Share

6. Pergi Mengikuti Roy

Setelah perjalanan tak tahu arah aku memanggil namanya. "Roy?" Saat tertentu ia tak menjawabku namun  tak membuatku kehabisan akal lalu  kutarik ekornya, dan tiba-tiba  ia pun menjadi berwajah ketus, kali ini apakah ia akan marah?

Tanganku bergetar tak karuan khawatir jika dewa setengah kuda ini menjadi tidak terkontrol karena merasa diusik olehku, meskipun ia adalah dewa namun sifat hewan nya pasti tersembunyi di dalamnya,

Ia tiba-tiba berhenti setelah berlari kencang mendadak kami berdua terdorong ke depan dan  kamipun berusaha berpengangan di punggungnya. Entah ada apa dengannya, terlihat ketus dan sering ngerem mendadak.

"Kakak ada apa? Kenapa tiba-tiba berhenti?" pertanyaan itu mewakili jalan pikiranku.

"Kita  sepertinya salah arah." Kata Roy. Aku berkedip-kedip memahami maknanya lalu menyahut percakapan mereka.

"Salah arah? Memang kita tadi ada di mana?" Kataku dan seketika tubuh anak kecil itu mendadak gemetaran seperti menggigil. "Se-sepertinya ki-kita me-masuk-i..." mendadak ia menjadi gagap. Entah, apa yang membuatnya begitu takut hingga menjadi gugup, dan yang pasti sepertinya bukan kabar baik.

Aku menyentuh kedua bahunya sambil melihat mata anak kecil itu hanya ini yang kulakukan saat seseorang menjadi takut dan cemas berlebihan. 

"Iblis. Wilayah iblis rendahan (siluman)." Katanya Roy kepalaku yang tadinya menunduk menjadi terangkat karenanya.

"Sungguh? Berarti hari ini kita akan  dalam bahaya. Roy apakah tidak ada jalan putar balik untuk kembali ke tempat yang tadi. Maksudku kita cari aman." Kataku dan iapun bernapas berat.

"Tidak bisa, kita akan ketahuan iblis lainnya kalau putar balik? Di sini banyak mata-mata."

"Memangnya kita juga tidak akan ketahuan di sini?" tanyaku.

"Entahlah. Tuk saat ini jalan kita adalah NEKAT!" Roy mengambil persiapan.

"Pegang kuat -kuat punggungku, kita akan berlari sejauh mungkin sampai jejak ku tak terlihat."

"Apah?" Tangan anak kecil itu menarikku untuk mengikuti perintah Roy dan akhirnya Roy berlari terjun ke dalam jurang yang sangat dalam dan aku tak bisa melihat ke jurang karena situasi sangat gelap gulita. Jurang itu seperti lubang lebar yang tak tahu luasnya berapa. Tiba-tiba lagi aku menggigil dan mendengar suara serangga dan binatang di atas daratan yang tadi kami injak kemungkinan mereka melihat kita dan sedang berdiri dipinggiran. Mereka diantaranya berdesis dan mencapit. 

"Aku takut Roy."

"Tutup matamu, dan telingamu. Suara mereka bisa membuatmu pingsan."

"Siapa mereka Roy?"

"Mereka iblis penjaga perbatasan tetapi tenang mereka tidak bisa ikut terjun bersama kita karena mereka takut air." Aku telah menutup telingaku jadi kalimat Roy setelahnya tak bisa ku dengar sehingga informasi penting kulewati. "Kita akan pergi ke bumi kak!" Sahut anak kecil yang telah lebih rileks daripada sebelumnya. Ia terlihat sangat senang. Namun sebaliknya, aku tidak lagi berpikir momen ini menyenangkan malahan sekujur tubuhku seperti digerogoti oleh udara dingin dari  lubang ini  ditambah pula dengan daya tarik gravitasi bumi menyebabkan detak jantungku seperti bermain rollcoaster. Aku pun segera memejamkan mata.

"Tidak aku tidak kuat untuk tak berteriaaaaak. Rooooooooyyy!!!!!!"

"Yeeeey, setidaaaknya kita tidak masuk lebih jauh ke wilayah iblis kak kita akan ke bumiii! Horeeeee!"

"Sebentar, bumi?  Jadi selama ini kita tidak ada di bumi ?" Aku berpikir sejenak tak mengenal arahnya dan khawatir tersesat lagi. Si Roy yang lebih pahampun tak memberitahu arah yang jelas. Pandanganku kembali ke si anak kecil tersebut.

"Nanti kita akan ke bumi yang sebenarnya? Kita akan pergi ke bumi selatan kak, lokasi sangat dekat dengan wilayah iblis." 

