Ketika kenikmatan membutakan, apa yang menjadi rantai pengingat bahwa semua hanya ilusi semata?
Ada desahan terhenti kala suara ketukan terdengar bergema di sepanjang koridor pagi itu. Lipstik yang dipulas tergesa, rambut yang ditata sekenanya, juga baju yang dirapikan sebisanya, selesai tepat sebelum pintu ruangan diketuk untuk yang kedua kali.
Axel Delacroix bangkit tak acuh dari kursi malas menuju meja kerja. Tubuh pria itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata biru cerahnya berkilat memerintahkan wanita yang telah dibuat berantakan sejak pukul tujuh pagi itu untuk segera pergi sekaligus membukakan pintu untuk tamunya.
"Sampai jumpa lagi." Wanita itu mengerling manja sebelum membuka pintu dan mempersilakan seorang pria dengan setelan jas abu-abu tua untuk masuk ke dalam.
Sang wanita mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan, meski ia heran mengapa pria itu datang ke kantor pagi-pagi sekali.
"Siapa wanita itu?"
Suara seringan kapas menyapa Axel yang kini bersedekap.
Axel hanya mengangkat bahu tak peduli. "Ada perlu apa ke sini, Michael?"
Michael Johannson menyodorkan map berwarna cokelat ke arah Axel. Namun tanpa menunggu, ia langsung meletakkannya ke meja. Mata berlensa abu-abu cerah itu menatap Axel penuh selidik.
Axel terlihat baru saja memperbaiki posisi dasinya. Jas yang sedikit kusut, serta sisa lipstik di kerah baju, membuat Michael bisa membayangkan apa yang baru saja terjadi pada CEO di hadapannya.
"Akan ada General Manager baru hari ini," ujar Michael tenang. Pria berkacamata itu sama sekali tak terusik dengan fakta yang baru saja didapatnya.
Dengan jemari kukuh, Axel membuka map di hadapannya. Alisnya mengerut ketika melihat foto yang tertempel di sudut kertas.
"Kenapa dia?" Axel seolah tak percaya melihat ada wanita dengan paras biasa-biasa saja bisa menjadi seorang GM. Yah, bukannya diskriminasi pada wanita berwajah pas-pasan di luar sana, tapi bagi Axel, paras cantik adalah salah satu syarat utama agar bisa bekerja dekat dengannya.
Axel sudah cukup muak dengan para manajer yang rata-rata sudah memiliki banyak kerutan di wajah.
GM di CLD adalah jabatan yang akan sering berhubungan dengannya. Sosok yang akan selalu hadir untuk memutuskan berbagai pertimbangan perusahaan. Mengganggu pemandangan!
"Kau tidak bisa mengelak." Tanpa mengindahkan wajah Axel yang terlihat tidak suka, Michael melanjutkan pembelaannya. "Sudah tidak terhitung banyaknya kandidat yang diajukan oleh HRD kau tolak."
"Karena mereka tidak kompeten!" Axel makin terlihat tidak sabar.
"Bukan!" Michael menumpukan kedua tangannya di atas meja. Menatap lekat-lekat orang yang sudah ia kenal sejak mereka masih duduk di bangku kuliah. "Kau hanya mengincar yang cantik."
Axel lagi-lagi mengedik tak acuh. "Ini bukan urusanmu. Kenapa ikut campur?"
Axel mencondongkan tubuhnya ke arah Michael dan menatap lawan bicaranya lekat-lekat.
Sungguh, Axel tidak suka pengacara kantornya ini. Selalu saja turut campur sejak salah satu pemegang saham terbesar meninggal sebulan yang lalu. Michael seperti kelimpahan banyak pekerjaan baru bahkan yang bukan merupakan tangung jawabnya. Termasuk mengurusinya.
"HRD sampai mengeluh padaku bahwa kau menolak semua kandidat yang mereka ajukan." Michael mengamati lawan bicaranya yang masih terlihat tak mau menggubris.
Tarikan napas panjang terdengar. "Saat ini kita sedang melakukan ekspansi besar-besaran. Tanpa GM, pendataan dan pengambilan keputusan kita berantakan. Kita butuh orang yang mampu mengakomodir seluruh manajer dari berbagai cabang. Kau terlalu sibuk untuk itu bukan?!"
Kali ini Michael menekankan setiap kata kuat-kuat. Berusaha menunjukkan pada Axel bahwa dialah biang kerok ketidakteraturan pendataan kantor. Kesibukan seperti yang barusan ia lakukan dengan wanita itu kadang bisa memicu keributan.
