Share

8

Selama seminggu berjalan ini Ainsley merasa sangat tidak tenang. Pikirannya merembes kemana-mana. Sahabat-sahabatnya tidak ada yang kaya, yang bisa meminjamkan uang lima belas milyar padanya dalam kurun waktu satu minggu. Semakin berjalannya hari Ainsley makin tidak dapat berpikir. Ia tidak punya jalan keluar. Andai saja lima belas milyar itu tiba-tiba jatuh begitu saja dari langit, ia akan sangat berterimakasih pada Tuhan. Sayangnya itu hanya khayalan semata yang tidak mungkin terjadi.

Ainsley ingat saat pulang ke rumah habis dari menemui Austin. Ia marah besar pada papanya karena tidak pernah cerita padanya tentang perjodohan gila itu. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi. Sebenarnya sudah beberapa kali gadis itu mencoba kabur dari kota itu untuk menghindari pernikahan. Ia tahu tidak mungkin baginya mendapatkan lima belas milyar karena itu ia hanya bisa kabur. Sayangnya, sih Austin terlalu pintar. Pria itu sudah menyuruh anak buahnya untuk terus mengamati gerak-geriknya. Ainsley mengerang kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Kalau begini terus, lama-lama ia bisa gila.

Ditempat lain Deisy, kakak tiri Ainsley merasa tidak terima saat mendengar gadis itu punya perjanjian pernikahan dengan bosnya Austin Hugo. Sudah lama ia mengincar pria itu walau sulit sekali untuk hanya sekedar bertemu dengannya bahkan meski mereka sekantor. Ia hanya bisa melihat Austin dari jauh sambil memimpikan pria itu.

Tapi Ainsley, gadis yang tidak ada apa-apanya dibanding dengan dirinya malah punya perjanjian pernikahan dengan pria impiannya itu sejak lahir. Deisy kesal bukan main. Ia merasa Ainsley sangat beruntung tapi ia tidak suka, itu membuatnya iri. Karena itu hari ini, dengan penuh keberanian ia datang menemui Austin secara pribadi diruangan pria itu. Ia sempat dengar di rumah saat Ainsley berdebat dengan papanya. Waktu itu Ainsley mati-matian bilang tidak mau menikah dengan Austin. Itu sebabnya Deisy ingin menggunakan kesempatan ini dengan ide yang sudah ada dalam kepalanya.

Tok tok tok!

"Masuk," terdengar suara dari dalam ruangan.

Deisy membuka pintu ruangan Austin perlahan. Ia berjalan pelan sampai kehadapan pria itu. Wanita itu ragu-ragu untuk bicara karena Austin terus menunduk tidak menatapnya sedikitpun.

"Ada apa?" tanya pria itu dengan mata terus fokus ke laptop.

"Mm ... t .. tuan Austin aku ..."

"Bicaralah dengan jelas, aku tidak punya waktu meladenimu," kata pria itu dingin, masih tidak berniat melihat siapa yang berdiri dihadapannya itu.

"A ... aku Deisy kakaknya Ainsley," setelah mendengar wanita didepannya menyebutkan nama, Ainsley barulah berhasil membuat Austin mengangkat wajahnya.

Deisy tersenyum canggung ketika Austin menatapnya lama. Austin sendiri pernah dengar kalau tunangannya itu punya seorang saudari tiri, tapi tidak pernah tertarik untuk tahu seperti apa orangnya. Menurutnya tidak penting.

Dalam matanya hanyalah Ainsley yang penting, yang sanggup membuatnya merasa puas hanya dengan melihat gadis itu.

Ketika melihat name tag wanita itu, Austin baru sadar kalau kakak Ainsley tersebut ternyata bekerja dikantornya.

"Kau bilang namamu siapa?" ulang Austin. Meski sudah melihat kartu nama Deisy.

"D ...Deisy," sahut wanita itu.

"Baiklah Deisy, ada apa dengan tunanganku? Dia mencoba kabur lagi?"

Austin tertawa tiap kali mendengar dari anak buahnya bahwa Ainsley sudah beberapa kali ini mencoba kabur tapi gagal total. Mau kabur darinya? Jangan harap.

"K ... kata Ainsley dia tidak mau menikah dengan anda, karena itu dia memaksaku untuk menggantinya menikahimu," ucap Deisy berbohong.

