Share

4. Kalau begitu, Minggu depan kita menikah!

[Dhea! Maaf ya, barusan teman Mas Afkar telepon, katanya mobilnya pecah ban. Dia meminta menunda pertemuan.]

Hah? Apa? Jadi temannya Afkar tidak jadi datang? Jadi siapa yang duduk di hadapannya ini? Apakah orang nyasar? 

Mata Dhea menatap ke arah Bram dengan bingung dan curiga, dia menelisik penampilan Bram sekali lagi, lelaki yang tengah diamatinya tengah asik memotong dan memakan daging. Haruskah dia memberitahu lelaki itu jika dia seharusnya janji ketemu dengan lelaki lain? Bukan dirinya?

Sesaat kemudian pandangan Bram mengarah ke depan, di mana posisi Dhea berada, dengan geragapan gadis itu mengalihkan pandangannya agar tidak kepergok tengah mengamati lelaki itu.

"Bagaimana, Dhea? Apakah kau akan mengenalkan dirimu secara terperinci?" tanya lelaki itu masih dengan suara lembut.

Mendengar suara lelaki itu yang cukup menggoda, membuat Dhea bimbang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkinkah sebenarnya lelaki ini seharusnya juga tengah melakukan temu janji dengan perempuan lain? 

Tak ayal Dhea menatap ke seluruh penjuru kafe, di sana memang ada beberapa wanita yang tengah duduk sendirian, apakah di antara wanita itu seharusnya kini tengah bertemu dengan lelaki ini? Bagaimana ini?

"Ehem, Dhea? Apa kau keberatan membuka sedikit identitasmu padaku?"

Bram mengambil serbet di hadapannya dan mengelap mulutnya dengan gaya elegan, cukup membuat Dhea terpana.

Tatapan mata lelaki itu begitu lembut, gerakan tangannya yang kembali mengambil garpu dan pisau begitu anggun. Dia pria yang mapan, pastinya. Wajahnya juga cukup tampan walaupun usianya hampir menyentuh kepala empat, tetapi itu justru tengah berada di puncak pesona sebagai seorang pria. 

Dhea benar-benar bimbang. Apakah dia teruskan saja hubungan dengan lelaki ini? Siapa tahu memang ini rahasia jodoh dari Allah. Biarpun lelaki ini jauh lebih tua darinya, semoga dia memang jodohnya. 

'Bismilllah,' ujar Dhea dalam hati, memantapkan langkahnya ini.

"Aku … hng,  tidak ada yang istimewa denganku." Akhirnya Dhea menjawab pertanyaan Bram yang masih dengan sabar menunggunya sambil menyesap minumannya.

Dhea menarik napas dengan berat, dia merasa langkah yang akan ditempuhnya akan berat, tetapi entah kenapa sisi hatinya yang lain justru begitu semangat menariknya ke arah pria ini.

'Bagi wanita yang akan ketemu Bram malam ini, siapapun dia, aku hanya bisa mengucapkan maaf dalam hati,' batin gadis itu. Sekali lagi dia menghirup napas dan melanjutkan perkataannya. 

"Namaku Dhea Annisa Putri, putri sulung dari tiga bersaudara. Namun delapan tahun yang lalu, ayah, dua adikku dan aku mengalami kecelakaan di jalan tol. Hanya aku yang selamat, kedua adikku dan ayahku tewas di tempat kejadian,” ujar Dhea. 

“Sejak peristiwa tersebut, ibuku menjadi depresi. Dia menghuni rumah sakit jiwa untuk menghilangkan trauma beratnya. Sampai kini belum sembuh, malah ibuku kini divonis menderita kanker lambung."

Dhea menjeda sejenak, untuk membicarakan tragedi dalam hidupnya kepada orang asing, rasanya cukup mendebarkan, walaupun di sisi hatinya cukup lega, bicara mengenai kesedihan dalam hidupnya dengan orang yang baru bertemu dengannya beberapa menit yang lalu rasanya ternyata jauh lebih baik daripada dengan orang yang dia kenal selama ini. Seperti yang sering dia lakukan, menceritakan kesedihannya pada kucing kesayangannya, si Mio. 

"Aku sudah bekerja sejak aku kelas sepuluh, meski cuma sebagai cleaning service di perpustakaan wilayah. Aku kuliah D3 agar cepat lulus dan cepat kerja, meski dapat beasiswa. Baru-baru ini aku mulai kerja di sebuah perusahaan konstruksi."

Dhea bercerita begitu saja sambil mengunyah makanan tanpa menyadari reaksi Bram yang mendengarkannya. Lelaki itu bahkan sudah meletakkan garpu dan pisaunya, kedua  tangannya menaut begitu fokus mendengarkan cerita Dhea. 