Belum sempat Axel membuka mulutnya, Michael memotong. "Kita tidak sempat menyeleksi lagi." Michael semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Axel. "Dia adalah kandidat termuda dan tercantik yang bisa aku temukan. Kemampuan manajerial wanita itu di kantor sebelumnya juga hebat. Jangan minta macam-macam!" desisnya.
Axel menelan kembali kalimat yang hendak ia lontarkan. Pria itu sedang malas berdebat. Ia hanya berdecak dan mengempaskan tubuhnya ke sandaran.
"Terserah."
"Terima kasih. Aku pergi dulu. Siang nanti akan kuperkenalkan di hadapan seluruh manajer Crown Land Developer." Michael mengangguk dan berbalik. Meninggalkan Axel yang memandang jijik ke atas map.
*
Semilir angin musim panas tak membuat jemari yang saling bertaut itu menghangat. Rasa gugup membuat tangan Mysha Natasha sedikit bergetar. Untuk yang pertama ia akan melangkahkan kaki ke sebuah perusahaan multinasional yang menjadi incaran banyak orang.
Crown Land Developer. Sebuah perusahaan real estate raksasa yang menguasai benua Amerika dan Eropa. Bahkan terakhir ia dengar, mereka sedang melakukan ekspansi besar-besaran ke Asia Tenggara.
Mysha merapikan rambut keperakannya yang digulung ketat di bawah leher. Hanya poni tipis yang menutupi dahinya. Kaca mata berbingkai tembaga menghias mata keemasan yang ia miliki. Meredupkan kilaunya.
Resepsionis memintanya menunggu di lantai sepuluh Mysha terkagum-kagum kala mengetahui bahwa gedung yang memiliki 30 lantai ini dimiliki Crown Land. Mysha duduk dengan gestur kaku di tengah sofa melingkar yang sangat empuk di lantai sepuluh. Bantalan beledu menyangga duduknya, tapi ia sama sekali tak merasa santai.
"Miss Natasha?"
Mysha tersentak mendengar sapaan mendadak itu. Seorang pria dengan rambut hitam pekat tersenyum tipis ke arahnya. Ia mengenakan kacamata berbingkai perak melingkari mata abu-abu.
"I-iya," balasnya gugup.
"Aku Michael Johannson."
Mysha berusaha tersenyum seramah mungkin. Namun ia tahu, rasa gugupnya melebihi apa pun. Senyum yang ia berikan pasti terlihat konyol dan memalukan. Ia berharap tak ada yang terlalu memerhatikan dirinya meski ada beberapa pegawai di sekitar mereka.
"Salam kenal, Mr. Johannson."
Uluran tangan dibalas dengan segera sebelum akhirnya Michael mempersilakan Mysha mengikutinya menuju lantai teratas gedung ini. Mereka beriringan dalam diam. Mysha memilih menjaga jarak dan berjalan beberapa langkah di belakang pria tegap itu.
Lift karyawan kosong pada pukul 10 pagi. Hanya ada Michael dan Mysha yang masih saling berdiri diam. Elevator berlapis kaca ini terlihat memantulkan bayangan mereka berdua.
Ada kekhawatiran mendasar dalam diri Mysha pada tempat kerja barunya. Kecemasan itu bergumul di kepala dan membuat debar jantungnya seakan tak pernah mengenal kata lambat.
Sepanjang perjalanan menuju lift, ia sempat melirik ke sekeliling. Setiap karyawan wanita yang ia lihat dalam ruang-ruang kaca terlihat begitu fashionable dan trendi. Bahkan sekadar penerima telepon pun terlihat sangat cantik dengan riasan penuh. Mysha memandangi pantulannya di kaca. Blazer hitam menutupi kemeja putih, rok sepan pendek tepat di atas lutut, sepatu heels lima senti, terlihat begitu tak menarik. Tidak ada yang mencolok dari penampilannya yang hanya membawa tas selempang berwarna hitam.
Mysha masih berusaha menenangkan dirinya. Menarik napas panjang berulang dengan perlahan. Suara helaannya terdengar beberapa kali lipat dalam ruangan sempit ini.
Michael menyadarinya. "Kau cukup pintar untuk bekerja di sini. Tidak perlu cemas."
