Selama seminggu berjalan ini Ainsley merasa sangat tidak tenang. Pikirannya merembes kemana-mana. Sahabat-sahabatnya tidak ada yang kaya, yang bisa meminjamkan uang lima belas milyar padanya dalam kurun waktu satu minggu. Semakin berjalannya hari Ainsley makin tidak dapat berpikir. Ia tidak punya jalan keluar. Andai saja lima belas milyar itu tiba-tiba jatuh begitu saja dari langit, ia akan sangat berterimakasih pada Tuhan. Sayangnya itu hanya khayalan semata yang tidak mungkin terjadi.
Ainsley ingat saat pulang ke rumah habis dari menemui Austin. Ia marah besar pada papanya karena tidak pernah cerita padanya tentang perjodohan gila itu. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi. Sebenarnya sudah beberapa kali gadis itu mencoba kabur dari kota itu untuk menghindari pernikahan. Ia tahu tidak mungkin baginya mendapatkan lima belas milyar karena itu ia hanya bisa kabur. Sayangnya, sih Austin terlalu pintar. Pria itu sudah menyuruh anak buahnya untuk terus mengamati gerak-geriknya. Ainsley mengerang kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Kalau begini terus, lama-lama ia bisa gila.Ditempat lain Deisy, kakak tiri Ainsley merasa tidak terima saat mendengar gadis itu punya perjanjian pernikahan dengan bosnya Austin Hugo. Sudah lama ia mengincar pria itu walau sulit sekali untuk hanya sekedar bertemu dengannya bahkan meski mereka sekantor. Ia hanya bisa melihat Austin dari jauh sambil memimpikan pria itu.Tapi Ainsley, gadis yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan dirinya malah punya perjanjian pernikahan dengan pria impiannya itu sejak lahir. Deisy kesal bukan main. Ia merasa Ainsley sangat beruntung tapi ia tidak suka, itu membuatnya iri. Karena itu hari ini, dengan penuh keberanian ia datang menemui Austin secara pribadi diruangan pria itu. Ia sempat dengar di rumah saat Ainsley berdebat dengan papanya. Waktu itu Ainsley mati-matian bilang tidak mau menikah dengan Austin. Itu sebabnya Deisy ingin menggunakan kesempatan ini dengan ide yang sudah ada dalam kepalanya.Tok tok tok!"Masuk," terdengar suara dari dalam ruangan.Deisy membuka pintu ruangan Austin perlahan. Ia berjalan pelan sampai kehadapan pria itu. Wanita itu ragu-ragu untuk bicara karena Austin terus menunduk tidak menatapnya sedikitpun."Ada apa?" tanya pria itu dengan mata terus fokus ke laptop."Mm ... t .. tuan Austin aku ...""Bicaralah dengan jelas, aku tidak punya waktu meladenimu," kata pria itu dingin, masih tidak berniat melihat siapa yang berdiri dihadapannya itu."A ... aku Deisy kakaknya Ainsley," setelah mendengar wanita didepannya menyebutkan nama, Ainsley barulah berhasil membuat Austin mengangkat wajahnya.Deisy tersenyum canggung ketika Austin menatapnya lama. Austin sendiri pernah dengar kalau tunangannya itu punya seorang saudari tiri, tapi tidak pernah tertarik untuk tahu seperti apa orangnya. Menurutnya tidak penting.Dalam matanya hanyalah Ainsley yang penting, yang sanggup membuatnya merasa puas hanya dengan melihat gadis itu.Ketika melihat name tag wanita itu, Austin baru sadar kalau kakak Ainsley tersebut ternyata bekerja dikantornya."Kau bilang namamu siapa?" ulang Austin. Meski sudah melihat kartu nama Deisy."D ...Deisy," sahut wanita itu."Baiklah Deisy, ada apa dengan tunanganku? Dia mencoba kabur lagi?"Austin tertawa tiap kali mendengar dari anak buahnya bahwa Ainsley sudah beberapa kali ini mencoba kabur tapi gagal total. Mau kabur darinya? Jangan harap."K ... kata Ainsley dia tidak mau menikah dengan anda, karena itu dia memaksaku untuk menggantinya menikahimu," ucap Deisy berbohong.Meski Ainsley yang tidak mau menikahi Austin itu benar tapi ia tidak pernah memaksa Deisy menggantinya untuk menikah. Memangnya dia sudah gila apa bermain-main dengan pria nekat seperti Austin? Ia tahu Austin akan sangat marah besar kalau sampai melakukan hal tersebut, ujung-ujungnya dia sendiri yang akan diberi hukuman oleh pria gila itu.Austin menatap Deisy tajam. Ia menanggapi perkataan wanita itu antara percaya tidak percaya. Lelaki itu ingat jelas sudah memperingatkan Ainsley untuk tidak melakukan sesuatu seperti menggantikan perempuan lain untuk menikah dengannya. Apa gadis nakal itu yang memang mau melawannya, atau wanita didepannya ini yang berbohong dengan mengarang cerita. Bisa dia buktikan sendiri nanti."Kau yakin Ainsley bilang begitu?" tanya pria itu tajam. Deisy mengangguk meneruskan kebohongannya. Ia sudah membuat keputusan, tidak mungkin kan dirinya berhenti di tengah jalan. Didepannya Deisy melihat sang