Share

7

Narrel keluar dari ruangan itu, membiarkan Austin dan Ainsley bicara berdua. Ainsley yang menyadari pria itu berjalan keluar pintu, buru-buru menghentikannya.

"Hei, kau mau kemana?" Langkah Narrel terhenti. Ia berbalik menatap Ainsley dan Austin bergantian.

"Jangan kemana-mana, kau itu saksi kalau pria ini berani macam-macam padaku."

Austin tertawa kemudian bangkit dari kursi putarnya dan melangkah mendekati Ainsley. Narrel tetap menatap keduanya, dia jadi bingung sendiri. Ainsley kaget ketika Austin tiba-tiba menarik pinggangnya.

"Jadi kau ingin sahabatku melihat bagaimana aku melucuti pakaianmu di sini?" Bisiknya di telinga Ainsley lalu menyesap pelan daun telinga gadis itu, mulutnya kemudian turun ke leher jenjang Ainsley dan tanpa ijin memberikan tanda kepemilikannya di sana.

Ainsley melotot dan mendorong kuat dada pria itu tapi tenaganya kalah kuat. Austin kembali memberikan tanda kedua kalinya pada bagian yang lain di leher Ainsley. Narrel di ujung sana melongo tidak percaya. Benarkah yang ada didepannya sekarang ini adalah Austin?

Narrel akui dirinya adalah pemain wanita. Ia sudah tidur dengan banyak wanita murahan di luar sana, bahkan beberapa kali ia membawa mereka telanjang didepan Austin dan ia bercinta dengan mereka dihadapan pria itu. Maksudnya untuk membangkitkan gairah kejantanan Austin. Tapi waktu itu Austin sama sekali tidak tergerak untuk menyentuh satu pun wanita yang dibawanya, padahal para wanita yang dibawanya itu sangat cantik dan bertubuh sexy, setidaknya jika dibandingkan dengan sih Ainsley ini.

Menurut Narrel Ainsley biasa saja. Semua yang ada dalam diri gadis itu sangat biasa. Tapi yang lucunya, gadis yang serba biasa-biasa saja seperti Ainsley ini malah bisa menarik perhatian Austin. Lihat sekarang, Narrel bahkan bisa melihat wajah Austin yang penuh gairah ingin memiliki gadis didepannya itu.

Lalu sebuah tamparan keras mengenai pipi Austin dan Narrel kembali terheran-heran. Bukan pada gadis yang menampar pria didepannya itu, tapi pada respon Austin yang malah tertawa mendapat tamparan. Biasanya siapapun yang berani mengusik pria itu tidak akan selamat. Narrel menggeleng, ia sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Austin. Lebih baik ia keluar saja.

Ainsley menatap Austin dengan emosi yang membuncah. Lelaki itu sungguh tak sopan. Ia memegang leher bekas gigitan pria itu. Ia mungkin tidak pernah berpengalaman dengan hal semacam itu tapi ia jelas tahu apa yang dilakukan lelaki didepannya ini tadi.

"Kau mau aku memberimu kaca?" Tanya Austin dengan nada meledek.

"Tidak perlu!" Balas Ainsley ketus.

Sekali lagi Austin tertawa lalu kembali duduk di kursi kebesarannya. Ia sudah yakin kalau gadis itu pasti akan mencarinya lagi dan pikirannya benar, gadis itu benar-benar datang.

"Duduklah," ucap pria itu dengan tangan menunjuk kursi dihadapannya. Ainsley duduk dengan kasar. Ia menatap pria itu penuh permusuhan.

"Apa maksudmu membuatku tidak bisa bekerja lagi di cafe? Dan apa maksudmu menyebutkan pada orang-orang cafe bahwa aku adalah tunanganmu?" Tuntut Ainsley. Enak saja sembarangan bilang begitu. Kapan mereka bertunangan? Mereka bahkan baru ketemu beberapa hari.

Pandangan Ainsley jatuh ke sebuah map yang disodorkan Austin didepannya. Kali ini wajah pria itu terlihat serius.

Ainsley sering berpikir, apakah sih Austin ini mempunyai dua kepribadian? Ia cepat-cepat menyadarkan pikirannya. Tidak penting juga berpikir tentang kepribadian pria itu.

Waktu membaca isi tulisan dari map yang di bukanya, matanya membelalak lebar. Ia menatap Austin seolah tidak percaya.

"Perjanjian pernikahan?"

Austin mengangguk santai. Ainsley kembali membaca isi surat itu dengan saksama. Dalam surat itu ada namanya dan nama Austin yang dijodohkan dan akan menikah pada saat usia Ainsley sudah mencapai dua puluh satu tahun. Ada tanda tangan papanya juga. Dan yang lebih parahnya lagi, ada catatan yang ditulis jika ada yang mengingkari perjodohan itu dan membatalkan pernikahan akan membayar denda sebesar ...