Mysha menoleh ke pria di sampingnya yang masih memandang pintu lift. Ya ... mungkin Michael benar. Dirinya tak perlu berpikir macam-macam. Ia harus fokus pada apa yang menjadi tujuannya. Tidak usah memikirkan sesuatu yang hanya merupakan asumsi. Bukankah itu yang selalu ia ingat dalam membuat keputusan?
Ini kesempatan emas. Baru dua tahun lalu ia diangkat jadi manajer di kantor lamanya. Kini ia bisa menjabat menjadi seorang GM di usianya yang masih sangat belia. Mungkin Mysha yang baru genap berusia 28 tahun merupakan GM termuda sepanjang sejarah Crown Land Developer.
Suara denting menandakan pintu lift akan terbuka lebar di lantai teratas. Michael mempersilakan Mysha untuk keluar lebih dulu. Satu tarikan napas panjang, Mysha melangkahkan kaki keluar dengan mantap.
Karpet berbulu terasa lembut di bawah sepatunya. Wanita itu benar-benar khawatir di saat-saat seperti ini, ia bisa kehilangan keseimbangan akibat sepatunya. Sejujurnya Mysha tidak terbiasa dengan sepatu heels lima sentimeter. Namun, ibu pernah berkata, penampilan adalah hal terpenting di hari pertama bekerja. Ini adalah penampilan terbaik yang bisa ia berikan.
Beberapa orang tampak duduk mengelilingi meja besar yang terlihat di sebelah kanan. Tampaknya itu adalah sebuah ruang meeting. Lantai 19 terlihat begitu luas. Sepanjang mata memandang, hamparan meja kerja yang dibatasi penyekat setinggi dada berderet rapi berkelompok. Seperti memang disusun per departemen. Di sisi kanan dan kiri berjajar ruang-ruang kecil berpintu dengan tulisan nama dan jabatan terpampang di sana.
Melihat kedatangan Mysha dan Michael, mereka bangkit dari duduk dan langsung bergerak menghampirinya. Mysha menaksir ada sekitar sepuluh orang yang kini memandang ke arahnya.
"Perkenalkan, ini Mysha Natasha. GM kita yang baru."
Michael menyebutkan nama lengkap masing-masing manajer yang kini tersenyum ke arahnya. Kebanyakan usianya sudah lewat empat puluh tahun.
Ada sedikit rasa tertekan karena berarti dirinyalah yang paling junior dalam segi pengalaman dan usia. Namun wanita itu tidak boleh gentar. Toh tampaknya para manajer itu tidak ada yang berniat mencelakakannya meski Mysha kini menjadi atasan mereka.
Ah, mengapa ia bisa berpikiran buruk seperti itu? Perasaan tidak enak ini terus menganggu sejak pagi dan menambah kegugupannya.
Mysha berusaha mengingat nama-nama rekan kerjanya. Menghafal sepuluh orang sekaligus jelas bukan perkara mudah. Namun, Mysha diberkati otak cemerlang sehingga hanya membutuhkan waktu lima menit saja untuk mengingat semua pada saat mereka berbasa-basi sejenak.
"Saya akan memperkenalkannya pada Mr. Delacroix." Michael mengangguk dan kembali membimbing Mysha menuju ke sebuah ruangan tertutup di ujung koridor.
Michael mengetuk tiga kali sebelum berujar dengan suara sedikit lantang, "Miss Natasha sudah datang."
"Masuk."
Suara rendah yang mampu membuat hati siapa pun berdesir. Suara pria yang memiliki alunan tegas tapi sensual. Mysha berusaha menentramkan degup jantungnya.
Ketika pintu ruangan terbuka lebar, Mysha bisa melihat mahkluk Tuhan paling menakjubkan yang pernah dilihatnya. Ia berdiri gagah di tengah ruangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wajah pria itu memancarkankan wibawa serta kharisma yang memukau. Tak ada senyum, tapi ada pesona tak terbantahkan. Untuk sesaat Mysha tertegun, menikmati pemandangan di hadapannya.
Michael mempersilakan, membuatnya tersadar. Mysha memasuki ruangan.
Sayangnya wanita itu tak melihat jikalau ruangan Axel memiliki karpet bulu yang lebih tebal dan empuk. Perbedaan ketinggian lantai yang mendadak membuat Mysha tersentak. Sepatu heels-nya tak mampu menahan berat tubuh yang limbung tiba-tiba. Mysha tersuruk ke depan tanpa Michael sempat menangkapnya.
