"Maaf tuan-tuan, wanita ini hanya pelayan kecil di sini dan masih baru. Dia tidak ada pengalaman sama sekali. Kalau kalian tidak keberatan, aku akan menggantinya dengan perempuan yang jauh berpengalaman. Aku yakin kalian tidak akan menyesal." kata manajer itu lalu pandangannya berpindah ke salah satu perempuan lebih dewasa dari Quella yang berdiri dekat situ kemudian memberi perintah dengan gerakan kepalanya. Wanita itu menatap sinis Quella sebentar, kemudian melangkah mendekat dan langsung duduk dipangkuan salah satu dari ketiga pria tadi. Tangannya mulai bergerak lihai, dia terlihat sangat berpengalaman.
Quella ditarik manajer itu dan dimarahi habis-habisan dibelakang."Dasar perempuan tidak becus. Kau pikir kau bisa bekerja di sini semaumu hah? Lain kali kalau kau berani melawan pelanggan lagi kau akan langsung di pecat. Paham?" tukas manajer itu kasar. Quella tersentak kaget namun hanya bisa mengangguk. Ia butuh uang untuk hidup sekarang. Jadi ia tidak boleh di pecat."Sekarang kau boleh pulang! Kondisimu itu sangat tidak layak dilihat. Kembalilah besok." kata sih manajer lagi sambil melihat keseluruhan penampilan Quella yang berantakan dengan pandangan mencemooh."Gajimu hari ini tidak akan dihitung." katanya kemudian. Mendengar itu Quella hampir memprotes tidak setuju, tapi lagi-lagi tidak jadi. Ia tidak berani. Terpaksa hari ini dirinya harus menahan lapar lagi. Seperti sebelum-sebelumnya.Setelah berganti baju, Quella keluar dari bar itu dengan wajah sedih. Langkahnya berhenti didepan sebuah toko roti. Ia duduk di emperan jalan sambil menatap kedepan sana. Ada beberapa anak kecil yang keluar dari toko roti itu sambil menikmati roti mereka. Quella menelan ludah. Andai saja ia punya uang. Tapi uangnya hanya cukup untuk membeli air mineral.Lama Quella duduk disitu sambil melihat ke orang-orang yang keluar masuk toko. Gadis itu kemudian meratap. Merenungi nasibnya. Kenapa hidupnya begitu menyedihkan begini? Padahal dulu dia bisa membeli apa saja yang dia suka, dan membuang semua yang ia tidak mau. Keluarganya sangat memanjakannya. Satu sekolahan ingin berlomba-lomba menjadi temannya. Tapi sekarang? Keadaan berubah, semua berbalik darinya. Kehidupannya berubah total.Tanpa sadar airmata Quella jatuh membasahi pipi mulusnya. Dadanya sakit. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk ratusan jarum. Nasibnya sungguh mengenaskan. Orang-orang yang melewatinya bahkan melihatnya dengan tatapan aneh. Quella menyeka airmatanya. Lalu berdiri meninggalkan tempat itu. ***Semenjak peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi di bar waktu itu, tidak ada satupun rekan-rekan kerja Quella yang mau berteman dengannya. Mereka malah kompak mengucilkannya. Quella tidak punya teman. Ia merasa sebatang kara, tidak punya siapa-siapa lagi. Hari-harinya ia lalui dengan sangat berat.Awalnya pengalaman-pengalaman yang terjadi padanya membuatnya merasa terpuruk, tapi kemudian ia menyadari bahwa dirinya tidak boleh menjadi gadis yang lemah. Ia harus tetap hidup, menjadi perempuan yang kuat. Menjadi Quella yang berbeda dari Quella yang dulu. Tidak ada lagi yang boleh meremehkannya.Setelah mengalami pengalaman perundungan yang hampir membuatnya kehilangan kesuciannya, Quella pun akhirnya menjadi gadis nakal. Karena ia berpikir, dengan begitu rekan-rekan kerjanya dan orang lain tidak akan mengucilkannya lagi. Mulai hari ini dan seterusnya, Quella yang dulu tidak ada lagi. Dia tidak akan membiarkan siapapun merundungnya lagi."Dia kenapa?"Narrel berjalan cepat pada Austin yang masuk ke dalam Villa dengan menggendong Ainsley. Pria itu menatap penampilan keduanya yang basah dan kotor dengan lumpur."Jatuh di air," sahut Austin terus melanjutkan langkah menuju kamar. Narrel hanya termangu melihat mereka sampai keduanya menghilang dari hadapannya.Ada-ada saja. Pikir Narrel. Apa yang mereka lakukan sampai jatuh ke dalam air. Jangan bilang kalau mereka berdebat lagi. Lelaki itu menggeleng tidak habis pikir."Tuan Austin dan istrinya kenapa?"pandangan Narrel berpindah pada Iren yang sudah berdiri di belakangnya. Entah muncul darimana. Bukannya wanita itu tadi ada di taman belakang, lagi sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan untuk pacarnya bersama yang lain."Jatuh di air katanya," sahut Narrel."Persiapan buat nanti malam sudah selesai?" tanya pria itu. Iren menggeleng."Hampir," jawabnya."Anda istirahat dulu saja, tua
Entah sudah berapa lama mereka di atas perahu. Ainsley mulai merasa panas tak karuan. Ia mengelap kening dengan saputangan milik Austin. "Aku bisa mendayung ke tepi sungai yang teduh. Kau mau?" tawar Austin. Ainsley mengangguk. Ia memang merasa kepanasan karena berada langsung di bawah matahari. Angin yang bertiup tadi mulai berkurang jadi tidak mampu menghadang matahari terik untuknya. "Apa yang kau suka ketika naik perahu?" tanya Austin sambil mengangkat dayung dari air dan membiarkan mereka meluncur ke bawah bayang-bayang teduh. "Aku tak tahu, hanya suka saja." sahut Ainsley mengangkat bahu. Tangannya menelusuri permukaan air dan melirik Austin lagi. "Kau tidak kepanasan dengan setelanmu itu?" tanyanya. Austin melirik sebentar penampilannya yang memakai kemeja panjang biru dan menatap Ainsley. "Bukannya kau yang menyiapkan pakaian ini untukku?" katanya dengan senyum menggoda.
