Share

5. Misteri Hati

Aku terlalu lama menatap api unggun apalagi tidak ada pembicaraan lanjutan. Roy bahkan lebih sibuk menggosok kayu daripada mengajakku mengobrol lebih lanjut, jari-jarinya bahkan sangat cepat demi menciptakan api. Lambat laun udara di malam ini lebih dingin daripada sebelumnya mungkin efek dari cahaya api yang meredup, itu sebabnya panas semakin menghilang di dekatku. Aku masih memperhatikan tangannya yang berusaha keras menciptakan api. Jika saja pemantik api selalu dikantongku, saat ini juga aku merupakan orang yang paling beruntung karena selalu membawanya, bagaimanapun situasi segenting ini pemantik sangat dibutuhkan setelah ponsel daripada mengharapkan keajaiban dari tangan nya. Ku harap aku tidak mati kedinginan.

Hosh!!! Aku tak kuat dengan kedinginan dan kutepuk-tepuk wajahku berkali-kali sambil menggulung diri sendiri alhasil buntalan acak dari baju Roy telah membentukku seperti kepompong. Roy mendengar suara keributan dari bajuku. Ia menengok dan melihatku, segera ku balas dengan cengiran. 

"Kau kedinginan? Apakah bajuku tidak cukup?"

"Tidak maksudku aku tidak kedinginan." Ia tersenyum sederhana memandangku sambil bersalah entah kenapa menurutku senyum manis itu telah membuat dadaku terasa hangat. 

Lagi-lagi aku baru menyadarinya bahwa  Roy agak bodoh!  Maksudku. Ia bersikeras mencipta api padahal bara api masih menyala, bukannya meniupnya seperti kebanyakan orang kuno dulu justru membiarkannya redup sampai padam dan sibuk mencipta api yang baru, lagipula api juga tak akan cepat padam karena angin disekitar sini normal.

Mungkinkah ini yang disebut berproses?

Atau kebanyakan orang di zaman ini  punya prinsip " jika ada yang mudah,  kenapa mencari yang susah?"

Akupun masih bertanya-tanya mungkinkah pangeran juga bodoh? Namun jika bodoh situasi dibalairung itu bukan kebetulan? Bayangkan seorang pangeran mengadakan pertemuan lalu tiba-tiba rencana melindungiku malah kecolongan berakhir terusir. Bukan, dia tidak bodoh tetapi banyak strategi. Apalagi setelah ini? Apa Roy juga sama-sama berkomplot, dan  tiba-tiba aku memandangnya.

"Dewi aku akan segera menemukannya."  Ia berkata.

"Iya? Menemukan apa?" Ia lagi -lagi menengok  ke arahku.

"Api." Dan menyahutku sambil menunjuk asap di dekat serpihan kayu tersebut, kemudian ia meniupinya sampai cahaya itu benar-benar muncul. Jujur, Roy ini termasuk pria bertanggung jawab dan pekerja keras, tetapi juga pemalu. Jika saja dia lebih percaya diri pada penampilannya aku yakin  di zamanku kelak,  ia  banyak diperebutkan oleh wanita. Aku terlalu lama melamun dan berimajinasi sesukaku pada akhirnya otot tubuh mulai rileks dan mataku ikut terpejam. Sekarang aku tidak menuntut tempat tidur yang nyaman, semua telah  digantikan oleh batang pohon. Aku bersender di depannya.

Setelah lama memandangi dan cahaya semakin sedikit, Roy akhirnya berencana duduk di sampingku. Ia seperti banyak pikiran namun sulit untuk mengungkapkan, kurasa semua orang di zaman dulu memang selalu banyak rahasia. Entah, apa yang ia pikirkan sehingga suka memandang ke atas, sepertinya memandangi cahaya bulan,  tiba-tiba aku lebih nyaman menggunakan bahunya sebagai bantal. Ia sepertinya sukarela memberikan bahu kanannya untukku. Aku jadi merindukan rumah dan bersikap manja di bahu ayahku.

Sial, aku berperilaku selayaknya manusia. Statusku sebagai AI patut dicoreng.  "Kau memang manusia Miranda tidak ada yang mengubahmu menjadi robot sungguhan terkecuali  mengklaim diri sendiri sebagai robot!" Entah, aku selalu ingat kata-kata Erika, Lucas dan Joy sahabatku." Aku berkata sendiri dalam pikiranku. Roy melihat pucuk kepalaku dan menyentuh helaian rambut yang jatuh di wajahku.