CEO meraih ponselnya dan menelpon seseorang."Bawa Ainsley ke sini sekarang juga. Kalau dia tidak mau, seret dia dengan paksa. Pokoknya dia harus berada di hadapanku sekarang juga!"Deisy menelan ludah. Apa yang akan dilakukan pria itu? Ia jadi tidak tenang memikirkan kedatangan Ainsley. Bagaimana kalau gadis itu bilang kalau dia berbohong?"Kau tunggu di situ sampai adikmu datang, aku akan membuat perhitungan dengan bocah nakal itu," Deisy mengangguk. Ia tidak suka mendengar cara Austin menyebut Ainsley. Itu terdengar seperti mereka sudah sangat akrab.Selama menunggu Ainsley, Austin kembali menyibukkan dirinya dengan file-file berkas dalam laptopnya. Pria itu tidak pernah melihat ke Deisy lagi sekalipun bahkan menyuruhnya duduk pun tidak. Deisy merasa kakinya sudah kesemutan dan capek berdiri, namun tetap ditahannya.Hampir tiga puluh menit barulah Ainsley muncul dalam ruangan itu. Masuk tanpa mengetuk, dan gadis itu lagi-lagi menggebrak kuat meja Austin. Ia belum menyadari ada Deisy yang berdiri di dekat situ, saking kesalnya pada Austin."Ada apa lagi brengsek. Kau tidak puas menggangguku seminggu ini?!" sentak Ainsley. Ia marah karena tiba-tiba diseret oleh anak buah Austin dan dibawah ke kantor pria itu. Deisy yang melihat sikap kasar Ainsley pada Austin merasa marah. Bahkan semua orang dikantor itu tidak berani bersikap seperti itu pada bos mereka, tapi dia yang bukan apa-apa malah dengan entengnya berbuat semaunya.Yang anehnya, Austin malah santai. Pria itu masih diam. Ia harus menyelesaikan satu berkas lagi biar bisa bermain-main dengan gadis itu sampai puas."Hei, hellow ... kau punya mulutkan tu ... Deisy?" perkataan Ainsley terhenti saat menyadari keberadaan saudari tirinya. Deisy menatapnya sinis dan Ainsley memutar bola matanya malas.Cih, angkuh sekali. Tapi kenapa wanita itu ada di ruangan Austin? Ia kembali menatap pria itu."Austin, kau dengar aku nggak sih?" teriaknya mulai kesal karena terus-terusan dicuekin."Kalau kau tidak mau bicara apa-apa aku keluar," tambahnya lagi dan berbalik ingin keluar."Coba saja keluar kalau berani," suara bariton itu menghentikan langkah Ainsley, tentu saja ekspresi gadis itu sangat dongkol. Ia merasa dirinya seperti robot yang bisa di kendalikan oleh pria itu. Ia memang bisa marah dan memaki Austin sepuasnya, tapi ketika suara pria itu terdengar tidak bisa dibantah lagi, gadis itu malah jadi ciut seperti sekarang ini.Austin sendiri sudah selesai memeriksa semua berkasnya. Matanya menatap lurus ke Ainsley yang balas menatapnya dengan berani. Austin tersenyum menyeringai. Ini yang selalu ia suka sejak bertemu Ainsley. Sifat pembangkang gadis itu yang entah kenapa membuatnya merasa tertarik."Dia kenapa?"Narrel berjalan cepat pada Austin yang masuk ke dalam Villa dengan menggendong Ainsley. Pria itu menatap penampilan keduanya yang basah dan kotor dengan lumpur."Jatuh di air," sahut Austin terus melanjutkan langkah menuju kamar. Narrel hanya termangu melihat mereka sampai keduanya menghilang dari hadapannya.Ada-ada saja. Pikir Narrel. Apa yang mereka lakukan sampai jatuh ke dalam air. Jangan bilang kalau mereka berdebat lagi. Lelaki itu menggeleng tidak habis pikir."Tuan Austin dan istrinya kenapa?"pandangan Narrel berpindah pada Iren yang sudah berdiri di belakangnya. Entah muncul darimana. Bukannya wanita itu tadi ada di taman belakang, lagi sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun kecil-kecilan untuk pacarnya bersama yang lain."Jatuh di air katanya," sahut Narrel."Persiapan buat nanti malam sudah selesai?" tanya pria itu. Iren menggeleng."Hampir," jawabnya."Anda istirahat dulu saja, tua
Entah sudah berapa lama mereka di atas perahu. Ainsley mulai merasa panas tak karuan. Ia mengelap kening dengan saputangan milik Austin. "Aku bisa mendayung ke tepi sungai yang teduh. Kau mau?" tawar Austin. Ainsley mengangguk. Ia memang merasa kepanasan karena berada langsung di bawah matahari. Angin yang bertiup tadi mulai berkurang jadi tidak mampu menghadang matahari terik untuknya. "Apa yang kau suka ketika naik perahu?" tanya Austin sambil mengangkat dayung dari air dan membiarkan mereka meluncur ke bawah bayang-bayang teduh. "Aku tak tahu, hanya suka saja." sahut Ainsley mengangkat bahu. Tangannya menelusuri permukaan air dan melirik Austin lagi. "Kau tidak kepanasan dengan setelanmu itu?" tanyanya. Austin melirik sebentar penampilannya yang memakai kemeja panjang biru dan menatap Ainsley. "Bukannya kau yang menyiapkan pakaian ini untukku?" katanya dengan senyum menggoda.