Roy pun menanggapi, "jangan banyak bicara perhatikan keamanan kaliaan!"

"Aaaaaaaaaaaaa" aku berteriak karena gravitasinya sedang menarik kedua pipiku.

Anak kecil di depanku tersenyum lalu menoleh kepadaku, "Yuhuuuu."

"Hei, anak kecil kau pikir ini perjalanan yang menyenangkan?" Roy mendesaknya untuk segera diam dan duduk tenang.

"Dew..." aku menepuk punggungnya untuk menghentikan panggilan itu khawatir jika ia keceplosan dan rahasiaku tiba-tiba terbongkar.

"Nona sebaiknya aku harus berubah menjadi manusia supaya tidak telihat mencurigakan."

"Aku juga akan berubah," anak kecil itu menyahut.

"Kalian berdua mau berubah apalagi?"

Tak lama kemudian kakiku merasakan cairan dingin. Kami bertiga masuk ke dalam air, dan cahaya terik telah terlihat diatasanku di dalam air mereka berdua tak  lihai berenang namun aku mulai tak ikut kehabisan cara. Aku menarik dan mendekap mereka diketiakku lalu mendorongnya ke atas sehingga mereka bisa bernapas.  Setelah itu mereka terbatuk menghirup oksigen sepuas-puasnya. "Kenapa tak bilang kalau lubang itu mengarah ke air." Kataku dan mereka tak menanggapiku serta tetap fokus pada batuknya. Aku menantap mereka datar sebagai balasan tak suka diabaikan setelah itu baru anak kecil itu yang membalasku.

"Tn. Uhuk Roy sudah bilang saat kau tutup telinga." 

Aku mengorek telingaku, "benarkah? berarti aku yang tak mendengarnya," 

"Kita ada di mana?" Aku mengalihkan pembicaraan tadi dan melihat mereka yang sibuk memeras baju dan rambut.

"Ini tepian sungai?" Aku menyambung lagi. Bodohnya aku menanyakan hal yang jauh dari topik yang bagus dan menjawab sendiri.

"Roy haruskah kita berpindah?" Aku menunjuk ke depan, perasaanku hari ini seperti korban yang tertekan karena tidak diajak bicara, dan meminta izin pergi.

Aku melangkah ke depan sementara mereka tak menjawabku. "Tunggu!" Roy memerintah sehingga kepalaku menengoknya. "Jalanan ini tidak aman jangan melangkah duluan, kita pergi bersama saja."

"Tetapi kalian masih sibuk, "

"Sudah beres, ikuti aku." Kata Roy sedang berjalan lebih dulu. Tak mau ketinggalan aku langsung menggandeng anak kecil tadi. Kami melewati sungai kecil dan masuk ke dalam perkebunan liar sembari mencari penginapan berbagai macam tanaman berduri yang kami dapatkan saat mencari jalan pintas. Alhasil baju kami kadang ikut tersangkut.

"Matahari sudah mulai..." belum sesaat ucapanku terpotong saat bocah kecil di sampingku berlari lebih dulu lalu melompat kegirangan.

"Kita dapat penginapan yey. Akhirnya tuan Roy lihat itu!" Ia segera mengajak Roy untuk memeriksa kehadiran si pemilik rumah kayu tersebut.

Aku mengikutinya, ku layangkan pandanganku pada sekitar  pagar kayu serta beberapa ternak ayam sederhana tertata rapi  di samping tumpukan kayu bakar.

"Permisi apakah ada orang di sini?"

"Ya tentu," dan pemilik rumah segera keluar dari pintu tersebut. Ia seorang wanita paruh baya yang masih cantik.

"Nyonya kami sedang tersesat dan hari sudah malam bolehkah kami menyewa kamar untuk sehari saja?" Kata si bocah kecil tersebut dengan enteng membicarakan "sewa kamar" padahal salah satu di antara kami tak punya uang untuk bayar sewa. Wanita itu melihatku dan kembali melihat Roy dan si bocah kecil.

Dia seperti takut-takut memberitahu namun sesaat kemudian alis Roy menyatu. Aku menyenggolnya sembari menanyakan sesuatu yang membuatnya begitu waspada melalui gerakan kepalaku, namun sepertinya ia tak sama sekali memahami kode dariku buktinya ia melewatiku.

"Tentu saja, kalian tak perlu menyewa di sini. Kalian hanya boleh tinggal selama tiga atau seminggu sebagai syaratnya karena... karena..."

Kami menunggu lanjutannya, "Aiyoo... bisakah kalian masuk bersamaku saja di sini tak aman!"

"Bukankah itu yang kami tunggu nek. Ini kan rumahmu."