"Apakah Roy menyukaiku?"  Aku langsung pura-pura menyender lagi ke batang pohon sambil terpejam.

Tak lama, kemudian pagi buta menyambut kita,  Roy terbangun lebih awal dan melihatku yang masih tertidur. Suara kicau mulai terdengar dari beberapa pohon yang tengah mengelilingi kita. Monyet, tupai dan tikus bahkan anak-anak burung merusak telingaku. Ia bersiul-siul di dahan pohon yang sangat menggangguku dan mataku mendadak melek, ini pagi keduaku terdampar di hutan. Roy sudah dari tadi pergi. 

Krruuk!Aku memeluk perutku dan kali ini bukan suara  lapar, Roy pun tidak ada. Alih-alih aku mendengar suara aneh yang bukan dari perutku. Aku buru-buru memeriksa di balik batang pohon besar itu. Aku mengintip di sana, seorang anak perempuan merintih sakit. "Hai." Ia terkejut melihatku dan buru-buru berlari akupun mengejarnya.

"Hai. Jangan takut. Aku bukan pencuri atau penjahat. Jangan lari kau nanti terjaaaaatuh."

Anak kecil itu menginjak sesuatu.

"Aaaaakh!" 

"Tamatlah riwayatnya!" Sontak aku menutup mulutku dan berhenti di pinggir lubang. Anak kecil itupun kemudian mulai menangis. Suara tangisannya semakin keras.

"Anak kecil apa kamu baik-baik saja?" Aku berjongkok untuk memeriksanya. Ia menatapku kemudian lanjut menangis lagi. Aduh, disaat seperti ini otakku bingung mencari bantuan dan tanpa pikir panjang aku menawarkan bantuan. "Berhenti menangis aku akan cari tali. Kamu akan segera keluar!"Kataku.

"Jangan kemari, kamu harus pergi dan berlari sejauh-jauhnya. Di sini tidak aman."Katanya kepadaku yang terisak.

"Pergi! Pergi!"

"Tetapi bagaimana bisa? Aku..." Bagaimanapun ini tidak baik meninggalkannya sendirian dan ia pasti sangat ketakutan, serta entah mengapa anak itu menyuruhku pergi. Namun aku bukan orang yang cuek, seorang anak sedang terjebak di sana. Bayangkan jika itu terjadi denganku. Itu pasti menjadi momen menakutkan. Apalagi di hutan, ia bisa jadi santapan binatang liar atau sanderaan para pemburu. Di dalam sana pasti lebih banyak serangga beracun.

"Adik tenanglah, aku akan cari bantuan!"

"Tidak tidak kau harus PEEEEEEERGIIIIIIIIIII" 

Suara teriakannya  keras sekali sehingga mengejutkan burung-burung lainnya. Tak lama kemudian suara kuda datang dari arah selatan. "Pergi-pergii-pergiii!"

"Tidak. Ini bantuan kita!" Aku tiba-tiba senang karena mendengar hentakan kaki kuda. Itu pasti Roy tetapi mengapa suara kaki kuda berkali lipat lebih banyak dan seharusnya tidak sebanyak ini. Benar saja ada marabahaya yang sedang mengincarku. Beberapa kuda liar bermata api berdiri di hadapanku.

"Pergi!"

"Oo. Tidak," aku berlari terpingkal sambil menjauhi kehadiran mereka sedangkan mereka mengejarku. Aku hanya berharap semoga Roy segera menyelamatkanku atau aku akan mati dimakan mereka.

"Ro-y. Ka-u di -mana-aah," 

Aku tidak tahu apakah ini berhasil menghindari mereka sementara kecepatan kakiku tidaklah seperti seekor cheetah atau jaguar. 

"Tolong! Akuuuuuuu!"Tiba-tiba lengan besar memelukku dan menyerang kawanan tersebut dengan ksatrianya.

Aku mendongak ke atas, itu adalah...

PANGERAN? APA AKU TIDAK SALAH LIHAT? 