Narrel mengetuk pintu kamar Austin dan Ainsley. Ia tidak tahu keduanya sedang berbuat apa didalam sana. Kalau pun mereka sedang melakukan sesuatu yang berbau-bau dewasa Narrel akan tetap mengetuk. Meski ia tidak yakin mereka sedang melakukan apa yang dia pikirkan itu di siang hari begini.Ketika pintu terbuka, yang pertama kali dilihat Narrel adalah Ainsley. Ia menatap kedalam kamar tapi tidak melihat Austin."Kemana Austin?" tanyanya."Lagi mandi." jawab Ainsley."Kau perlu sesuatu?" gadis itu balik bertanya. Narrel tersenyum tipis."Aku hanya ingin bilang kalau kalian bersedia aku ingin mengajak kalian naik perahu." ucap pria itu.Ainsley tampak tertarik. Sudah lama dia tidak naik perahu."Baiklah. Aku akan bilang ke Austin nanti." katanya kemudian. Setelah itu Narrel berbalik pergi dan Ainsley kembali mengunci pintu."Siapa?"Ainsley berbalik menatap Austin yang kini berdiri hanya dengan handuk yang
Ainsley turun dari mobil. Mereka sudah sampai. Perjalanan yang mereka tempuh dari Jakarta sampai Bogor kira-kira dua jam setengah. Hanya Austin dan Ainsley berdua dalam mobil. Austin yang menyetir pastinya.Austin sengaja menyetir sendiri hari ini karena seperti yang di katakan oleh Narrel kemarin kalau kemungkinan mereka akan menginap. Pria itu tidak mau merepotkan sopirnya. Ia juga ingin berdua saja di mobil dengan Ainsley.Ketika mereka sampai di Vila, Narrel, Iren dan yang lain belum terlihat sama sekali. Kelihatannya mereka memang belum ada. Meski begitu, penjaga Vila sudah mengenal Austin jadi mudah saja bagi keduanya masuk ke dalam.Ainsley memandang ke sekeliling. Vila itu berada di tempat yang cukup terpencil dekat hutan. Berada di sini suasananya beneran terasa super sunyi.Ainsley pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya tapi tidak semewah tempat milik Narrel ini. Hanya suasananya yang mirip. Kalau malam hari kalau hanya sendirian, yang akan menemanimu hanyalah suara
Setelah selesai makan siang bersama dan berbincang-bincang sambil membicarakan bisnis, Austin kembali ke kantor.Pria itu masuk ke ruang kerjanya dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia merasa sangat lelah. Bagaimana tidak lelah, habis rapat di kantor, ia makan dengan kakek Fu, menemani lelaki tua itu ngobrol. Belum lagi pria itu tambah bad mood karena melihat istrinya makan siang dengan pria lain selain dirinya."Kenapa lagi denganmu?"Suara itu sontak membuat Austin yang hampir ketiduran membuka matanya. Narrel sudah duduk di depannya. Austin menatap sekretarisnya itu yg tanpa bersemangat."Kau tahu, menyukai wanita hanya akan membuatmu merasa lelah." ucap Narrel lagi seolah tahu apa yang ada di pikiran Austin.Ia memang mengakui Ainsley yang bisa membuat sahabatnya itu menyukainya tanpa usaha keras seperti yang di lakukan wanita-wanita yang lain. Tapi kalau ia jadi Austin, ia tidak akan bersikeras mendapatkan gadis itu. Apalagi menikahinya. Belum tentu juga kan Ainsley gadis yang bai
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi dulu, waktu keduanya masih sering bersama. Sebelum Alfa bertunangan.Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ainsley mendengar ponselnya berbunyi. Ia menataplayar ponselnya. Austin yang menelpon. Kenapa pria itu menelpon?"Halo?""Kau di mana?""Tempat makan.""Dengan siapa?"Dalam kebingungan Ainsley menatap ponselnya, lalu menempelkannyakembali di telinga. Kenapa denganLaki-laki itu? Nada suaranya terdengar dingin tidak seperti tadi pagi. Dasar labil."Teman," jawab Ainsley berusaha menetralkan intonasinya. Ia tidak mau Alfa melihatnya berdebat dengan sih penelpon yang adalah suaminya sendiri itu.di ujung sana Austin mendengus kesal."Ada ada menelponku?" tanya Ainsley lagi. Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar,"Hanya ingin bertanya saja," setelah berkata begitu telpon langsung terputus. Austin menutupnya sepihak. Tanpa pamit dan bilang-bilang dulu. Ainsley yang kesal sontak mematikan ponse