Narrel mengetuk pintu kamar Austin dan Ainsley. Ia tidak tahu keduanya sedang berbuat apa didalam sana. Kalau pun mereka sedang melakukan sesuatu yang berbau-bau dewasa Narrel akan tetap mengetuk. Meski ia tidak yakin mereka sedang melakukan apa yang dia pikirkan itu di siang hari begini.Ketika pintu terbuka, yang pertama kali dilihat Narrel adalah Ainsley. Ia menatap kedalam kamar tapi tidak melihat Austin."Kemana Austin?" tanyanya."Lagi mandi." jawab Ainsley."Kau perlu sesuatu?" gadis itu balik bertanya. Narrel tersenyum tipis."Aku hanya ingin bilang kalau kalian bersedia aku ingin mengajak kalian naik perahu." ucap pria itu.Ainsley tampak tertarik. Sudah lama dia tidak naik perahu."Baiklah. Aku akan bilang ke Austin nanti." katanya kemudian. Setelah itu Narrel berbalik pergi dan Ainsley kembali mengunci pintu."Siapa?"Ainsley berbalik menatap Austin yang kini berdiri hanya dengan handuk yang
Ainsley turun dari mobil. Mereka sudah sampai. Perjalanan yang mereka tempuh dari Jakarta sampai Bogor kira-kira dua jam setengah. Hanya Austin dan Ainsley berdua dalam mobil. Austin yang menyetir pastinya.Austin sengaja menyetir sendiri hari ini karena seperti yang di katakan oleh Narrel kemarin kalau kemungkinan mereka akan menginap. Pria itu tidak mau merepotkan sopirnya. Ia juga ingin berdua saja di mobil dengan Ainsley.Ketika mereka sampai di Vila, Narrel, Iren dan yang lain belum terlihat sama sekali. Kelihatannya mereka memang belum ada. Meski begitu, penjaga Vila sudah mengenal Austin jadi mudah saja bagi keduanya masuk ke dalam.Ainsley memandang ke sekeliling. Vila itu berada di tempat yang cukup terpencil dekat hutan. Berada di sini suasananya beneran terasa super sunyi.Ainsley pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya tapi tidak semewah tempat milik Narrel ini. Hanya suasananya yang mirip. Kalau malam hari kalau hanya sendirian, yang akan menemanimu hanyalah suara
Setelah selesai makan siang bersama dan berbincang-bincang sambil membicarakan bisnis, Austin kembali ke kantor.Pria itu masuk ke ruang kerjanya dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia merasa sangat lelah. Bagaimana tidak lelah, habis rapat di kantor, ia makan dengan kakek Fu, menemani lelaki tua itu ngobrol. Belum lagi pria itu tambah bad mood karena melihat istrinya makan siang dengan pria lain selain dirinya."Kenapa lagi denganmu?"Suara itu sontak membuat Austin yang hampir ketiduran membuka matanya. Narrel sudah duduk di depannya. Austin menatap sekretarisnya itu yg tanpa bersemangat."Kau tahu, menyukai wanita hanya akan membuatmu merasa lelah." ucap Narrel lagi seolah tahu apa yang ada di pikiran Austin.Ia memang mengakui Ainsley yang bisa membuat sahabatnya itu menyukainya tanpa usaha keras seperti yang di lakukan wanita-wanita yang lain. Tapi kalau ia jadi Austin, ia tidak akan bersikeras mendapatkan gadis itu. Apalagi menikahinya. Belum tentu juga kan Ainsley gadis yang bai
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi dulu, waktu keduanya masih sering bersama. Sebelum Alfa bertunangan.Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ainsley mendengar ponselnya berbunyi. Ia menataplayar ponselnya. Austin yang menelpon. Kenapa pria itu menelpon?"Halo?""Kau di mana?""Tempat makan.""Dengan siapa?"Dalam kebingungan Ainsley menatap ponselnya, lalu menempelkannyakembali di telinga. Kenapa denganLaki-laki itu? Nada suaranya terdengar dingin tidak seperti tadi pagi. Dasar labil."Teman," jawab Ainsley berusaha menetralkan intonasinya. Ia tidak mau Alfa melihatnya berdebat dengan sih penelpon yang adalah suaminya sendiri itu.di ujung sana Austin mendengus kesal."Ada ada menelponku?" tanya Ainsley lagi. Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar,"Hanya ingin bertanya saja," setelah berkata begitu telpon langsung terputus. Austin menutupnya sepihak. Tanpa pamit dan bilang-bilang dulu. Ainsley yang kesal sontak mematikan ponse