"Ahahaha, iya iya aku melupakannya." Dia tertawa sambil menyuruh kami masuk ke dalam setelah itu ia menutup pintu rapat-rapat dan mematikan lilin. Saat ia mematikan lilin wajah kita tak terlihat sama sekali.

"Nek, apakah kita  bisa bicara tanpa mematikan cahaya lilinnya?" Sekarang aku ikut-ikutan bocah kecil itu memanggilnya nenek.

"Aiyoo aku tak setua itu, panggil saja aku bibi  karena usiaku tiga puluh tahun."

"What?"

Roy dan Bocah kecil itu terkejut lalu melihatku  melalui sumber suaraku. Aku keceplosan berbahasa Inggris dan pastinya mereka tak tahu.

Perempuan itu menyalakan lilinnya lagi kali ini lebih redup hanya satu lilin untuk menyinari satu ruangan saja, setelah menutup semua lubang besar di rumah tersebut sampai tak ada cahaya yang  mencuat ke luar. 

Kami serempak bertanya "Ada apa?"

"Kami takut kalau siluman itu kembali ke mari karena mendengar semuanya. Aku mohon pada kalian untuk bebaskan kami dan penduduk di sini dari siluman. Pendekar Dewa!" Perempuan itu melihat ke Roy mengetahui kalau Roy dapat memusnahkan siluman. Akupun tak paham mengapa wanita itu mengenali Roy yang seorang dewa.

"Kau mengenaliku dengan cepat sepertinya kau seringkali bertemu dengan para dewa sepertiku? "

"Ah, itu suamiku adalah dewa namun memilih menyamar menjadi manusia dan menikahiku. Jadi aku lebih paham penyamaran mereka. Namun ia telah pergi jauh dan menghilang,  sekarang ini ia meninggalkanku bersama anak perempuanku dan ia setengah dewa,  semua orang mengetahuinya."

"Apa kalian tak kena hukuman karena menikah berbeda alam?"

Tiba-tiba suasana menjadi suram ketika dua orang yang ada di kanan kiriku memandangku dengan perasaan menohok.

"Sepertinya Nona  bukan dari dunia ini!" Ia pun tersenyum lalu menjelaskan. "Pernikahan berbeda alam tak lagi menjadi halangan bagi manusia seperti kami. Semua itu tak lagi melanggar hukum hanya saja sebagian orang tidak mengindahkan pernikahan  atau pasangan berbeda. Tak ada lagi hukuman bagi para pelanggar karena kita semua sama-sama berbagi jalan kehidupan."

Aku mengerti maksudnya sekarang anak kecil itu memandangku, "kakak bukan dari dunia ini? Pantas saja kau lebih cantik dari kita semua. Kau pasti..." ia lagi-lagi menerka sendirian sedangkan si Roy mengambil teh yang telah disajikan oleh perempuan tadi lalu meneguknya.

"Kau selir pangeran kan?" 

Buuur! Roy menyemburkan air yang belum sempat masuk ke tenggorokannya. Akupun melongo melihat kelakuannya,  dan si perempuan baya tadi tertawa kecil.

"Benar hanya selir raja atau pangeran yang dibilang dunia lain karena mereka tak boleh keluar atau terlihat oleh kami bahkan mereka tak tahu aturan di dunia ini semuanya telah berubah. Mereka tersembunyi dan keramat." Sambung si anak kecil tadi.

Roy terbatuk-batuk sementara si perempuan baya tadi tertawa kencang namun tak bersuara keras. Ekspresi mereka mengiyakan perkataan si bocah ini, alhasil aku sedikit percaya bagaimanapun dunia ini memang aneh.

"Kakak apakah kau benar selir pangeran?" Bocah kecil itu mendekat ke arahku dengan sigap Roy mendorong bahunya untuk mundur.

"Pendekar aku ingin kau membantuku."  Pinta wanita baya.

Wanita itu memohon pada Roy. Akupun merasa kasihan dengan hidup penduduk di sini yang serba waspada dan ketakutan dan wanita ini juga ditinggalkan oleh suaminya bertahun tahun sampai sekarang pun mereka tak punya pelindung dan tak ada kekuatan yang sebanding melawan siluman itu. 

"Aku setuju!" Ucapku lalu menepuk dada Roy. "Kalau aku setuju dia pasti setuju benarkan Roy?" 

Awalnya ia terlihat ragu namun dengan anggukan kecilnya itu akhirnya dia menuruti kataku. Ya, bagaimanapun ia tetap pengawalku hari ini kalau menolak artinya ia melanggar perintah pangeran.

(Bersambung)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status