Ketika akhirnya Dhea menatap lelaki itu, tatapan mata mereka terpaut. Ada yang berbeda pada pandangan lelaki itu kepada Dhea, Dhea menyadari itu sehingga dia menjadi gugup dan salah tingkah.  

"Kisah hidupmu yang seperti ini kau bilang tidak istimewa?" tanya Bram dengan suara lirih.

"Maksudnya? Memang begitulah keadaanku," cicit Dhea. Gadis itu buru-buru meneguk minuman rasa mangga yang begitu enak dan segar untuk mengurangi rasa minder yang membuatnya menjadi gugup.

"Apakah ibumu banyak butuh biaya untuk pengobatan?" 

"Tentu saja. Dia menderita kanker, bukan penyakit yang main-main."

"Kalau begitu, Minggu depan segera kau siapkan surat menyuratnya. Kita akan menikah, aku akan menanggung biaya pengobatan ibumu," perintah Bram dengan percaya diri.

Dhea tampak terkejut. Dia tidak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti itu dari pria asing di depannya ini. Bram bahkan mengatakan akan membayar biaya pengobatan ibunya.

Secara cuma-cuma? Mana mungkin Dhea bisa langsung percaya!

"Dengan cara apa aku membalasnya?" Dhea bertanya kemudian. Ia tampak ragu.

Bram mengernyit. "Apa maksudmu membalas jasaku? Aku akan menjadi suamimu. Semua kesulitan hidupmu akan menjadi tanggung jawabku. Seluruh hidupmu akan menjadi tanggung jawabku, jadi aku akan menafkahimu dan membiayai pengobatan ibumu."

Dhea menggeleng. “Apa yang kamu inginkan dari aku? Tidak mungkin seseorang mau mengeluarkan banyak uang untuk orang yang baru ia temui satu kali seperti aku.”

Bram tersenyum kecil. "Kamu cukup menjadi istri yang baik, yang selalu menurut apa kataku. Setia padaku dan melaksanakan kewajibanmu, terutama kewajibanmu melayani suamimu, yaitu aku."

Dhea meneguk salivanya. Dia bukannya gadis bodoh. Kewajiban yang dimaksud di sini pastilah urusan ranjang. Meskipun memang itu kewajibannya kelak sebagai seorang istri, tetapi memikirkan itu semua menjadikan Dhea gugup tidak karuan. 

Bayangkan saja! Dia baru sejam lebih bertemu pria ini, tetapi sudah membicarakan urusan ranjang, ini benar-benar ekstrem. Atau jangan-jangan sebenarnya–

“Apakah Abang membutuhkan seorang anak?

"Ha?"

Bram cukup terkejut mendengar perkataan Dhea yang terus terang, bagaimanapun apa yang dikatakan gadis ini tidaklah salah sebenarnya.

"Apa Abang membutuhkan anak misalnya untuk pewaris? Sehingga buru-buru untuk menikah?"

Bram tersenyum menyeringai. Dia pria dewasa. Harusnya hasrat kelelakiannya dalam usianya saat ini sedang di puncak pergolakan, makanya pembahasan mengenai seorang anak pasti akan mengarahkannya pada proses pembuatan anak itu sendiri. Bram menautkan kedua tangannya dan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan sambil berbisik.

"Tentu saja aku membutuhkan seorang anak untuk melanjutkan keturunan. Tetapi aku lebih butuh prosesnya."

"Ha? Maksudnya?" 

Dhea bukannya tidak paham apa yang pria itu katakan, tetapi rasa malu dan risih membuat wajah gadis itu memerah, pembahasan ini sungguh pembicaraan dua puluh satu plus, tetapi Dhea kan sudah dua puluh tiga tahun. Ia sudah pantas membahas hal seperti ini, tetapi ini bicara dengan orang yang baru dikenalnya? 

Rasanya gadis itu ingin menenggelamkan wajahnya ke bumi. Sedang Bram mengamati reaksi gadis itu dengan senyum yang membuat Dhea semakin kebat-kebit.

Derttt …. Derrrrtttt ….

Dhea langsung menoleh ke ponselnya yang berdering. Bunyi ringtone itu telah menyelamatkan wajahnya yang gugup dan merasa risih dengan tatapan intens pria di hadapannya.

“P-permisi.” Dhea meminta izin.

Bram mengangguk, masih saja tersenyum.

“Halo?” ucap Dhea setelah mengangkat panggilan tersebut. “Asalamualaikum.”

“Dhea! Dhe, ibu kamu–”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status