Aku mengucek mataku dan itu bukan pangeran melainkan Roy. Syukurlah, aku halusinasi. 

"Dewi bertahanlah dipunggungku sejenak,"

"Roy! Roy!"

Tanpa aba-aba ia menerobos dan menggulingkan sekawanan kuda liar itu. Terkadang ia juga terkena pukulan di dadanya. Aku bahkan terdorong ke sana-kemari.

"Bertahanlah dewi!" Roy memerintah dengan wajah serius dan ia pun menebas para leher kuda liar di sana hingga darah memuncrat tanpa arah. Setelah bermenit-menit berkelahi akhirnya Roy menang.

Ia menurunkanku."Dewi maaf hamba gagal melindungimu."

"Tidak apa-apa Roy bagaimana dengan anak itu?" Tanpa basa-basi aku bertanya tentang nasib anak itu. Aku buru-buru lari namun lengan Roy menarik pergelangan tanganku.

"Dia baik-baik saja."

"Apanya yang baik-baik saja? Bagaimana jika dimangsa oleh kawanan mereka. Bagaimana jika dia dimakan dan orang tuanya sedang mencarinya? Bagaimana? Bagaimana."

Roy menghela napas berat dan mengangkat daguku dan melihatku dengan intens, "Anak itu baik-baik saja di dalam lubang, seharusnya dewi lebih memikirkan kondisi pakaianmu yang terkoyak oleh kuda liar itu." Aku terdiam sambil melihat kondisi yang berantakan ini. 

"Maaf aku...aku... aku..." rona merah terlintas di pipi Roy dan aku jadi ketularan. " Roy pinjamkan bajumu padaku."

Ia terbatuk lalu melepaskan luaran hanfunya setelah itu membelakangiku.

"Aku ingin lihat anak itu Roy. Apakah dia baik-baik saja."

"Ya, dia baik-baik saja?"

"Kau menyelamatlannya Roy? Bagaimana bisa?" Tanyaku memutar bahunya menghadap kearahku. Ia melipat tangan dan jari telunjuknya mengarah ke atas. Aku mengikuti arahnya dan melihat. "Langit?"  Ia pun menggeleng dan menunjuk lagi.

"Oh. Sudahlah jangan bercanda, Roy. Hahahaha!"

"Burung!" Jawabnya singkat dan membuatku kikuk.

"Ekhm Roy tadi kamu bicara panjang seperti orang lain. Aku pikir kau pangeran tadinya." Ia pun tersenyum dan melangkah maju lalu diikuti olehku.

Ia membawaku ke lubang tadi. "Anak kecil!" Aku tersenyum lebar. "Kau baik-baik saja di dalam?"

Matanya berbinar-binar dengan air mata, "kau baik-baik saja?"

"Huaaa kakakak!!!!" Lalu ia menangis keras.

"Roy bisakah kau mengeluarkannya dari sana? Dia pasti ketakutan!"

"Baik!"

Roy pun melompat ke dalam lubang sementara aku menunggunya diluar. Ia menggendongnya dan melompat ke atas, kau tahu? Bagi ukuran seekor kentauros lubang sebesar ini tak mempan mengurung dirinya, Roy jauh lebih tinggi.

"Huhuhuhu," anak kecil itu masih menangis dan Roy memberikannya padaku. "Uh, uh berat berat." Aku menaikkan alis kiriku karena berat anak kecil ini bukan seukuran anak kecil normal. 

Roy lagi-lagi tersenyum meledek dan mengambilnya dariku. Ia menurunkannya. "Kau sudah aman tidak usah menangis lagi."Katanya. SHIT. Apa yang ia pelajari selama ini di dalam istana? Bagaimana bisa menenangkan seorang anak kecil dengan cara to the point semacam itu? Apakah telinganya bermasalah di istana? Ini yang terjadi jika bergaul dengan orang sarkas dan terang-terangan.

"Katakan dimana rumahmu?" Desaknya ke anak kecil itu.                