Meski Ainsley yang tidak mau menikahi Austin itu benar tapi ia tidak pernah memaksa Deisy menggantinya untuk menikah. Memangnya dia sudah gila apa bermain-main dengan pria nekat seperti Austin? Ia tahu Austin akan sangat marah besar kalau sampai melakukan hal tersebut, ujung-ujungnya dia sendiri yang akan diberi hukuman oleh pria gila itu.

Austin menatap Deisy tajam. Ia menanggapi perkataan wanita itu antara percaya tidak percaya. Lelaki itu ingat jelas sudah memperingatkan Ainsley untuk tidak melakukan sesuatu seperti menggantikan perempuan lain untuk menikah dengannya. Apa gadis nakal itu yang memang mau melawannya, atau wanita didepannya ini yang berbohong dengan mengarang cerita. Bisa dia buktikan sendiri nanti.

"Kau yakin Ainsley bilang begitu?" tanya pria itu tajam. Deisy mengangguk meneruskan kebohongannya. Ia sudah membuat keputusan, tidak mungkin kan dirinya berhenti di tengah jalan. Didepannya Deisy melihat sang CEO meraih ponselnya dan menelpon seseorang.

"Bawa Ainsley ke sini sekarang juga. Kalau dia tidak mau, seret dia dengan paksa. Pokoknya dia harus berada di hadapanku sekarang juga!"

Deisy menelan ludah. Apa yang akan dilakukan pria itu? Ia jadi tidak tenang memikirkan kedatangan Ainsley. Bagaimana kalau gadis itu bilang kalau dia berbohong?

"Kau tunggu di situ sampai adikmu datang, aku akan membuat perhitungan dengan bocah nakal itu," Deisy mengangguk. Ia tidak suka mendengar cara Austin menyebut Ainsley. Itu terdengar seperti mereka sudah sangat akrab.

Selama menunggu Ainsley, Austin kembali menyibukkan dirinya dengan file-file berkas dalam laptopnya. Pria itu tidak pernah melihat ke Deisy lagi sekalipun bahkan menyuruhnya duduk pun tidak. Deisy merasa kakinya sudah kesemutan dan capek berdiri, namun tetap ditahannya.

Hampir tiga puluh menit barulah Ainsley muncul dalam ruangan itu. Masuk tanpa mengetuk, dan gadis itu lagi-lagi menggebrak kuat meja Austin. Ia belum menyadari ada Deisy yang berdiri di dekat situ, saking kesalnya pada Austin.

"Ada apa lagi brengsek. Kau tidak puas menggangguku seminggu ini?!" sentak Ainsley. Ia marah karena tiba-tiba diseret oleh anak buah Austin dan dibawah ke kantor pria itu. Deisy yang melihat sikap kasar Ainsley pada Austin merasa marah. Bahkan semua orang dikantor itu tidak berani bersikap seperti itu pada bos mereka, tapi dia yang bukan apa-apa malah dengan entengnya berbuat semaunya.

Yang anehnya, Austin malah santai. Pria itu masih diam. Ia harus menyelesaikan satu berkas lagi biar bisa bermain-main dengan gadis itu sampai puas.

"Hei, hellow ... kau punya mulutkan tu ... Deisy?" perkataan Ainsley terhenti saat menyadari keberadaan saudari tirinya. Deisy menatapnya sinis dan Ainsley memutar bola matanya malas.

Cih, angkuh sekali. Tapi kenapa wanita itu ada di ruangan Austin? Ia kembali menatap pria itu.

"Austin, kau dengar aku nggak sih?" teriaknya mulai kesal karena terus-terusan dicuekin.

"Kalau kau tidak mau bicara apa-apa aku keluar," tambahnya lagi dan berbalik ingin keluar.

"Coba saja keluar kalau berani," suara bariton itu menghentikan langkah Ainsley, tentu saja ekspresi gadis itu sangat dongkol. Ia merasa dirinya seperti robot yang bisa di kendalikan oleh pria itu. Ia memang bisa marah dan memaki Austin sepuasnya, tapi ketika suara pria itu terdengar tidak bisa dibantah lagi, gadis itu malah jadi ciut seperti sekarang ini.

Austin sendiri sudah selesai memeriksa semua berkasnya. Matanya menatap lurus ke Ainsley yang balas menatapnya dengan berani. Austin tersenyum menyeringai. Ini yang selalu ia suka sejak bertemu Ainsley. Sifat pembangkang gadis itu yang entah kenapa membuatnya merasa tertarik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status