Share

PL 2. Ladang Uang

Pintu berkali-kali digedor-gedor membuat pintu tersebut hampir saja ambruk. Buru-buru Catharina melangkah membukakan pintu. Tampak sosok pria terlihat mabuk berat. Pria tersebut terus marah-marah tidak jelas. 

Damian melangkah gontai dengan keseimbangan tubuh yang tidak normal seakan dia akan jatuh, bahkan hampir menabrak Catharina. Damian berdiri tepat di samping Catharina dan meliriknya.

"Kau sudah pulang? Apa kau membawa uang banyak?" tanyanya dengan ciri khas orang mabuk. Catharina hanya diam seribu bahasa. Melihat anak gadisnya tidak merespon, Damian menarik lengan Catharina dengan kasar. Gadis itu menjerit kesakitan.

"Ahh … sakit, Ayah!" teriak Catharina mengerang. Teriakan Catharina membuat Paula dan Celine menghampiri mereka berdua. Paula berusaha melepaskan cengkraman tangan Damian, sedangkan Celine tampak bingung dan ketakutan. 

Damian geram dan menghempaskan tubuh Catharina ke dinding. Tangisan Celine pecah seketika pada saat melihat tubuh sang kakak terhuyung menabrak tembok dan tergeletak di lantai.

"Ayah memang tidak punya hati nurani!" teriak Celine.

"Jika kepulanganmu hanya untuk menyakiti anak-anakku. Lebih baik kau pergi saja dari rumah ini. Pergilah yang jauh!" ujar Paula dengan hati yang tersayat-sayat.

"Aku belum akan pergi, jika aku belum mendapatkan uang!" balas Damian dengan membentak Paula.

"Kau tidak akan mendapatkan uang sepeser pun. Jadi pergilah dari sini atau—"

"Atau apa!" bentak Damian menyela Paula, istrinya.

"Atau saya akan memanggil polisi untuk datang ke sini dan melaporkan bahwa terjadi kekerasan di rumah ini dan hampir menelan korban!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang. Aaric Fischer menatap Damian dengan sengit. " Hal itu akan cukup untuk menjebloskan anda ke penjara!" lanjut Aaric.

"Mengancam ku?" Damian tersenyum mengejek. Terlihat dia sangat meremehkan Aaric. Damian justru malah balik menantang. "Apa kau berani mencari masalah denganku, hah!" bentak Damian.

"Sudah cukup!" teriak Catharina. "Ayah mau ini?" Catharina mengangkat beberapa uang digenggamannya. Damian membalikkan badan, menyipitkan matanya untuk melihat apa yang sedang dipegang oleh anak gadisnya.

"Hahaha … anak pintar. Ternyata kau lebih peka dari pada Ibumu." Damian melangkah mendekati Catharina. Namun, belum sempat mendekat. Catharina sudah melempar beberapa uang tersebut ke arah Damian.

"Ambil itu dan pergilah dari sini!" ucap Catharina dengan nada meninggi dan menekannya.

"Oke … baiklah, sayang. Aku akan pergi dari sini secepatnya." Lalu Damian menatap Paula. "Kau harus menjaga dan merawat dia untukku." Damian menunjuk Catharina kendati tatapannya menatap Paula. "Dia adalah ladang uangku." Damian tertawa kencang.

"Laknat! Pergi dari sini. Jangan ganggu dia lagi!" ucap Paula marah dan mendorong tubuh pria yang mabuk berat serta bau alkohol yang sangat menyengat. "Pergi dan jangan kembali lagi!" usir Paula. Wanita itu benar-benar tidak tega melihat anak sulungnya mendapatkan perlakuan kasar dari ayah kandungnya sendiri.

Setelah kepergian Damian, Aaric mendekati Catharina dan menolongnya berjalan menuju tempat duduk. Catharina sedikit menahan rasa nyeri pada bahunya, karena terbentuk dinding.

"Biar aku lihat." Aaric mengangkat lengan baju Cat. Dia melihat memar di area bahunya.

"Apakah parah?" tanya Cat.

"Hmm … tidak begitu, tapi tetap harus dikompres biar tidak membengkak," saran Aaric.

"Aku tidak punya es untuk mengompresnya," timpal Catharina.

"Aku ada es dirumah. Sebentar biar aku ambilkan." Lantas Aaric berlari pulang. Memang jarak rumah Catharina dengan rumah Aaric tidak terlalu jauh. Beberapa menit kemudian, Aaric datang membawa bongkahan es batu. Pemuda itu segera membantu mengompres bahunya.