"Huaaaaaa!!!" Anak kecil itu merasa terancam dengan desakkan Roy dan akhirnya menangis lagi. "Huaa huaaaa"

"Jangan nangis jangan menangis perempuan tidak boleh cengeng terus- menerus." Ia menggendong dan mengelap pipi anak kecil itu. Aku mendongak lagi untuk mengamatinya, walaupun ia tidak bisa menggunakan kata-kata halus tetapi tindakannya bisa menutupi kekurangannya. Aku memegangi leherku," Roy bisakah kau berubah menjadi manusia saja? Kau terlalu ketinggian untukku!" Tuturku. Ini  Benar, daritadi aku selalu mendongak ke atas menatap lawan bicaraku.

Anak kecil itu berhenti menangis dan menunjukku, "apakah kakak datang menemuiku tadi? Aku kira aku akan mati huaaaaaa!" Ia menangis sesenggukan sambil mengelap pipinya. "Aku kira kakak akan dimakan mereka!" Roy menurunkannya dan berubah menjadi lelaki manusia.

"Iya benar. Kakak datang menemuimu untuk memastikanmu aman! Kau tidak akan kesepian di dalam sana. Bukankah menakutkan di dalam sana?" Anak kecil itu mengangguk sambil mengelap hidungnya ia mulai menyambung lagi.

"Kakak. Kakak terimakasih, aku belum pernah bertemu kakak sebaik  ini. Tidak meninggalkanku begitu saja. Aku senang bertemu kakak."

"Sudah jangan menangis lagi ya! Di mana orang tuamu?" Dan ia kembali merengek.

"Mereka mati dimangsa kuda liar itu." Aku melihat ke arah Roy dengan tatapan tidak tega. Roy akhirnya ikut nyambung, "dia iblis kelinci, buruan predator iblis lainnya."

"Benarkah?" Aku tidak percaya dan anak itu mengangguk. "Jadi kau melarikan diri dari sana? Kau berani juga!"

"Ibu memintaku pergi jauh agar aku bisa hidup dan terus bersembunyi hingga kebenaran terungkap, aku ingin bertemu dewi agar para iblis itu dikurung dan disiksa. Aku ingin dewi mengungkapkan semua kejahatan mereka di balai agung dewa. Supaya iblis kecil tidak jadi bahan tindasan dan santapan mereka."

"Oh, begitu." Lagi-lagi aku spechless mendengar kata kebenaran. "Dewi kebenaran pasti ada kan kak? Itu tidak bohong kan?"

"Iya. Itu...itu pangeran bekerjasama dengannya.Hahahaha," aku berkeringat bingung menjelaskannya.

"Aku juga tidak percaya dewi itu meminum darah manusia atau iblis kecil. Dia kan tidak punya taring dan sayap. Tetapi aku juga tidak percaya  burung bisa minum darah."

"Eh? Anak ini melantur apa?" Aku menjadi berdiri karena bingung.

"Kau tau berita itu darimana?"tanya Roy mengintimidasi dan anak itupun bersembunyi di belakangku. "Kawanan iblis kuda liar." Jawabnya sembari takut-takut.

"Jangan ceritakan yang buruk tentang dewi, karena ia tidak seperti it..."

Ssst! aku menghentikan mulut Roy dan berpura-pura tidak mendengarnya. Lalu aku menimpali jawaban anak itu. "Benar, burung itu bisa menghisap darah manusia tetapi darah yang jahat, yang baik ia tinggalkan."

Roy mengernyit, "omong kosong macam apa itu."

"Wah, burung itu bijak sekali bisa mengenali orang-orang jahat. Aku berharap bisa bertemu dengan dewi sungguhan dan aku akan meminta permohonan agar burung itu menghisap darah para iblis jahat."

Aku mengetuk pelan hidungnya. "Tentu,"

"Tetapi kakak bagaimana kau bisa tahu tentang dewi?"tiba-tiba ia bertanya.

"Hmmh!"aku bingung menjawabnya lalu tiba-tiba Roy menimpali dengan perkataan lain, "kita cari tempat berteduh dan makan. Kau!    anak kecil mau ikut atau tidak itu terserah dirimu."

"A-aku ikut! Tetapi kakiku berdarah!" 

"Oh, iya aku tak menyadarinya. Roy apakah kau bersedia?"aku menyanyakannya. Ia menghela napas berat. "Kalau tidak mau yasudah. Aku bersedia gendong dia?" Aku berencana jongkok namun tangannya menarikku. "Kalian berdua naik ke punggungku."

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status