Kacamata Mysha terlontar ke atas kaki kanan Axel yang masih diam di posisinya. Memandang anak buah barunya dengan mata menyipit meremehkan.
Di tengah kepanikan untuk bangkit, Mysha berusaha mencari kacamatanya. Minus wanita itu tidak terlalu besar. Hanya minus tiga. Samar-samar ia melihat kacamatanya. Masih bisa dijangkau jika ia maju sedikit.
Baru saja Michael hendak membantu, Axel memberi gelengan, tanda agar pria itu tidak ikut campur.
Mysha segera merangkak ke arah kacamatanya. Baru saja tangannya menjulur meraih kacamata, ia dikejutkan dengan sebuah teguran.
"Apa yang kau lakukan?"
Suara sensual itu kembali terdengar. Refleks membuat Mysha mendongak dalam posisinya yang masih merangkak persis di depan kaki Axel.
Axel terpana.
Pancaran bola mata semurni emas milik wanita itu terlihat khawatir. Axel bisa melihat dengan jelas rona pipi merah akibat rasa malu, keringat dingin yang membasahi pelipis, bibir merah mengilap yang sedikit terbuka kaget, juga anak rambut yang terlepas di tengkuk jenjangnya, memberi kesan berbeda. Napas wanita yang masih mendongak ke arahnya itu memburu, membuat pikiran CEO muda itu melayang ke hal yang tidak seharusnya.
"Ma-maaf." Mysha bergegas memakai kacamatanya dan beringsut menjauh. Ia kembali berdiri dan menjaga jarak. Berusaha merapikan dirinya
Axel masih tak berkedip menatap wanita di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menggerakkan keinginannya untuk mengecup leher gadis pucat itu lembut.
Sial! Apa-apaan?! Axel Delacroix tidak mungkin lebih dulu menginginkan wanita. Selama ini wanitalah yang selalu mengejar, bukan sebaliknya! Selamanya ia akan tetap membuatnya seperti itu.
Mysha mengutuki kecerobohannya sambil kembali mengaitkan jari-jari tangan di depan tubuh. Napasnya masih menderu, akibat aksinya tak sampai semenit lalu. Tanpa sadar, dia mengaitkan anak rambut yang terjatuh pada telinga. Dalam hati dia menyalahkan keberadaan Axel yang membuat fokusnya beralih. Mysha masih berusaha mengusir getaran yang memenuhi seluruh tubuh ketika mendengar suara bariton milik Axel. "Kau tidak apa-apa?" Mysha tersentak dari pikiran liarnya ketika mata abu-abu Michael menatapnya khawatir, membuat jantungnya melompat-lompat. Berada di antara dua pria tampan ini tidak baik untuk kesehatan. Michael jelas tidak memiliki aura otoritas yang membuat semua wanita bertekuk lutut, tapi dia punya kehangatan yang membuat para perempuan meleleh. Apa yang kupikirkan?! Mysha buru-buru mengembalikan kesadarannya ke kantor beraroma musk maskulin yang sepertinya berasal dari tubuh Axel. Ototnya memang tertutup oleh jas dan kemeja tapi dia dapat membayangkan betapa– Cukup! "A-aku
Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memi
Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memi
Mysha melangkah masuk ke kantornya gontai dan menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman, mengistirahatkan kepala dan pundaknya yang pegal. Oh, seandainya saja ada pria tampan yang memijatnya….Stop!Pikiran liar membuat wanita itu mengingat kembali alasan mengapa dia tiba di kantor pagi buta, sebelum semua orang yang cukup waras bangun. Ia bahkan melihat wajah terkejut satpam ketika dia meminta kunci gedung. Ugh! Mysha tidak bisa tidur semalaman, memikirkan hal yang nyaris saja dia lakukan bersama Axel, pimpinannya. Tanpa sadar Mysha menyentuh bibirnya yang dipulas lipgloss dan pelembab, apa harusnya dia menerima saja ciuman Axel?Tidak!Mysha menggelengkan kepalanya keras-keras, mengusir bayangan keluar dari otak. Dia punya alasan mengapa dia harus bertahan dari pesona Axel bagaimana pun caranya, salah satunya adalah ajaran keras dari ibunya untuk menjaga harta paling berharga seorang wanita dan hal lain adalah karena dia belum pernah berciuman. Bagaimana kalau Axel tahu
Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan. "Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha. "Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap. "Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut. Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru
Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat. "Ikut aku!" Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan. "What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh. "It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya. "No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!" Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat e
Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa