Malam ini rumah keluarga Pratama dihadiri oleh begitu banyak tamu undangan. Putri bungsu mereka, Quella Pratama sedang merayakan ulang tahunnya yang ke lima belas. Pesta ulang tahun dibuat dengan sangat meriah. Banyak teman-teman sekolah Quella yang hadir, dan tentu saja kerabat keluarga mereka pun ada. Quella sangat senang, karena semua orang memperlakukannya bak putri raja. Apalagi keluarganya. Ini adalah kebahagiaan yang tidak akan pernah ia lupakan.
Namun di malam pesta yang meriah itu, petir tiba-tiba menyambar, hujan deras turun dan guntur berbunyi berulang-kali. Seperti menandakan sesuatu, entah apa itu. Perasaan Quella menjadi tidak enak. Entah kenapa ia merasa cuaca ekstrem tersebut membawa pertanda buruk. Entah untuknya, atau orang-orang yang dia sayang."Kamu kenapa dek?" seorang laki-laki tampan, bertubuh jangkung menghampiri Quella seolah menyadari ketidaknyamanan gadis itu.Laki-laki itu adalah Parkin, kakaknya. Kakak yang selalu memanjakannya tiap hari. Quella tersenyum menatap kakaknya kemudian menggelengkan kepala."Nggak apa-apa kak," ucapnya tak lupa tersenyum."Yakin?" Parkin memeriksa sang adik."Mm.""Ya udah kalo gitu. Ayo ke sana, semua orang nungguin kamu tiup lilin." Parkin lalu meraih pergelangan tangan Quella, membawanya ke bagian tengah, ke dekat kue ulang tahun yang amat menggugah selera.MC pesta memandu acara tiup lilinnya."Baiklah semuanya, ayo sama-sama hitung sampai tiga setelah itu princess Quella kita akan meniup lilin. Satu, dua ..." seru sih MC heboh. Quella pun sudah siap-siap meniup lilin. Tapi sebelum berhasil, bi Mira pembantu rumah mereka datang dengan tergopoh-gopoh. Membuat semua orang mengalihkan pandangan mereka kebingungan."Kenapa bi?" Sarah mama Quella bertanya dengan wajah terganggu. Padahal sedikit lagi putrinya berhasil meniup Lilin."Itu nyonya, ada tamu diluar. Seumuran non Quella. Kayaknya teman sih non.""Ya udah, di ajak masuk aja." kata Sarah."Tapi dia basah kuyup," ujar bi Mira lagi."Ijinin masuk aja bi," papa Parkin dan Quella, Bryan angkat bicara. Bi Mira mengangguk. Namun ketika ia hendak berbalik, gadis yang ia pikir temannya Quella sudah muncul di ruangan pesta. Kondisinya basah kuyup dan pakaiannya lusuh, tidak pantas datang ke pesta orang kaya. Kehadiran gadis itu mengundang bisik-bisik semua orang.Tapi gadis itu sama sekali tidak malu. Tentu saja karena ia tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dia punya bukti dan ia akan mengungkapkan semuanya malam ini. Biar semua orang tahu siapa dia. Gadis itu memandang wanita paruh baya yang berdiri di sebelah suaminya. Lalu gadis itu mulai menangis."Mama," ia menghambur memeluk Sarah yang kaget bukan main. Apa-apaan ini? Kenapa gadis itu tiba-tiba memanggilnya mama. Suami dan anak-anaknya ikut heran. Sarah berusaha melepaskan pelukan gadis itu."Maaf, kamu siapa?""Aku Runi, anak kandung mama dan papa. Gadis itu palsu. Dia bukan putri kalian. Kami tertukar di rumah sakit. Mama kandungnya salah membawa pulang bayi waktu aku dan dia lahir. Aku dengar sendiri dari suster yang menyembunyikan rahasia itu!" kata Runi sambil menunjuk Quella dengan tatapan penuh kebencian. Quella tersentak, papanya juga kaget, hanya Parkins yang berbeda. Pria itu langsung emosi mendengar pengakuan gadis asing itu."Jangan sembarangan kamu! Quella adalah adik kandungku." sentak Parkins tidak terima. Tapi berbeda dengan sang putra, Sarah malah terdiam berpikir.Ingatan wanita paruh baya itu kembali ke kejadian lima belas tahun yang lalu, di hari persalinannya. Samar-samar ia mengingat kekacauan yang pernah terjadi dulu yang sempat membuatnya kebingungan. Sebuah barang yang dia taruh di tubuh bayinya menghilang. Ia sudah sempat berpikiran buruk dulu, tapi senyum Quella bayi, menghentikan perasaan buruknya. Sarah menatap gadis didepannya lagi."Kalau mama nggak percaya, aku bisa kasih bukti." Runi mengeluarkan sesuatu dalam sakunya dan menunjukkan ke sang mama. Itu adalah sebuah gelang tangan emas inisial Q. Melihat itu, Sarah akhirnya yakin dan refleks memeluk Runi sambil menangis."Kamu benar-benar anak kandung mama. Gelang itu adalah gelang yang mama taruh ditangan kamu sewaktu kamu bayi sayang. Mama nggak mungkin lupa." kedua perempuan itu menangis tersedu-sedu."Mama," gumam Runi dengan suara bergetar. Suasana pesta jadi kacau dengan bisikan para tamu. Akhirnya mereka semua disuruh pulang.Kini diruangan itu tinggal Quella, Bryan, Sarah, Parkins dan Runi. Bryan masih ragu, sedangkan Parkins tidak percaya sama sekali. Pasti ada kesalahan, atau mamanya yang salah ingat. Demi Tuhan, jangan sampai apa yang dia dengar tadi benar. Dia tidak sanggup."Aku nggak percaya. Bagi aku hanya Quella adik kandungku. Nggak ada yang bisa gantiin posisinya!" ucap Parkins sambil menggenggam tangan Quella erat. Gadis itu tidak bicara apapun sejak tadi. Ia terlalu syok."Ma, benar kata Parkins. Kita tidak bisa langsung percaya tanpa ada bukti yang jelas. Sebaiknya kita melakukan tes DNA biar semuanya jelas." kata Bryan. Sarah menatap Runi."Aku setuju ma. Karena aku yakin aku benar-benar putri kandung papa dan mama." kata Runi menekankan kata putri kandung sambil menatap Quella. Sarah ikut menatap Quella."Quella anak mama, sini sayang." karena Quella terus diam di tempatnya, Sarah yang berdiri menghampiri sang putri."Dengar Quella, apapun hasilnya nanti, kamu tetap anak mama dan papa. Nggak akan pernah berubah. Jangan sedih ya," ucap Sarah berusaha menenangkan Quella. Tapi Runi tidak senang. Enak saja perempuan yang sudah merebut posisinya masih bisa hidup enak, ia harus cari cara menyingkirkan gadis itu dari rumah ini. Gadis itu harus merasakan penderitaan yang sama yang dia rasakan selama ini. Hidup dengan keluarga miskin tidak beradab itu."Kalau begitu kita ke rumah sakit besok untuk tes DNA." kata Bryan lagi. Sarah dan Runi mengangguk setuju. Sementara Quella makin linglung. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana."Dek, kakak antar ke kamar ya." tawar Parkins. Hatinya ikut sakit melihat adiknya yang ceria jadi linglung dan murung begini. Parkins melemparkan tatapan tidak sukanya ke Runi, lalu merangkul Quella dan membawanya pergi dari ruangan itu. Baginya, memiliki hubungan darah yang sama belum tentu menjadi bagian dari keluarga. Sekalipun gadis itu terbukti adalah adik kandungnya, itu sama sekali tidak akan pernah mengganti posisi Quella dihatinya.Hujan turun makin deras. Parkins ingin menemani Quella malam ini, tapi adiknya bilang dia ingin sendiri dulu. Dengan berat hati Parkins terpaksa harus keluar."Dengerin kakak, apapun yang terjadi hanya kamu adik kandung kakak. " pria itu mengecup singkat kening Quella sebelum akhirnya keluar dari kamar yang serba pink tersebut."Dia kenapa?"Narrel berjalan cepat pada Austin yang masuk ke dalam Villa dengan menggendong Ainsley. Pria itu menatap penampilan keduanya yang basah dan kotor dengan lumpur."Jatuh di air," sahut Austin terus melanjutkan langkah menuju kamar. Narrel hanya termangu melihat mereka sampai keduanya menghilang dari hadapannya.Ada-ada saja. Pikir Narrel. Apa yang mereka lakukan sampai jatuh ke dalam air. Jangan bilang kalau mereka berdebat lagi. Lelaki itu menggeleng tidak habis pikir."Tuan Austin dan istrinya kenapa?"pandangan Narrel berpindah pada Iren yang sudah berdiri di belakangnya. Entah muncul darimana. Bukannya wanita itu tadi ada di taman belakang, lagi sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan untuk pacarnya bersama yang lain."Jatuh di air katanya," sahut Narrel."Persiapan buat nanti malam sudah selesai?" tanya pria itu. Iren menggeleng."Hampir," jawabnya."Anda istirahat dulu saja, tua
Entah sudah berapa lama mereka di atas perahu. Ainsley mulai merasa panas tak karuan. Ia mengelap kening dengan saputangan milik Austin. "Aku bisa mendayung ke tepi sungai yang teduh. Kau mau?" tawar Austin. Ainsley mengangguk. Ia memang merasa kepanasan karena berada langsung di bawah matahari. Angin yang bertiup tadi mulai berkurang jadi tidak mampu menghadang matahari terik untuknya. "Apa yang kau suka ketika naik perahu?" tanya Austin sambil mengangkat dayung dari air dan membiarkan mereka meluncur ke bawah bayang-bayang teduh. "Aku tak tahu, hanya suka saja." sahut Ainsley mengangkat bahu. Tangannya menelusuri permukaan air dan melirik Austin lagi. "Kau tidak kepanasan dengan setelanmu itu?" tanyanya. Austin melirik sebentar penampilannya yang memakai kemeja panjang biru dan menatap Ainsley. "Bukannya kau yang menyiapkan pakaian ini untukku?" katanya dengan senyum menggoda.
Narrel mengetuk pintu kamar Austin dan Ainsley. Ia tidak tahu keduanya sedang berbuat apa didalam sana. Kalau pun mereka sedang melakukan sesuatu yang berbau-bau dewasa Narrel akan tetap mengetuk. Meski ia tidak yakin mereka sedang melakukan apa yang dia pikirkan itu di siang hari begini.Ketika pintu terbuka, yang pertama kali dilihat Narrel adalah Ainsley. Ia menatap kedalam kamar tapi tidak melihat Austin."Kemana Austin?" tanyanya."Lagi mandi." jawab Ainsley."Kau perlu sesuatu?" gadis itu balik bertanya. Narrel tersenyum tipis."Aku hanya ingin bilang kalau kalian bersedia aku ingin mengajak kalian naik perahu." ucap pria itu.Ainsley tampak tertarik. Sudah lama dia tidak naik perahu."Baiklah. Aku akan bilang ke Austin nanti." katanya kemudian. Setelah itu Narrel berbalik pergi dan Ainsley kembali mengunci pintu."Siapa?"Ainsley berbalik menatap Austin yang kini berdiri hanya dengan handuk yang
Ainsley turun dari mobil. Mereka sudah sampai. Perjalanan yang mereka tempuh dari Jakarta sampai Bogor kira-kira dua jam setengah. Hanya Austin dan Ainsley berdua dalam mobil. Austin yang menyetir pastinya.Austin sengaja menyetir sendiri hari ini karena seperti yang di katakan oleh Narrel kemarin kalau kemungkinan mereka akan menginap. Pria itu tidak mau merepotkan sopirnya. Ia juga ingin berdua saja di mobil dengan Ainsley.Ketika mereka sampai di Vila, Narrel, Iren dan yang lain belum terlihat sama sekali. Kelihatannya mereka memang belum ada. Meski begitu, penjaga Vila sudah mengenal Austin jadi mudah saja bagi keduanya masuk ke dalam.Ainsley memandang ke sekeliling. Vila itu berada di tempat yang cukup terpencil dekat hutan. Berada di sini suasananya beneran terasa super sunyi.Ainsley pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya tapi tidak semewah tempat milik Narrel ini. Hanya suasananya yang mirip. Kalau malam hari kalau hanya sendirian, yang akan menemanimu hanyalah suara
Setelah selesai makan siang bersama dan berbincang-bincang sambil membicarakan bisnis, Austin kembali ke kantor.Pria itu masuk ke ruang kerjanya dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia merasa sangat lelah. Bagaimana tidak lelah, habis rapat di kantor, ia makan dengan kakek Fu, menemani lelaki tua itu ngobrol. Belum lagi pria itu tambah bad mood karena melihat istrinya makan siang dengan pria lain selain dirinya."Kenapa lagi denganmu?"Suara itu sontak membuat Austin yang hampir ketiduran membuka matanya. Narrel sudah duduk di depannya. Austin menatap sekretarisnya itu yg tanpa bersemangat."Kau tahu, menyukai wanita hanya akan membuatmu merasa lelah." ucap Narrel lagi seolah tahu apa yang ada di pikiran Austin.Ia memang mengakui Ainsley yang bisa membuat sahabatnya itu menyukainya tanpa usaha keras seperti yang di lakukan wanita-wanita yang lain. Tapi kalau ia jadi Austin, ia tidak akan bersikeras mendapatkan gadis itu. Apalagi menikahinya. Belum tentu juga kan Ainsley gadis yang bai
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi dulu, waktu keduanya masih sering bersama. Sebelum Alfa bertunangan.Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ainsley mendengar ponselnya berbunyi. Ia menataplayar ponselnya. Austin yang menelpon. Kenapa pria itu menelpon?"Halo?""Kau di mana?""Tempat makan.""Dengan siapa?"Dalam kebingungan Ainsley menatap ponselnya, lalu menempelkannyakembali di telinga. Kenapa denganLaki-laki itu? Nada suaranya terdengar dingin tidak seperti tadi pagi. Dasar labil."Teman," jawab Ainsley berusaha menetralkan intonasinya. Ia tidak mau Alfa melihatnya berdebat dengan sih penelpon yang adalah suaminya sendiri itu.di ujung sana Austin mendengus kesal."Ada ada menelponku?" tanya Ainsley lagi. Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar,"Hanya ingin bertanya saja," setelah berkata begitu telpon langsung terputus. Austin menutupnya sepihak. Tanpa pamit dan bilang-bilang dulu. Ainsley yang kesal sontak mematikan ponse