"Aaric, terima kasih. Aku banyak merepotkanmu." Catharina menatap sahabatnya tersebut.

"Tidak masalah," balas Aaric menatap Paula dan beralih ke Celine. "Bibi Paula dan Celine, kalian tidak apa-apa, kan?" tanya Aaric. Paula dan Celine menggelengkan kepala. Namun, mereka terlihat sangat syok.

"Nak Aaric, Bibi mengucapkan banyak terima kasih. Kau cukup sering membantu Cat." 

"Bibi tidak perlu sungkan. Kita sebagai manusia memang harus saling tolong-menolong," kata Aaric yang masih telaten mengkompres lengan Catharina.

"Aku rasa sudah cukup. Aku bisa mengompresnya sendiri." Catharina merasa tidak enak hati.

"Baiklah. Kau harus sering mengompresnya. Aku pamit dulu, ya. Jika ada apa-apa, jangan sungkan bilang padaku." Aaric pun berpamitan pulang.

"Dia begitu baik pada Kak Cat," celetuk Celine. "Uang Kak Cat pasti sudah habis. Padahal aku ingin bilang ke Kakak kalau aku belum bayar uang sekolah." Celine menunduk. "Semua ini gara-gara Ayah." Celine menggebrak meja makan membuat Paula kaget.

"Celine, jangan membuat Ibu kaget, bisa-bisa Ibu terkena serangan jantung. Kakak janji, Kakak akan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan uang."

"Ta-tapi Kakak 'kan baru terima upah. Butuh sebulan lagi untuk mendapatkan upah itu lagi. Aku bisa-bisa kena marah lagi," rengek Celine. Catharina bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Celine.

"Jangan bersedih lagi. Setiap usaha pasti akan ada jalannya. Tuhan maha adil, pasti dia akan memberikan jalan terbaik untuk kita semua." Catharina memeluk Celine, adiknya. Melihat hal itu, Paula menitihkan air mata. Wanita itu benar-benar tidak tega melihat putri sulungnya harus menjadi tulang punggung keluarga.

Namun demikian, Catharina ikhlas melakukannya demi Ibu dan adiknya. Apapun akan dia lakukan.

~•••~

Sinar mentari pagi yang hangat menyelinap dan menebus masuk di antara cela-cela jendela. Menerpa serta meraba kulit putih dan halus milik Catharina. Tubuhnya menggeliat serta perlahan kelopak mata itu terbuka. Catharina menarik tubuhnya untuk bangun. 

"Sudah pagi ternyata, padahal baru beberapa jam yang lalu aku masih terjaga." Catharina menguap, dia masih merasakan ngantuk yang sangat berat. "Aku tidak boleh bermalas-malasan. Aku harus berangkat kerja dan mencari tambahan untuk biaya sekolah Celine." Catharina menurunkan kedua kakinya ke lantai, lalu dia melangkah keluar kamar.

Catharina melihat Ibunya sibuk di dapur. Wanita itu sibuk menyiapkan sarapan. Walaupun tubuh wanita itu sedang sakit, tapi dia tetap berusaha menyiapkan kebutuhan kedua putrinya.

"Kenapa Ibu tidak membangunkanku?" 

"Kau terlihat sangat lelah, Ibu tidak tega untuk membangunkanmu. Terlebih lagi akhir-akhir ini kau juga kurang tidur," tutur Paula.

"Ibu … Ibu ini sedang kurang sehat. Ibu tidak boleh terlalu capek." Catharina mencoba membantu Ibunya.

"Lebih baik kau pergi mandi sana. Hari sudah siang, apa kau ingin kena tegur lagi?" Paula menatap Catharina. Catharina menurut, dia memang gadis yang manis dan penurut.

"Ibu, aku pamit dulu. Mungkin hari ini aku akan pulang telat. Ini ada sedikit uang untuk pegangan Ibu." Catharina memberikan beberapa lembar uang pada Ibunya. 

"Tidak perlu, Nak. Kau simpan saja. Siapa tahu kau butuh sesuatu nanti." Paula menolak uang pemberian dari putri sulungnya. "Ibu masih ada punya pegangan, kok."

"Tapi, Bu—" 

"Simpan saja untuk tambahan membayar uang sekolah adikmu," ujar Paula tersenyum. Catharina menarik napas panjang. Kenapa dia bisa sampai lupa soal Celine.

"Ibu, baik-baik, ya. Aku berangkat dulu." Catharina mencium wanita tua tersebut.

"Hati-hati, Nak!" teriak Paula. "Tuhan, tolong jaga putriku, Catharina. Lindungi dia di manapun dia berada." 

TO BE CONTINUE

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status