"Lima belas milyar?!"

Austin mengangguk lagi dengan seringaian di wajahnya. Ia puas melihat ekspresi Ainsley.

Ainsley merutuk dalam hati. Kenapa papanya bisa khilaf dan membuat perjanjian konyol begini? Darimana dia mendapatkan lima belas milyar coba? Jual diripun ia tak akan sanggup. Gadis itu mendongak menatap Austin.

"Kau yakin ini benar-benar tanda tangan papaku?" ia masih kurang begitu percaya. Bisa saja kan lelaki itu berbohong padanya demi mau menikah dengannya. Bukannya geer, tapi dengan cara sih Austin ini memperlakukannya, ia bisa menyimpulkan kalau pria itu sangat bernafsu padanya.

Austin balik menatap Ainsley lekat. Tangannya terlipat di atas meja.

"Kau butuh bukti? Kita bisa menemui papamu sekarang." kata pria itu pasti. Ainsley langsung menarik rambutnya sendiri dengan wajah geram. Ia tahu perjodohan itu memang benar apalagi pria didepannya ini sama sekali tidak takut untuk memberikan bukti. Kenapa hidupnya sial seperti ini sih? Tiba-tiba terbersit ide di kepalanya.

"Bagaimana kalau kita batalkan perjodohan ini secara baik-baik? Kau menolak, aku menolak. Jadi tidak ada yang akan dirugikan di antara kita berdua bukan?" Gadis itu mencoba melakukan penawaran. Pria dihadapannya itu tertawa,

"Sayangnya aku ingin kita menikah nona manis," ucap Austin penuh tekanan. Ainsley menatapnya tajam.

"Kenapa? Aku tidak menyukaimu, dan kau sepertinya hanya menginginkan tubuhku saja, untuk apa kita menikah kalau kita tidak saling mencintai? Kau sendiri bisa mencari wanita cantik diluar sana untuk memuaskan hasrat seksmu itu. Bukankah hartamu banyak?" kali ini perkataan Ainsley membuat Austin merasa tertohok. Belum pernah ada yang menolaknya sebelumnya.

"Cinta bisa di pupuk setelah menikah Ainsley," kata lelaki itu dengan suara rendahnya yang berat. Ainsley mendengus keras.

"Bagaimana kalau aku bersikeras tidak mau menikah?" Gadis itu masih bersikeras.

"Maka silahkan bayar lima belas milyar padaku minggu depan."

"Hah? Kau gila, kau mengambil keuntungan dari gadis lemah sepertiku!" Tukas Ainsley dengan mata berkilat-kilat menatap Austin. Pria itu tersenyum remeh lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil bersedekap dada menatap Ainsley penuh kemenangan.

"Dalam bisnis, terkadang kau harus bersikap licik kalau tidak mau kalah," balasnya santai. Ia memang tipe pria yang sangat kejam kalau menyangkut sesuatu yang dia mau. Jangan harap bisa lolos kalau pria itu sudah memberi tanda kepemilikannya.

Sama seperti gadis didepannya ini sekarang.  Sejak ia memutuskan menikahi gadis ini, tidak ada satu orang pun yang bisa menentangnya. 

Dengan marah Ainsley berdiri dan menggeprak meja kerja pria itu kuat-kuat. Ia hanya bisa marah tapi tidak punya kekuatan apa-apa untuk menolak. Baru kali ini ia merasa tidak berdaya.

"Jangan melawanku Ainsley, aku bukan pria yang bisa kau lawan," kata Austin dengan sikap tenang namun tersirat peringatan dalam nada bicaranya.

"Aku sudah bicara dengan papamu akan akan segera menikahimu secepat mungkin. Tapi karena kau bersikeras menolak, aku akan memberimu waktu satu minggu untuk membayarku. Kau tahu kita akan segera menikah saat kau tidak mampu membayarku bukan?" Lagi. Pria itu lagi-lagi berbicara dengan penuh ancaman. Ainsley mendelik tajam.

"Kau tahu aku tidak bisa mencari uang sebanyak itu dalam waktu seminggu bukan tuan Austin yang terhormat!" Katanya penuh penekanan. Austin terkekeh.

"Kalau begitu kau tidak punya pilihan lain selain menikah denganku."

"Cih," gadis itu lalu keluar begitu saja setelah kalah telak berbicara dengan sang pebisnis itu. Padahal niatnya datang untuk membuat perhitungan dengan pria itu tentang kehilangan pekerjaan, tapi ia malah diberikan kejutan dengan perjanjian pernikahan yang dibuat oleh papanya sendiri dan kakek pria itu. Sialan. Pantas saja pria itu sangat berani menyentuhnya seenaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status