jawab Catharina. Celine langsung diam.

"Kenapa kakak masih peduli sama orang itu!" kesal Celine.

"Bagaimana pun juga dia adalah ayah kita."

"Aku tidak suka, kak. Apa kakak tidak ingat perlakuan dia pada kita dan pada ibu?"

"Iya, kakak paham itu. Tapi untuk saat ini lebih baik kita makan dulu," ujar Catharina meredakan emosi dalam diri Celine. 

Hal itu tentu saja itu membuat Paula tampak semakin sedih, tapi Paula bersyukur mempunyai anak seperti Catharina dan Celine. 

Catharina pun memahami adiknya. Celine begitu benci ayahnya karena dari dia-lah Celine menjadi anak yang sangat pendendam. Tidak hanya itu, Catharina juga banyak berjasa dalam membantu mendidik Celine. Dengan demikian, Celine bisa pelan-pelan menerima keadaan hidupnya.

Catharina memegang tangan Celine. Gadis 17 tahun itu membalas menatap wajah sang kakak. Catharina menggelengkan kepalanya, dia memberi kode pada Celine untuk menjaga sikap. Dia tidak ingin terjadi apa-apa pada Ibunya. Celine kembali melanjutkan menyantap makanannya. 

"Aku minta sekali ini saja kakak peduli sama dia. Sekarang fokus kita hanya pada ibu!" seru Celine dengan tiba-tiba. Catharina pun mengangguk. "Setelah selesai sekolah, aku juga ingin langsung bekerja. Jadi Kak Cat tidak perlu mencari biaya untuk memasukkanku ke perguruan tinggi," ujar Celine memakan satu sendok terakhirnya.

Catharina tidak merespon sama sekali, pasalnya dia tahu bagaimana sifat Celine. Dibilang keras kepala mungkin iya menurut dari sang ayahnya. Dibilang penurut juga bisa.

"Apapun keputusanmu, kakak dan ibu pasti mendukung." Catharina tersenyum dan memegang tangan adiknya.

Tiba-tiba mereka dikejutkan sesuatu dan apakah itu?

TO BE CONTINUE

Maaf kalau agak gaje, tapi aku berharap kalian suka (^^,)

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Flora
idih, bapaknya jahat banget. tapi masih terus penasaran gara2 baca sinopsisnya. semangat, Kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status